Pesat Laju

271 41 4
                                    

Pukul 08.32.

Seorang gadis duduk di tepi jendela kedai kopi Rest Area kilometer 35 Tol Jagorawi. Matanya menatap keluar jendela. Sesekali dia menyesap kopinya. Pandangannya menangkap samar-samar kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi di jalan tol.

Menghela nafas berat, dia melepas kacamatanya, dan mengusap wajahnya kasar. Seperti yang biasa dia lakukan kalau ke tempat ini.

"Hai, Ciny?"

Gadis yang di panggil tadi mengadahkan pandangannya. "Yuda?"

Bukan, bukan karena sang gadis tidak mengenali wajah lelaki tadi. Tetapi karena dia tak menyangka wajah yang menempel erat di memorinya itu berada di tempat ini.

Lelaki itu tersenyum kepada sang gadis. "Boleh saya duduk di sini?"

Saya. Dulu kata ganti orang pertama itu terdengar penuh afeksi. Sekarang, tidak lebih dari formal dan profesional.

Sang gadis itu mengangguk sambil mengenakan kacamatanya. Hening beberapa saat sampai sang gadis memutuskan untuk membuka suara. "Lama gak ketemu. Gimana kabarnya?"

"Baik," jawab si lelaki singkat.

Hening lagi.

"Kamu apa kabar?" lelaki itu balik bertanya.

"Baik juga."

Gadis tersebut memberanikan menatap sang lelaki. Lelaki yang sadar sedang dipandangi itu membalas kilatan mata gadis tersebut. Tak ada yang terjadi selama beberapa menit. Hanya suara berderik dari dapur kedai. Menyadari ada sesuatu yang salah, si gadis membuang tatapannya ke arah jalan.

"Kamu ngapain ke sini?" tanya sang gadis.

"Saya habis dari Tangerang. Terus keinget dulu sering kesini sebelum berangkat sekolah. Jadi, saya putusin istirahat di sini sebentar."

Gadis tersebut tersenyum miris. Tidak ada lagi kata 'kita' kala si lelaki menceritakan kedai kopi ini dalam kenangannya.

"Kamu sendiri ngapain di sini?" tanya si lelaki, "Atau kamu masih sering ke sini?"

Tak ada yang mampu dikatakan gadis itu. Lidahnya mendadak kelu. Dia hanya bisa mengangguk. Sang lelaki juga ikut mengangguk. Lalu hening lagi. Saat hening sang gadis mengumpulkan keberanian untuk menanyampaikan suatu pertanyaan yang terlintas di pikirannya. Di hatinya juga.

"Nindya sama Sintia apa kabar?" Akhirnya.

"Mereka baik. Sintia masuk TK nol besar tahun ini. Nindya lagi hamil anak kedua." Air muka cerah lelaki itu terlihat saat menjawab pertanyaan sang gadis. Senyuman terukir di wajah kokohnya. Sang gadis ikut tersenyum, dengan sedikit senyum masam yang ada.

"Selamat, ya!" ucapnya penuh semangat yang dipaksakan.

Sang lelaki balik bertanya, "Kamu sendiri gimana? Udah ada ca--"

"Belum. Aku lagi fokus ngelanjutin S2."

Si lelaki hanya memanggut-manggut. "Ngambil apa?"

"Filsafat," si gadis menjawab mantap.

Lelaki dihadapannya memandang dia sedikit tidak percaya, "Filsafat? Tapi dulu bukannya kamu ngelarang sa--"

"Manusia bisa berubah pikiran kapan aja, kan? Aku udah pertimbangin. Gak usah khawatir." Si gadis tersenyum kecut, "Ngapain juga ngawatirin aku."

Si lelaki menatap sang gadis dengan rasa bersalah. Melihat nanar mata dari sang lelaki, si gadis mengerti sesuatu dan berkata, "Bukan karena kamu."

"Saya gak kepedean, kok." Kekehan di akhir kalimat si lelaki berusaha memecahkan keheningan antara dua orang yang sewindu lalu tidak mampu menyembunyikan senyum saat jari mereka saling bertaut.

Sewindu sudah si lelaki melangkah maju, melewati jalan yang baru. Namun, sewindu yang sama, si gadis gagal untuk mencari jalannya sendiri.

Sang gadis melihat keluar jendela. Entah untuk keberapa kalinya sejak tiba di kedai ini, sang gadis menghela nafas berat.

Berada di dekat sumber sesaknya selama ini tidak ada bagusnya.

Sang gadis akhirnya memutuskan untuk berdiri. Mengangkat serta barang-barangnya.

"Da, aku duluan, ya. Masih harus lanjut lagi."

Si lelaki mengatakan hati-hati sebelum sang gadis melenggangkan kakinya pergi dari kedai ini. Sang gadis masuk ke mobilnya. Kepalanya dia sandarkan ke setir mobil. Dia menggeram. Merapalkan sumpah serapah kenapa dia harus bertemu dengan seorang laki-laki yang sudah dicintainya lebih dari setengah umur hidupnya.

Bagi Ciny, melupakan masa lalu dengan Yuda bagaikan mencoba mencabut ratusan pohon sampai ke akarnya, melelahkan.

Saking melelahkannya, Ciny memutuskan untuk meninggalkan pohon itu begitu saja.

Tanpa menyadari kalau akarnya semakin hari semakin kuat.

Suatu Hari di Kota HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang