Pukul 09.15.
Sejak pulang ke Bogor beberapa hari lalu, setiap aku pergi ke tempat makan maupun pusat perbelanjaan, aku pasti bertemu dengan orang yang aku kenal tanpa sengaja. Tapi, semua kebetulan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hari ini.
"Mas, tujuh ribu."
Suara ibu-ibu penjaga kios itu membuyarkan pikiranku. Aku menengok kembali ke ibu itu. "Kenapa, bu?"
"Air putih itu harganya tujuh ribu." Si ibu menunjuk air mineral botol yang aku genggam.
"Oh, iya. Bentar..." Aku merogoh tasku dan mengambil uang.
Aku masih berdiri di dekat kios setelah mendapatkan kembalian dan berterima kasih kepada penjaga kios tersebut. Bahkan saat minum, pandanganku tidak bisa lepas dari empat orang yang berada tidak lebih dari 20 meter itu.
Satu orang mengalungkan sebuah kamera, jelas sang fotografer. Satu orang lagi memegang sebuah reflektor berwarna silver berukuran sedang. Kemudian, sepasang pemeran utama. Si laki-laki menggunakan three piece tuxedo lengkap dengan dasi kupu-kupu. Sedangkan si perempuan menggunakan gaun putih. Bentuknya seperti gaun pernikahan tetapi panjangnya hanya selutut. Uniknya, pasangan tersebut sama-sama menggunakan sepatu kets.
Mereka mengambil foto di tengah jalan aspal yang cukup luas. Beberapa orang melihat ke arah mereka sekilas saat melewati mereka.
Tadinya aku tidak yakin kalau perempuan yang sedang di foto itu adalah seseorang yang aku kenal. Tapi, sayup-sayup aku mendengar si fotografer memanggilnya dengan 'Nin' saat mengarahkan gaya.
Dari semua waktu dan tempat, kenapa Anin melakukan pre-wedding di Kebun Raya hari ini?
Dan dari luasnya Kebun Raya, kenapa aku kebetulan berpapasan dengan dengan mereka?
Karena satu dan lain hal, aku yang biasanya bisa pulang dari offshore rig setelah tiga minggu harus memperpanjang waktu hingga lima minggu. Untungnya waktu istirahatku juga diperpanjang tiga hari.
Lima minggu berada di tengah laut membuatku berpikiran kalau pergi ke tempat dengan banyak pepohonan adalah ide yang bagus. Jadi, pagi ini aku memutuskan untuk lari pagi di Kebun Raya. Tentunya sendiri, karena sekarang masih hari kerja dan kelihatannya hanya aku yang memiliki jadwal kosong.
Oh, mungkin Anin dan pasangannya juga.
Aku bisa saja memutar balik dan melanjutkan joging lewat jalan lain. Tapi dengan bodohnya aku memutuskan untuk berjalan ke arah mereka. Sepertinya aku akan dengan senang hati mendekam di rig selama lima minggu lagi demi melupakan kebodohan hari ini.
"Oke! Bagus nih, yang ini." Anin dan laki-laki di sampingnya kembali ke posisi tubuh normal setelah berpose setelah si fotografer berseru.
Lalu, ketika itulah mata kami bertemu.
"Alden?" Anin berjalan ke arahku, sedangkan si laki-laki tadi menghampiri sang fotografer, melihat hasil foto barusan.
Aku mencoba untuk tersenyum senatural mungkin lalu melambaikan tangan. "Hai, Nin. Aku liat kamu, tapi takut salah orang. Takut ganggu juga." Aku menyadari suaraku yang semakin kecil di akhir kalimat.
"Astaga, udah lama banget gak ketemu." Anin mengulurkan jabat tangan yang tentunya aku terima dengan senang hati.
"Setahun? Dua tahun?" Terakhir kami bertemu saat reuni 5 tahun sejak kami lulus SMA.
"Setahun lebih dikit kayaknya."
Aku mengangguk. Tidak lama, laki-laki yang tadi membawa reflektor datang menghampiri kami. "Kak Alden?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Suatu Hari di Kota Hujan
Short StoryKumpulan cerita pendek yang terinspirasi dari Kota Hujan yang penuh cerita, Bogor.