bab 2

22 1 0
                                    


Suasana pagi di desa ini terasa begitu mencekam dengan awan hitam menyelimuti langit desa.
Hawa duka terasa begitu pekat.

Subuh tadi, kabar hilangnya lima bayi di desa ini di umumkan dari pengeras suara mesjid desa.

Siang ini, para warga di undang oleh aparat desa untuk menghadiri rapat bersama di balai desa. Guna membahas kejadian semalam.

"Jadi, bagaimana solusi dari masalah ini pak?" tanya seorang bapak pada kepala desa yang sedang duduk di depan para warga, memimpin jalannya musyawarah.

"Untuk sekarang, kita perketat lagi penjagaan di desa ini. Petugas ronda akan di tambah." tutur kepala desa.

"Semalam saja banyak yang ronda. Tapi kita masih kecolongan entah oleh makhluk seperti apa." sahut warga lain.

"Saya rasa menambah personil ronda dan memperketat penjagaan saja tidak akan cukup." tambahnya lagi.

"Yah, benar. Setidaknya kita harus menangkap makhluk tersebut." tutur bapak yang duduk di kursi ketiga sebelah kanan baris kedua.

"Bagaimana cara kita menangkap nya? Apa disini ada yang tahu bagaimana rupa dari makhluk itu." ujar kepala desa.

"Kita tidak tahu dia makhluk seperti apa. Berbahaya atau tidaknya kita tak tahu. Menangkapnya tanpa perencanaan yang matang seperti bun*uh diri." lanjut kepala desa.

Semua warga terdiam mendengar ucapan kepala desa. Hingga tiba-tiba sosok bapak yang duduk di kursi ketiga kembali buka suara.

"Bukankah yang sedang ronda tadi malam melihat makhluk itu." ucapnya.

Semua pandangan warga yang hadir menatap ke arah Satir dan teman-temannya yang bertugas ronda tadi malam.

"Kami tidak melihatnya. Yang melihat sosok itu hanya pak Sarto." ucap Satir menerangkan.

Para bapak-bapak kembali terdiam. Pak Sarto tidak hadir di musyawarah karena masih dalam keadaan terpukul. Semalam anaknya hilang dan sampai saat ini belum di temukan.

"Bukankah sebaiknya kita memikirkan cara untuk menemukan bayi-bayi yang hilang itu?" Sinin membuka suara dengan memberi saran.

"Iya. tapi, harus di cari dimana. Kita tidak tahu jalan pikiran makhluk itu." sahut kepala desa.

"Pak. Ini pasti ulah Leak!" ujar lantang warga lain.

"Tidak mungkin. Leak sudah di musnahkan tujuh tahun lalu." ucap pak kepala desa.

"Bisa saja leak yang tujuh tahun lalu sudah mewarisi ilmunya pada keturunannya." tutur bapak itu lagi. Pak Ranto namanya.

"Kurang ajar! Jangan asal ceplos kamu To." terdengar teriakan tanda tak terima dari arah kursi belakang. Pak Samir.

"Saya sejak tadi diam. Namun kamu malah memancing saya. Tutup mulutmu itu sebelum tanganku sendiri yang menutup nya." lanjutnya.

"Kenapa? Kau merasa tersinggung karena memang benar adanya." tantang pak Ranto.

"Kurang ajar!"

pak Samir hendak memukul wajah pak Ranto, namun warga lain dengan sigap menahan bapak dengan tiga anak tersebut.

"Berani kau padaku. Jika memang tidak benar, mengapa kau sampai semarah itu." lanjut pak Ranto berucap.

"Tutup mulutmu. Kau sangat suka menghasut warga disini agar ikut membenci orang yang tak kau sukai." ucap pak Samir dengan mata merah menahan kesal.

"Sudah-sudah. pak Ranto, mohon tidak menuduh secara sembarangan. Pak Samir dimohon duduk tenang di kursi anda." lerai pak kades dari tempat duduknya.

Para warga yang menahan pak Samir melepas cekalan mereka. Pak Ranto pun terlihat duduk kembali di kursinya dan tidak mengeluarkan suara lagi.

Fitnah Membawa Petaka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang