Rintik-rintik hujan perlahan jatuh dan menghantam bumi dengan membabi-buta, langit diselimuti awan yang gelap disertai suara gemuruh nyaring yang saling bersahutan.
Langit seperti sedang frustasi dan meluapkan segala resahnya ke bumi.
Orang-orang yang berlalu-lalang memenuhi trotoar perlahan berlari mencari perlindungan, berteduh dari amukan langit yang pagi ini terlihat sedang tidak baik-baik saja.
Bangunan-bangunan pinggir jalan sebagian diisi oleh banyaknya pejalan kaki juga pemotor yang menepi untuk sekedar melindungi tubuh mereka sendiri.
Tapi lagi-lagi, sebanyak apapun orang-orang yang sedang berteduh itu tak mampu mengurangi kepadatan kendaraan yang masih melaju di jalan raya ibu kota.
Kendaraan roda empat mendominasi jalanan, meluncur seakan-akan tak ada alang merintang yang bisa menganggu mereka pagi itu. Melaju kencang mengabaikan suara gemuruh yang juga tak berhenti setelah 30 menit berlalu.
Semua hal itu tak luput dari pandangan seseorang yang berdiri mematung dibawah hujaman air mata sang langit, bak tubuh tanpa nyawa.
Ah tidak, dia bergerak sebenarnya. Bahunya bergetar kuat, sekuat suara gemuruh dari sang langit yang semakin menggelap.
Air matanya terus mengalir deras mengalahkan amukan sang hujan.
Mungkin air mata itu mampu dimanipulasi oleh derasnya sang rintik, tapi tidak dengan kedua bola mata coklat gelap yang biasanya penuh binar, kini malah terlihat redup tanpa kehidupan didalamnya.
Matanya menatap kosong kejalanan, mata indah itu telah kehilangan sebagian binar yang tersisa pagi ini .
Fikirannya berkecamuk, dia kacau. Hal yang paling membuatnya marah adalah, semuanya masih saja terlihat berjalan seperti semestinya.
Dunia seperti berjalan diatas tumpukan lukanya, padahal dia sedang hancur untuk kedua kalinya.
Mengapa semuanya masih terlihat berjalan baik-baik saja?
Padahal dunianya sedang hancur porak-poranda.Mengapa orang-orang yang dilihatnya masih bisa tertawa?
Sedang ia tak lagi sanggup menarik keatas garis bibirnya.Mengapa semesta sekejam ini kepadanya?
Padahal yang ia mau hanya bahagia.Langit seakan tahu lukanya, seakan mengerti perasaannya, dan seakan ikut berkabung dengannya.
Perlahan gadis itu beranjak dari tempatnya, berjalan tertatih tanpa tahu arah. Terus berjalan menghiraukan semua tatapan mata yang melihat aneh, penuh tanya, pun iba kepadanya.
Dia benar-benar terlihat kacau, baju hitam yang sebagian terdapat sisa-sisa tanah, bawah mata menggelap seolah memperlihatkan sang empu yang beberapa hari ini tak benar-benar bisa terlelap dengan baik, kaki telanjang tanpa sepasang alas pelindung yang menyebabkan banyak goresan-goresan tipis juga dalam yang menghasilkan darah tanpa henti, dan terakhir tatapan tanpa kehidupan itu.
Dia benar-benar terlihat seperti mayat hidup. Benar-benar menyedihkan.
---
Sudah cukup lama dia berjalan tanpa arah, air mata dan hujan pun masih saja berlomba-lomba mana yang paling deras seakan tak ingin mengalah.
Semakin dia melangkah, maka semakin sepi pula lingkungan sekitarnya. Jalanan yang awal berupa aspal berubah menjadi tanah hitam, dikiri dan kanan terdapat banyak sekali pepohonan yang menjulang tinggi.
Tidak ada lagi kehidupan manusia yang terlihat di daerah ini, bisa disimpulkan tempat ini jauh dari pemukiman warga. Arah ini menuju tebing tinggi bebatuan, tempat yang selalu gadis itu kunjungi kala kepalanya sedang dipenuhi duri.
Beberapa puluh meter didepannya mulai terlihat laut biru yang begitu indah. Pemandangan luar biasa, mampu memanjakan mata tiap-tiap manusia yang melihatnya.
Tiba-tiba dia berlari dengan menggila, seakan-akan kematian ada dibelakangnya. Tidak, bukan dibelakang, kematian itu tepat didepan matanya saat ini.
Tanpa terduga, dia melompat kedalam dingin dan gelapnya sang biru yang indah itu.
Perlahan-lahan laut menariknya semakin dalam, semakin gelap, dan semakin sesak.
Tapi sayangnya sakit itu tak sebanding dengan luka yang ia dapat lagi pagi ini, dia tersenyum dengan mata yang tak lagi terlihat binarnya, tersenyum menatap keatas seolah mengucapkan salam perpisahan pada dunia.
Dia tidak kalah, dialah pemenangnya.
Sudah cukup semesta menghukumnya, kali ini semesta yang harus kehilangannya.
Tapi, jika dia fikir-fikir lagi mungkin tidak akan ada yang merasa kehilangan setelah kepergiannya, sebab dua orang yang akan menangisinya sudah lebih dulu direnggut dari pelukan.
Semesta sekejam itu, dan dia membencinya, sungguh. Dua tahun lalu semesta meyiksanya, merenggut setengah jiwanya, dan seakaan belum cukup lagi-lagi pagi ini semesta menghancurkannya, merenggut setengah jiwa yang tersisa, harapan terakhirnya.
Kesadarannya perlahan menghilang, diiringi dengan jantung yang berdetak kian lemah.
Kilasan-kilasan masa lalu muncul didepannya, seolah sedang menayangkan sebuah film. Semuanya terputar begitu saja.
Tak lama kesadarannya mulai hilang.
Akhirnya, si biru itu berhasil membuatnya terlelap, tidur untuk selamanya, mendekapnya.
Dia pergi..
Dari dunia, dari luka, dari segala rasa sesak didada.Dia kembali..
Pada tempat seharusnya dia berada.Dia mati.
Tapi, apakah ini benar-benar akhir dari lukanya?
Apakah kematin memanglah kunci dari semuanya?Apakah ini benar-benar akhir ceritanya?
--n.d--
KAMU SEDANG MEMBACA
Alea
Teen FictionAlea, gadis biasa-biasa saja yang mendamba hidup bahagia. Dihari ia kehilangan untuk kesekian kalinya, dia mengambil keputusan besar untuk mengakhiri segalanya. Tapi, apakah itu benar-benar akhir ceritanya? ... Hope you guys like my story!!! Ceritan...