PROLOG

134 10 2
                                    

Memiliki seorang buah hati adalah salah satu alasan untuk menikah. Begitu pun dengan Raka dan Raina. Kehadiran anak di antara mereka sudah dinanti-nanti sejak lama, dan itu baru terwujud ketika masa pernikahan mereka menginjak 3 tahun . Hal itu menjadi kabar yang sangat menggembirakan bagi kedua belah pihak keluarga. Terutama Pradata, pria tua yang memiliki kedudukan tinggi di keluarga Rahendara itu bahkan mengadakan pesta besar-besaran untuk menyambut kelahiran cicitnya.

Tapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama, Raina yang pada saat itu tengah menuruni tangga tiba-tiba terpeleset jatuh hingga membuat wanita itu pendarahan hebat. Ibu mertuanya yang mendengar teriakan Raina pun bergegas menghampiri, wanita paruh baya itu bahkan hampir pingsan ketika melihat keadaan menantunya yang mengenaskan. Marta menjerit keras dan berlari menghampiri Raina yang sudah kehilangan kesadaran.

Para pembantu yang kebetulan tengah bersiap untuk menuju pavilium yang berada di belakang rumah utama, mengurungkan niat mereka untuk melangkah keluar. Mereka berjalan tergesa mencari sumber suara dan menemukan Raina yang tergeletak dengan Marta yang memangku kepalanya. Para pekerja laki-laki dengan sigap menyiapkan mobil dan beberapa membantu Raina keluar agar segera dibawa ke rumah sakit.

Raka yang baru saja turun dari mobil setelah pulang kantor sampai melempar begitu saja tablet miliknya dan berlari menghampiri Raina. Pria itu bahkan menangis ketika melihat istri tercintanya itu terpejam tanpa bisa dibangunkan.

Raina selamat. Tapi naas, kandungan perempuan itu tidak bisa diselamatkan. Bayi yang mereka idam-idamkan setelah penantian cukup lama itu tiada. Membuat semua keluarga benar-benar terpukul. Apalagi Raina, wanita itu enggan lagi keluar dari kamar setelah kehilangan buah hatinya. Semua itu berlalu hingga sekarang, lebih tepatnya satu tahun sejak bayi itu meninggal.

Kebiasaan Raina masih sama, perempuan itu hanya diam. Duduk di ayunan balkon hingga sang surya tenggelam. Barulah Raina akan beranjak, wanita itu akan langsung pergi tidur dan kembali mengulang kebiasaan itu. Raina kehilangan gairah hidupnya, Ia bahkan mengabaikan Raka yang sepertinya sudah menyerah untuk membujuk dirinya.

Tidak ada lagi candaan atau sekedar obrolan singkat di antara mereka. Yang terlihat hanya seperti sepasang manusia yang tidak saling mengenal yang kebetulan tidur di ranjang yang sama. Seperti saat ini, ketika Raka pulang dari kantor, tidak ada lagi sapaan hangat yang keluar dari mulut Raina. Yang terlihat hanya Raina yang sudah terpejam dengan selimut yang membungkus tubuhnya.

Raka menghela nafas, Ia memang sudah terbiasa. Tapi jika ini terus terjadi hingga mereka menua, Raka tidak bisa. Bukan hanya Raina yang kehilangan disini, dan bukan hanya wanita itu yang merasa sedih. Ia juga merasakan hal yang sama, tapi bukannya saling menguatkan satu sama lain. Raina malah membangun tembok di antara mereka, memenjara dirinya sendiri dalam kubangan kesedihan yang semakin menggerogoti dirinya.

Tanpa menghidupkan lampu, Raka berjalan pelan menuju kamar mandi, membasuh setiap jengkal tubuhnya yang terasa lengket. Selang beberapa menit Raka keluar, Ia berjalan menuju sisi kasur yang di tempati Raina dan menatap istrinya itu cukup lama. Raka berjongkok, memandang wajah Raina yang begitu damai dan rapuh secara bersamaan.

Tangan Raka terangkat untuk mengusap wajah Raina, sebelum wajahnya semakin condong dan bibirnya berlabuh pada bibir perempuan itu yang terlihat pucat. Hanya kecupan singkat, tapi itu ternyata membuat Raina terusik. Perempuan itu membuka mata, dan sedikit terkejut ketika mendapati wajah Raka di hadapannya.

Raina langsung berbalik tanpa mengatakan apa pun. Membuat Raka kembali menelan kecewa. Tapi kali ini Raka tidak tinggal diam. Ia naik ke atas kasur dan membalik tubuh Raina agar telentang, mengurung perempuan itu di bawah kungkungan tubuh besarnya. Wanita itu meronta, hendak melepaskan diri. Tapi Raka semakin erat menggenggam tangannya di kedua sisi.

"Tidak lagi Raina," kata Raka tajam. Nada suaranya terdengar dingin, membuat Raina menelan gugup ludahnya.

"Aku sudah bersabar cukup lama. Satu tahun aku membiarkan kau bertindak sesukamu, memberikan ruang untuk dirimu sendiri, berharap jika kau akan segera pulih dari kesedihanmu itu. Tapi apa Raina, semakin hari tingkahmu semakin kelewatan. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri, tanpa peduli bagaimana keadaan ku disini."

"Bukan hanya kau yang kehilangan, aku di sini pun merasakan hal yang sama. Jadi tolong Raina, berhenti bersikap seperti ini. Aku tidak mau kehilangan orang yang kucintai untuk yang kedua kalinya."

Raka beralih memeluk istrinya. Menyalurkan segala rasa sedih yang masih terasa menghimpit hatinya, menimbulkan rasa sesak yang begitu mencekik. Apalagi melihat Raina yang seolah seperti mayat hidup membuat Raka benar-benar merasa gagal menjadi seorang laki-laki. Di mana ia tidak bisa menjaga buah hati mereka bahkan ketika dia belum melihat dunia.

Genangan air mata yang sejak tadi sengaja Raina tahan akhirnya tumpah. Pertahanan itu tidak bisa lagi bertahan ketika mendengar nada putus asa dari Raka yang semakin menyayat hatinya. Wanita itu menyembunyikan wajahnya pada dada bidang milik Raka ketika pria itu berpindah posisi di sampingnya.

Pelukan ini terasa asing, tapi berhasil mengobati rindunya akan Raina. Wanita yang selalu ada di sampingnya, tapi terasa sangat jauh dari jangkauannya. Tapi Raka bersyukur, setidaknya ini awal baru yang baik bagi mereka. Semoga saja setelah ini, hubungan keduanya akan semakin membaik. Raka akan kembali berusaha merekatkan serpihan kesedihan dan keretakan cinta mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang