2. Kami Memandang Langit yang Sama

214 13 1
                                    

Saya dan Abang tetap memutuskan untuk turun lebih dulu. Meskipun saat kami berjalan turun, dari arah belakang kami Tiur terus memaki-maki dengan bahasa Jawa nya yang kasar. Meski begitu, kami tetap tidak berhenti.

Saya terus berpegangan pada lengan Abang selama berjalan turun. Saya kebanyakan menundukkan kepala ketika kami berjalan turun, hanya demi menghindari pemandangan-pemandangan menakutkan yang tersaji di kanan dan kiri saya.

'Di balik indahnya pemandangan pegunungan yang ditawarkan untuk mata lahir, tersimpan banyak hal-hal gelap yang tersaji untuk mata batin.'
Akhirnya saya mengerti apa arti dari kalimat yang dulu pernah Abang katakan pada saya itu. Ketika saya bertanya pada Abang, hal apa yang membuat dia selalu merasa tertarik untuk terus mendaki gunung. Dan jawabannya, adalah hal yang saya sebutkan di atas.

"Capek?" tanya Abang, begitu kami sudah berjalan lumayan lama.
Ya, Abang akhirnya bicara, setelah kami sama-sama terdiam sejak awal perjalanan.
Saat itu, saya hanya menggelengkan kepala.

"Anggap nggak pernah ada kejadian apa-apa. Lupain," ucap Abang, seolah bisa membaca isi kepala saya.

"Adek takut, Bang. Adek ngga pernah begini," ucap saya, masih belum bisa mengendalikan rasa takut dan airmata yang tiba-tiba saja turun.

"Abang minta maaf ya. Gara-gara Abang ajak kamu kesini, malah jadi kacau," Abang sempat menoleh ke arah saya, mencoba untuk tersenyum tipis.

"Lain kali kalo mau liburan, ajaknya ke bioskop aja, jangan ke gunung, ya," balas saya, berusaha untuk merubah suasana. Saya tertawa, tapi dengan mata yang berkaca-kaca. Hati saya takut, tapi saya percaya apa bahwa apa yang Abang alami jauh lebih berat.

Saya kurang menyadari berapa lama waktu yang kami lewati bersama ketika berjalan turun. Tapi entah kenapa, bagi saya rasanya jauh lebih lama daripada saat mendaki.
Sesekali saya melirik Abang, mau bertanya tapi sungkan, sebab saya yakin sekali, kalau Abang sudah hapal benar jalan mana saja yang harus kami lalui untuk bisa sampai ke bawah.

Tapi tiba pada sebuah turunan yang cukup curam, kami dihadapkan pada sebuah jalan kecil yang hanya bisa dilalui satu orang. Jika pun lebih, maka harus saling bergantian. Saat itu Abang berhenti. Saya tidak bertanya, tapi memperhatikan.
Saya melihat ke arah kemana Abang melihat, dan saya menyadari kalau ada sosok yang tengah memperhatikan kami dari kejauhan. Ya, Abang pasti sedang melihat ke arah sosok bapak tua berjenggot putih yang berdiri beberapa meter di bawah sana.

Berkas-berkas matahari yang mulai tinggi, masuk melalui celah-celah pepohonan, Meski seperti hologram, saya pun bisa melihat sosok bapak tua itu di bawah sana. Saya tidak mengenalnya, tapi sorot matanya terlihat teduh menatap.

"Abang turun duluan, nanti Abang bisa pegangin Adek dari bawah,"
suara Abang yang tiba-tiba bicara, membuat pandangan saya beralih dari sosok bapak tua tadi. Saya sempat mengangguk, tapi saat saya kembali menoleh ke arah yg sama, bapak tua itu sudah menghilang entah kemana.

Abang yang sudah khatam akan medan perjalanan disana, dengan sigap berjalan turun lebih dulu. Dan setelah sampai dibawah, dia mengulurkan tangannya untuk membantu saya turun.

Lagi, kemudian tidak ada satupun diantara saya dan Abang yang saling bicara. Tidak ada yang bercerita mengenai apa yang masing-masing kami lihat selama perjalanan. Jika mungkin bagi Abang itu adalah hal biasa, maka berbeda bagi saya yang baru pertama kali mengalami nya. Bukan pemandangan seperti ini yang ingin saya lihat ketika mendaki sebuah gunung. Bukan seperti ini yang saya bayangkan sejak awal.

Abang sepertinya sudah paham, setiap kali dia melihat saya terkejut akan sesuatu, atau saat saya tak sengaja menarik lengannya, maka dia akan berhenti untuk menenangkan saya beberapa saat sebelum akhirnya kami melanjutkan perjalanan.

SUNYA LIRIS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang