Trigger warning: Panic attack, suicidal thought
Jeongguk
Dari Denpasar, Jeongguk makan mentah-mentah dua jam perjalanan menuju Karangasem. Ia harus bertemu dengan seseorang yang juga telah membelanya. Walaupun tidak terlalu berhasil karena tekanan berbagai pihak, setidaknya biarkan ia sendiri yang mengucap terimakasih. Perbuatan pemuda itu termasuk besar dan sungguh sebuah keberanian membiarkan Jeongguk lewat di halaman Puputan meski harus berkorban nyawanya sendiri.
Pertama yang bisa ia temui adalah pemuda berbalut kaos dan celana pendek yang berjongkok di halaman. Memunggungi pagar pintu masuk dengan satu pot besar yang entah diapakan. Wajahnya menoleh kesana-kemari guna memastikan sesuatu.
Jeongguk jadi ikut-ikutan berjongkok. Memperhatikan banyak kembang lain yang tumbuh meski tidak ada hal spesifik yang ia lihat. Cuma kumpulan kembang kamboja, beberapa tangkai berwarna kemerahan yang Jeongguk tidak tahu namanya.
"Sat!" Suara pekikan berasal dari sang lawan bicara. "Hyang Widhi Wasa," gumamnya sambil mengusap-usap dada. Menenangkan jantungnya sendiri. "Kenapa ndak bilang kalau mau mampir, Basuki?"
"Melihat kamu sama kembang lebih lucu."
Bambam menghela napas panjang. Kedua telapaknya yang masih bernoda tanah jadi tidak bisa memastikan kalau pakaian yang dikenakannya ini layak bertemu dengan Jeongguk. Wajahnya jadi sedikit menyesal dan terkesan bersalah. "Tiang(saya) ganti baju dulu," katanya.
"Ndak usah." Tubuh Jeongguk bangkit. "Cuci tangan saja. Kita mengobrol disini."
"Mau tiang buatkan kopi?"
"Ndak perlu, Bam. Santai saja." Jeongguk menepi di pelataran rumput. Mendudukkan dirinya sendiri supaya tidak menghalangi jalan. "Aku mau tanya soal Jimin."
"Jimin?" Tubuh Bambam didudukkan di atas tanah berumput. Jeongguk sebenarnya tidak enak karena masih harus membawa aturan-aturan tidak tertulis di kehidupan mereka yang sudah modern. Lelaki ini semata-mata terlampau menghormati turunan Basuki sampai merasa kalau duduk di sampingnya ada sebuah kesalahan. "Tiang, kan, ndak terlalu tahu karakternya. Cuma satu kantor saja."
"Ya."
"Kamu kemari bukan cuma karena itu."
"Tepat." Jeongguk manggut-manggut. "Aku bahkan ndak tahu ini mengobrolkan soal apa, sebenarnya."
Bambam tidak menanggapi. Ia cukup diam dan beberapa kali mengibaskan kain kaos yang tengah ia kenakan. Masih bernoda tanah meski tidak banyak. Ia juga memastikan kalau tubuhnya tidak bau apak dengan menciumnya disana-sini.
"Mungkin ke tahu soal trauma Jimin," kata Jeongguk, "ke orang yang pintar. Aku ndak yakin kalau ke ndak tahu apa-apa soal dia karena ke juga mengamati dia di kantor."
"Ada beberapa yang tiang sendiri juga ndak mengerti."
"Jimin punya permintaan, Bam."
"Ke kamu?"
"Ya."
"Lalu?" Bambam bertanya tidak mengerti. "Seperti bukan kamu saja bertanya soal pendapat orang," ujarnya, "apa ndak mau tanya ke bligung saja? Mungkin mereka bisa lebih mengerti."
"Mereka ndak paham soal sifat Jimin. Aku rencananya mau tanya ke temannya; Hoseok. Tapi aku ndak yakin kalau temannya itu mau mengerti maksud Jimin dan mengijinkan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewananda [kookmin]
Fanfiction[ ON REVISION WITH ADDITION SCENE ] : KookMin Indonesian's Mythology: Legenda Naga Basuki Ia tidak pernah menanti sebuah ampunan yang datang dari Sang Hyang Widhi. Biarlah nanti ia menerangi jalannya sendiri. Tapi mengapa sosok itu datang dan membua...