Prolog

13 4 0
                                    


“bagaimana kita akan ikhlas, jika sesuatu yang membuat kita ikhlas itu tidak berani bahkan tidak mau kita kerjakan!”

***

Seorang laki-laki paruh baya tampak terbaring lemah di atas brankar kamar bernuansa putih dengan bau khas obat-obatan itu. Ia tampak terjaga, memandang sendu dan penuh kasih sayang pada putrinya yang kini terlelap di sampingnya seraya memeluknya hangat.

Sesaat terdengar suara helaan nafas beratnya yang terdengar penuh beban. Hidupnya mungkin sudah tidak lama lagi, ia tahu itu. Namun ia tidak sedih akan hal itu, ia akan kembali, kembali kepada sang pencipta dan ia sangat tak sabar akan hal itu, apalagi mengetahui bahwa mungkin istrinya juga sudah menunggu.

Namun, apa kabar dengan putri semata wayangnya? Satu-satunya anak, harta dan keluarganya yang ia miliki. Bagaimana keadaan putrinya nanti ketika ia pergi? Ini pasti tidak akan mudah baginya, mengingat putrinya baru saja mencapai usia 14 tahun beberapa hari yang lalu. Gadis sebelia itu tanpa bimbingan orang tua tidaklah mudah.

Ia menarik nafas panjang, mengingatkan diri bahwa Allah adalah maha segalanya. Semua jalan hidup, rezeki, jodoh dan maut semua makhluk di muka bumi ini sudah diatur-Nya. Bahkan semut yang kecil pun memiliki garis takdirnya sendiri, jadi ia tidak perlu khawatir.

Namun manusia tetaplah manusia, selalu khawatir pada sesuatu yang padahal sudah pasti baginya. Apalagi kini ia seorang ayah, tidak ada seorang ayah pun yang ingin putrinya terlantar. Jadi ia sudah memutuskan perkara besar untuk putrinya, prihal bagaimana nantinya, ia akan pasrahkan semuanya pada Allah.

Kemudian lelaki paruh baya itu mengambil ponselnya, menelfon seseorang di sebrang sana.

“Assalamualaikum” sapanya pada seseorang disebrang sana, setelah mendapat jawaban salam dari seseorang itu lelaki paruh baya itu pun melanjutkan “saya minta tolong, jaga putri saya! Sebagai gantinya saya akan berikan semua saham perusahaan yang saya punya kepadamu!"

“...”

“malaikat izrail mungkin akan segera--”

“...”


*
*
*

“terimakasih!”

***

“Bangun nak, sholat shubuh dulu!” pak Yusuf membelai kepala putrinya lembut untuk memebangunkan gadis itu. “lara sayang... allah udah nunggu lho” lanjut lelaki paruh baya itu menyolek-nyolek hidung putrinya, membuat gadis itu menggeliat dan menatap Ayahnya dengan tatapan sayu bangun tidurnya seraya bertanya.

“Udah jam berapa yah?”

“Jam 4:20, wudhu gih! Ayah imamin" Lara hanya menjawab dengan anggukan kemudian beranjak dari brankar ayahnya menuju kamar mandi.

Seusai berwudhu seakan baru menyadari sesatu, gadis itu langsung membuka pintu kamar mandi tanpa mengenakan hijabnya kembali “Ayah udah sehat?! Kok jalan ke kamar mandinya gak bangunin Lara?! Ntar kalau--”

Lelaki paruh baya itu menghampiri putrinya dengan membawa mukena, menyelipkan rambut putrinya ke belakang, kemudian memakaikan mukena kepada gadis itu dengan telaten.

“Ayah udah sehat, kamu gak perlu khawatir, ayo kita sholat!”

Lara Alesha Habibah, gadis itu menatap ayahnya lekat seraya mengikuti langkah ayahnya menuju ke atas tikar yang sudah tergelar dua sejadah di atasnya “ayah beneran udah sembuh??!”

Tentang LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang