Matahari sudah mulai turun melewati atas kepala. Angin sejuk mulai berhembus, dan langit tidak lagi secerah tadi. Udara dingin mulai terasa merambati tengkuk. Sementara kecipak air yang berasal dari tambak ikan terdengar sesekali."Apo! woyy! Apo!" sebuah panggilan melengking terdengar dari ujung pematang sawah.
Pemuda yang diteriaki itu pun menghentikan sejenak aktifitasnya memeriksa tambak-tambak ikan nila nya. Mengangkat kepalanya, dan menatap heran sahabat karibnya yang berlarian tak tentu arah itu.
"Masu? ngapain sih teriak-teriak? kaya orang dikejar babi hutan tau ga?!" Apo menghampiri Masu, sahabatnya yang seperti baru pulang bermain futsal, lengkap masih dengan sepatu futsal mengalung di lehernya.
Masu menghentikan langkah tepat di depan Apo, menatap pemuda yang masih berkubang di dalam tambak. Meraup napas banyak-banyak seolah hendak kehabisan oksigen.
"Kamu kok mau nikah ga ada ngasih kabar sih??" Tiba-tiba Masu melontarkan pertanyaan yang membuat kening Apo berkerut heran.
"Nikah apaan wey?? ngaco aja! siapa yang mau nikah siapa??" Apo melepaskan sarung tangan karet yang berlumur lumpur lalu berkacak pinggang.
"Ya kamu, lah. Jahat banget kabar sepenting itu ga ngasih tau?? dianggap apa aku ini?" Masu lagi-lagi kembali bertanya, kali ini menatap Apo dengan pandangan merajuk, kesal.
"Idih, kata siapa mau nikah??? aneh banget. Orang ga ada yang mau nikah, tuh." Apo lagi-lagi mengelak, tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan teman seperpopokan nya itu.
"Heh! ga usah ngelak ya kamu! satu kampung udah tau semua! tadi juga anak-anak yang main futsal pada ngomongin kamu, trus pas aku lewat depan rumah mu lagi ada rame-rame, pas kutanya kakak mu, katanya lagi lamaran!" Masu dengan berapi-api bicara. Membuat kerutan di kening Apo kian bertambah banyak.
"Gimana judulnya mau nikah kalo orangnya aja ga tau? ini aku aja dari pagi di tambak, ngurusin benih ikan nila. Ga usah ngarang cerita deh kamu!" Apo mengibaskan tanganya di depan wajah Masu, mementahkan semua ucapan temannya itu.
"Lho, trus itu lagi acara lamaran gimana ceritanya? aneh banget masa calon pengantin nya masih ngurusin ternak ikan begini?" Masu ikut terheran-heran.
Ketika keduanya sama-sama tercenung heran, datanglah perempuan dari belakang tambak. Perempuan cantik berambut hitam panjang yang tubuhnya dibalut baju terusan itu menghampiri kedua pemuda yang masih terheran-heran itu. Apo mengenali perempuan itu sebagai kakak sulungnya, Davina.
"Apo! ayo pulang! calon suami mu nungguin di rumah!!" Teriak Davina dengan begitu semangat. Tersenyum manis sambil melambai-lambaikan tangan nya pada kedua lelaki itu.
Bagai petir disiang bolong, suara Davi yang ceria itu terdengar menggelegar di telinga adik laki-lakinya. Membuat Apo melotot dengan raut wajah yang tak terbaca kearah saudari sulungnya itu.
"Hah?? apaaan sih kak, jangan ngaco deh! calon suami apaan? udah gila kali ya!" Apo dengan cepat keluar dari tambak, kaki-kakinya yang dipenuhi lumpur tidak ia hiraukan. Bergegas menghampiri kakaknya meminta penjelasan.
Masu yang penasaran pun turut serta mengikuti kakak beradik itu. Davina menarik tangan adiknya, lalu menyeretnya meninggalkan tambak. Berjalan tergesa-gesa tanpa memberikan penjelasan apapun.
☘️☘️☘️
Memang benar ucapan Masu, di pekarangan rumahnya yang seluas lapangan futsal itu telah terparkir mobil-mobil mewah. Lamborghini huracan coupe yang Apo liat di majalah otomotif bulan lalu, bersebelahan dengan Maserati hitam mengkilat yang seolah mengejeknya.
"Kak? ini maksudnya apa ya?" Apo berjalan melipir melewati dua mobil mewah yang memenuhi pekarangan rumahnya. Menghampiri keran air dan membasuh kakinya yang penuh lumpur disana. Celananya yang sejak tadi digulung, dia gulung lagi lebih keatas, karena cipratan air keran sekarang ikut memenuhi gulungan celananya, berama dengan percikan lumpur sisa di tambak tadi.
"Udah, masuk dulu. Nanti juga ngerti." Davina tersenyum simpul sambil menatap adiknya penuh arti.
"Masu mau ikut kedalam juga?" Kali ini, Davina menatap kearah Masu, sahabat Apo yang sejak tadi mengekori mereka berdua sampai kerumah.
Masu yang ditanya begitu merasa tidak enak hati. Dia merasa kalau ini bukanlah urusannya, karena meskipun dia di rumah itu sudah dianggap seperti anak sendiri, tetap dia merasa kalau acara hari itu bukanlah ranahnya. Jadi, meski penasaran setengah mati, dia pamit undur diri. Memilih untuk menelpon Apo saja malam nanti.
"Masu pulang duluan deh, Kak! pamit ya!" Pemuda itu lantas terburu-buru meninggalkan pekarangan rumah itu. Dan menghilang di balik kelokan jalan.
Apo menghela napas, tangannya digamit Davina dan mereka masuk kedalam sambil mengucap salam.
Pemandangan pertama yang dilihat Apo adalah berbagai macam bingkisan parsel di atas meja ruang tamu, dengan sepasang orang tua yang tampak seusia ayah ibunya, juga seorang pemuda tampan yang sepertinya berusia sedikit lebih tua darinya. Apo menelan ludah, duh, kalau benar ini acara lamaran, maka lamaran siapa? Davina, kakaknya jelas tidak mungkin. Perempuan itu sudah menikah dan bahkan sudah memiliki anak balita. Sedangkan adiknya, Bara, lebih tidak mungkin lagi. Adik bungsunya itu baru masuk sekolah menengah atas, jadi satu-satunya yang tersisa adalah dirinya sendiri. Apo tersenyum kikuk, memaksakan menjaga raut wajahnya.
"Nah, Apo udah pulang, sini nak, duduk kenalan sama Nak Mile!" Suara Ayahnya menyadarkan Apo dari lamunan. Dia menoleh dan menyadari sejak tadi menjadi pusat perhatian. Sementara Davina sudah sejak tadi melipir ke bagian dalam rumah.
Apo mendekat kearah Ayahnya yang duduk bersebrangan dengan pemuda tampan tadi, yang Apo duga sebagai 'Nak Mile' itu.
"Ya ampun Apo! lihat itu celana mu penuh lumpur! Nanti habis memberi salam pada Nak Mile langsung mandi, ya!" Ibunya yang duduk disebelah Ayahnya bersuara. Menimbulkan gelak tawa kecil di ruang tamu yang tak begitu luas itu.
"Gapapa, bu besan. Santai saja, kami maklum kok, Apo kan baru pulang dari tambak." Wanita sebaya ibunya yang Apo tebak sebagai orang tua Mile itu menyahut, tersenyum simpul memaklumi.
"Ayo kalian kenalan dulu!"
Apo menatap canggung pemuda yang sekarang berdiri di depannya itu. Pemuda itu tampak sedikit lebih tinggi darinya, dengan tubuh yang jelas lebih besar dari dia. Kulitnya putih, terlampau putih seperti sehelai kapas. Alisnya tebal dengan sorot mata menukik tajam. Hidungnya mancung dan rahangnya tegas. Apo menelan ludah, meski tampan, orang di depannya ini terlihat cukup menakutkan.
"Milendra Brawijaya, kamu bisa panggil saya Mile, salam kenal ya." Mile berinisiatif menjabat tangan Apo terlebih dulu, melihat tanda-tanda pemuda di depannya masih kebingungan.
Apo gelagapan, dia balas menjabat tangan Mile dengan kaku. "Ah, iya! Nattawirya Adikusuma." Menyebutkan nama lengkapnya dengan canggung.
Mile menatap Apo dari ujung rambut sampai keujung kaki. Rambut hitamnya yang tebal dengan sedikit ujungnya kecoklatan karena terbakar matahari, matanya yang kecil namun cukup tajam, hidung bangirnya, bibirnya yang tipis, dagunya yang cukup lancip, kulitnya yang serupa madu kecoklatan, kaos lusuhnya yang menguarkan bau matahari, juga celana yang dilipat nyaris sampai kelutut memamerkan betis jenjangnya yang panjang. Semuanya diteliti tanpa luput seinchipun. Apo sampai merasa ditelanjangi oleh tatapan itu.
"Bu-bun, Apo mandi dulu!" Tidak tahan dengan tatapan itu, Apo bergegas meninggalkan ruang tamu. Persetan dengan orang tua Mile yang belum dia sapa dengan benar. Apo malu, teramat malu. Kenapa dia harus bertemu orang yang katanya sedang melamarnya itu dalam keadaan bau keringat dan apek setelah seharian terjemur matahari di tambak? duh, bikin jelek kesan pertamanya saja.
Sementara Mile kembali duduk, ekor matanya melirik Apo yang terbirit-birit masuk kedalam rumah, meninggalkan ruang tamu.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
SNOW ON THE BEACH (MILEAPO FANFICTION)
FanfictionApo mengerti, bahwa Mile tidak akan pernah mencintainya sampai kapanpun. Ia juga mengerti, kalau pernikahan mereka hanyalah selembar kertas selama setahun kedepan. Ia juga mengerti, kalau Mile menikahinya hanya karena menuruti kemauan neneknya dan d...