Diceritakan pada zaman pengawal, para dewa-dewi berseteru dalam penyelesaian masalah jiwa fana Manusia.
"Jika Kita terus-menerus seperti ini, bagaimana keturunan Bumi serta alam semesta menjadi griya? Semua pertengkaran ini hanya menimbulkan masalah baru!" Kuwera memimpin jalannya percakapan. Seisi ruangan dipenuhi suara dialog, tidak mungkinlah suara itu berakhir dalam satu kehidupan.
Dentuman keras berbunyi, Dewa Wisnu menyampaikan pesan terakhirnya sebagai pamungkas perdebatan.
"Usaikan pembicaraan Kalian. Mulai kurun ini, Kalian sendiri akan mengutuk masing jiwa dengan kebodohan Kalian. Jiwa-jiwa yang Kalian pilih, tidak bukan buah pikiran Kalian sendiri. Cukup."
Seusai kalimat Wisnu, para dewa-dewi membagi jiwa mereka. Penuh harapan mereka untuk manusia yang mereka pilih. Jiwa-jiwa ini nantinya, akan meneruskan perjalanan dan masa depan hidup dewa-dewi.
=<•>=
Waktu menyelesaikan malamnya, kini waktu Candra Wirama Hamengkubuwono mengikuti upacara keluarga temurun.
Ritual diawali sambutan Kakek Candra.
Menaiki papan stadium, Kakek Candra memulai upacara, "Dengan segala hormat untuk keturunan Kita. Semoga Hamengkubowono tetap abadi di bumi pertiwi. Harapan demi harapan dipucuki segala makna. Mari Kita mulai acara ini dengan do'a. Candra? Pimpinlah do'a untuk Kami."
Candra yang sedang termenung menatap Pohon Kesemek di ujung matanya. Berkali-kali digubris, tetap tidak peduli. Seolah-olah dunianya hanya berputar untuknya.
"Candra!" Ibunya berteriak demi membangunkan tidur siang Candra.
"Eh, iya Bu?" Candra mendongak.
"Beginilah jika abad sudah berubah, tidak ada lagi yang dipedulikan bagi manusia zaman ini. Seperti waktu dan dunia ini hanya milik mereka. Semoga Tuhan memberkati kita semua." Kakek Candra menutup sambutannya dengan do'a singkat. Candra ditertawakan para keluarganya.
Ritual dilakukan demi menjaga kelestarian keturunan Hamengkubuwono. Sementara Candra asik dengan dunianya. Candra sayang dengan keluarganya. Namun, baginya ritual tidak ada urusan dengan kehidupan Candra. Ritual itu terlalu kuno dan buang-buang waktu.
Candra meninggalkan keluarganya, memilih melepaskan dirinya dan menyatu dengan hembusan angin kelapa. Candra duduk di tubuh pohon kelapa yang sudah jatuh tenggelam di lautan pasir. Menikmati hangatnya sang surya pagi hari. Cahayanya memeluk tubuh Candra.
"Le, awakmu ora biso yen mung meneng-menengan ndek kene. Kowe iki cah bagus, kudu iso nerusake perjuangan leluhurmu." (Nak, Kamu tidak bisa jika diam-diam saja di sini. Kamu ini Anak baik, harus bisa meneruskan perjuangan leluhurmu.) Ibu Candra, Sasmita. Sasmita mencoba membujuk anaknya agar ikut serta dalam kegiatan keluarga.
Candra diam tidak mendengarkan ajakan ibunya.
"Iki kabeh mung gawe urip Hamengkubowono Cahku. Ayo melu dadi siji ing petilasan." (Ini semua untuk kehidupan para Hamengkubuwono anakku. Ayo ikut menjadi satu di petilasan.) Usaha keras Sasmita mengajak Candra.
"Pangapuntenipun sanget Bundaku. Aku mboten bisa dados satunggal ing petilasan. Aku mung bisa mendel yen ana acara kaya ngene. Saka sajrone ati Candra, mboten bisa percaya adat saka Hamengkubowono." (Maaf sekali Bundaku. Aku tidak bisa jadi satu di petilasan. Aku hanya bisa diam jika ada acara seperti ini. Dari hati Candra, tidak bisa percaya adat dari Hamengkubowono.) Penjelasan Candra membuat Sasmita mengelus dada. Sasmita tahu jika Candra percaya akan Tuhan, namun tidak bisa percaya dengan adat seperti ini.
"Yawes le, yen peyan pingine kaya iku. Ibu pamit mbali ing petilasan. Ndang melu, ben ora nyesel ing mburi." (Yasudah Nak, jika Kamu inginnya seperti itu. Ibu pamit kembali ke petilasan. Cepat ikut, agar tidak menyesal di belakang.) Sasmita pergi meninggalkan Candra di bibir pantai.
Candra merenungi perkataan ibunya. Candra sangat menyayangi ibunya, namun Candra tidak bisa berbuat banyak jika bersangkut paut dengan upacara adat keluarganya.
Candra hanya memiliki ibunya sebagai orang tua. Ayahnya meninggal semasa Candra berumur 8 tahun. Kejadiannya cukup membekas dan meninggalkan trauma dalam hati Candra. Ayahnya meninggal di mata Candra sendiri. Kini, Candra menyerahkan hidupnya pada Sasmita.
Saat Candra masih termenung di pesisir, teriakan datang dari petilasan.
"KEBAKARAN!! KEBAKARAN!!" Teriakan warga setempat melihat petilasan yang sudah bersatu dengan abu. Candra berlari kencang membelah angin pantai. Candra hanya mengkhawatirkan ibunya. Candra berharap agar ibunya selamat.
Candra sampai dan melihat seluruh keluarganya terpanggang oleh api. Candra menangis, tak kuasa melihat seluruh keluarganya tergeletak.
"IBU!! IBU!!" Candra mencari ibunya dari gumpalan asap. Ketika di ujung petilasan, Candra hanya bisa menangis dan lemas tak berdaya. Mayat ibunya terbaring di tumpukkan arang. Candra tak sadarkan diri.
(Rumah Sakit)
Candra masih belum sadarkan diri. Sedangkan para dokter dan perawat berlarian kesana kemari untuk melakukan inspeksi pada korban kebakaran petilasan. Tidak ada yang selamat, hanya Candra. Keluarga Hamengkubowono menyisakan Candra sebagai keturunan terakhir untuk melanjutkan masa depan kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahwana
FantasyPara dewa-dewi menurunkan jiwanya pada setiap manusia untuk saling berpasangan. Sarwa cerita, dilanjutkan titisan Dewa Rama pada Candra. Mencari jodohnya tanpa usai. Apakah Rama dan Sita berakhir mulia?