Kesima

510 54 10
                                    

Pukul 15.20.

Aku mengeluarkan motor matic-ku dari parkiran sekolah. Gerimis turun kecil-kecil. Walau begitu, aku tetap melajukan motor keluar dari area sekolah yang berada di area Kebun Raya Bogor ini. Aku harap hujannya tidak begitu deras. Aku sudah lelah dengan sekolah. Rindu kasur.

Tapi hujan tidak merestui hubunganku dengan kasur. Baru beberapa ratus meter hujan turun dengan deras. Aku melanjutkan perjalanan. Sudah terlanjur basah.

Saat berbelok dari Jalan Salak ke Jalan Padjadjaran hujan berhenti. Angin dingin menerpa tubuhku. Aku melirik sekilas jaket dan rok panjangku. Basah. Untung saja tasnya tidak basah.

Kedinginan dan kaca helm yang masih dipenuhi dengan bulir air setelah hujan membuat konsentrasiku sedikit buyar. Disini kering, sepertinya hujan baru akan turun nanti.

Ketika aku sedang berusaha ingin membersihkan kaca helmku dari air, ada mobil yang berputar balik dan mengambil haluan sangat lebar. Aku mencoba mengahentikan motorku. Tapi, sedikit telat.

Brukk...

Bagian depan motorku menabrak bumper belakang mobil putih tersebut. Syukur aku tidak jatuh.

Eh, mobil dia lecet!

Astaga aku tidak membawa uang untuk ganti rugi. Karena aku adalah perempuan yang bertanggung jawab, aku menepikan motorku. Mobil itu juga nampaknya menepi. Kami berada di depan sebuah ruko yang sedang tutup di Jalan Padjadjaran.

Dengan segera aku merogoh tas mencari dompet. Aku mengecek apakah hari ini aku membawa ATM. Nafas lega keluar saat aku menemukan kartu ATM. Aku siap dengan skenario terberat: bayar ganti rugi.

Seorang lelaki muncul dari balik kemudi. Seorang murid SMA juga. Saat dia membalikkan badannga dia tampak kaget. Aku juga yang tadi sudah membuka mulut memutuskan untuk tutup lagi.

Ya ampun! Yang aku tabrak A Rifai!

"Loh, Tia?" Dari air mukanya sih sepertinya aku aman.

Dengan segera aku menaikkan kaca helm yang masih aku pakai. Dengan wajah memelas aku meminta maaf kepada A Rifai. "Ya ampun, A. Ini mah saya maaf banget. Tadi saya gak fokus. Duh, jadi lecet."

A Rifai malah tersenyum Kenapa dia jadi sangat tampan. Otomatis dahiku mengerut. "Loh, A gak marah soal itu..." aku menunjuk bagian mobil yang lecet.

"Gak apa-apa deh. Santai aja."

"Tapi..."

Bukan membalas perkataanku, A Rifai malah menyunggingkan senyum lagi. Ini orang kenapa?

"A, yakin gak ap--"

"Jangan panik Tia. Gue gak kenapa-napa. Yakin 100%," tandas A Rifai.

Setelah perkataannya yang memotong pembicaraanku tadi, A Rifai membuka kursi penumpang mobilnya. Ia memajukan badannya seperti mencari sesuatu. Aku yang belum tahu apa yang yang akan dilakukan A Rifai hanya berdiri dengan memeluk diri yang kedinginan.

Sebelum satu menit A Rifai sudah muncul dengan beberapa lembar tisu dan jaket hitam yang sepertinya lumayan sering dia pakai. Dia mendekat ke arahku lalu menurunkan kaca helmku. pandanganku terhalang kaca yang penuh teteasan air. Ia mengelap kaca helmku.

"Ini yang ngebuat lo gak fokus, kan?"

Tak ada balasan dariku. Aku mengerjap beberapa kali. Jarak kami tak pernah sedekat ini sebelumnya. Sekejap, aku langsung terkesima dengan A Rifai. Entah mengapa. Itupun hanya dilihat dari balik kaca helm yang aku  pakai.

A Rifai menaikkan kaca helmku. "Udah kering. Sekarang ganti jaket lo pake punya gue." Ia menyodorkan jaketnya tadi. "Kalo lo lanjutin pake yang itu nanti masuk angin, besok gak bisa masuk."

Aku mengerjap lagi. A Rifai menyodorkan lagi jaketnya yang dengan sigap aku terima. "Aa gak pake?"

"Gue kan pake mobil." Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasannya.

"Makasih banget, A. Itu beneran gak usah digan--"

"Ya Allah, Tia. Gak usah, beneran. Jangan ngerasa sungkan, guanya yang risih."

Aku menundukkan kepalaku. "Maaf."

"Lo gak salah apa-apa."

"Itu..." ucapku memandang mobil A Rifai yang lecet namun A Rifai memandang jengah ke arahku. "Gak jadi deh."

A Rifai tersenyum.

"Ya udah, gua duluan ya, Tia.Masih ada les soalnya."

"Iya gak apa-apa, A."

A Rifai berjalan kembali ke mobilnya. Saat memegang handle mobil, ia berhenti. "Oh, iya, Ya. Cek D&U yang hari minggu, ya! Nomer 78!"

Aku otomatis merogoh ponsel pintarku sesuai perintah A Rifai.

"Eh, Ya." Aku mengadah. Aku bisa menatap mata A Rifai. "Bacanya nanti aja, kalo gue udah jalan. Soalnya... hmm," ia menaikkan bahunya, "gua sedikit malu."

Aku hanya menatap dia dengan dahi berkerut. Ia menggaruk kepalanya.

"Yah, pokoknya entar aja ceknya. Gua duluan. Hati-hati di jalan nanti!"

Aku mengacungkan jempol kepada mobil A Rifai yang mulai melaju. Cepat-cepat aku membuka D&U seperti yang tadi dibicarakan, takut keburu lupa.

78. Dari: F 1**8 DC
Untuk: Tiawasilani
Pesan: Gue mau deket sama lo, bisa?

Bisa, A Rifai! Bisa banget!

Suatu Hari di Kota HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang