Catatan 2

3 4 0
                                    

Adhysta itu suka sekali dengan senja, saking sukanya bahkan ia tak pernah bosan untuk menyaksikannya setiap hari ditemani dengan semilir angin sore yang menyejukkan hati.

Seperti saat ini

Dista kembali duduk ditepi danau dengan seulas senyum manisnya, entah apa yang dipikirkan gadis itu.

Ya, sebisa mungkin gadis itu menghabiskan hari harinya dengan senyum manis dan bahagia walaupun harus berpura pura. Setelah pulang sekolah dista selalu menyempatkan diri untuk berada disini hingga matahari benar benar menyembunyikan sinarnya kemudian diambil alih oleh sang rembulan.

Dista suka itu, apapun yang terjadi dirumah nanti, dia akan menghadapinya dengan tegar kembali. Memasang badan yang kuat dan kokoh agar tak cepat tumbang jika nanti ayah menambah luka baru di raga maupun batinnya.

Dista selalu membayangkan akan hadirnya sosok ibunda yang dulu selalu mengajaknya bermain, ia tak dapat menampik bahwa dia rindu bunda setiap waktu.

'bunda tidak pergi, bunda hidup dalam hati Adhysta'

Hanya kata itulah obatnya setiap kali ia merindukan bunda, bunda itu sayang sekali dengannya. Tidak pernah sekalipun bunda mengucapkan kata kasar maupun memperlakukan dista dengan kasar pula.

Pandangan dista beralih pada gerombolan burung burung yang terbang diatas sana, lagi lagi dista tersenyum menyaksikannya. Entahlah apa yang membuat gadis itu begitu bahagia sekarang, padahal badannya masih belum pulih karena demam.

Langit melihat dista ke danau untuk kesekian kalinya, dia lebih memilih menyaksikannya dari jauh sembari memandang heran gadis yang sedikit jauh didepannya itu yang terus saja tanpa melunturkan senyum.

Bisa langit tebak, Adhysta itu anak yang periang sebenarnya. Dia jadi semakin penasaran bagaimana sosok seorang Dista dibalik sosok kalemnya.

Ingin rasanya langit menghampiri dan menyapa dista, tapi takut mengganggu- ahh tapi dia ingin sekali. Baiklah ayo kita hampiri saja si pemilik senyum manis itu

Tap

Tap

Tap

Langit berjalan perlahan dan berdiri disamping dista setelahnya, melipat kedua tangannya diatas dada sembari melihat kearah sekeliling. Matahari belum sepenuhnya terbenam, perpaduan gradasi warna biru langit serta warna jingga begitu serasi hingga menimbulkan warna sedikit keunguan. Dan jangan lupakan sedikit gumpalan awan putih yang menggantung seakan menjadi hiasan pemanis pemandangan langit tersebut.

Bulan sudah menampakkan wajahnya sedari tadi namun matahari sepertinya masih enggan turun tahta, mungkin masih ingin menyinari dua insan yang tengah berada ditepi danau ini dengan memberikan pesona indahnya yang mengagumkan.

"Sendirian aja"

"Eh, Astaga!" Dista menoleh kesamping yang ternyata sudah ada langit yang tengah berdiri sembari menatap kedepan.

Dista menghembuskan nafasnya

"Langit... Gue kira siapa" ucap dista lega, langit kemudian mengambil posisi bersila tanpa mengalihkan pandangannya.

"Emang siapa lagi yang tau tempat ini selain kita?"

Dista menggeleng "gatau"

Langit menoleh sekilas kearah dista, sedikit memperhatikan lekuk wajah Adhysta yang terlihat sempurna dimatanya, kemudian pandangannya kembali beralih keair danau yang beriak tenang karena terpaan serangga air.

"Lo nggak pulang?"

Dista menggeleng

"Nanti dulu, kalo mataharinya udah bener-bener tenggelam" sahutnya.

Langit Senja AdhystaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang