IV

3 0 0
                                    

Suara misterius kembali menghantui Candra, "Sakgurunge ketemu bahasa wong kene, tak wenehi aji wicaraku ben ora glagapan Awakmu ngomong". (Sebelum bertemu bahasa orang sini, kyberi aji wicaraku biar tidak gagap saat Kamu bicara.)

Seketika cahaya jingga kemerahan memutari tubuh Candra. Candra merasakan sesuatu yang selama ini tidak pernah Candra rasakan. Sebelumnya bacaan-bacaan yang Candra lihat tidak pernah sekalipun Candra baca. Sekarang, seluruh kata dan kalimat bisa Candra tafsir.

Kaki Candra berpijak di Pesisir Giliputih. Tidak ada yang spesial, hanya hamparan pasir di karpet samudra.

"Opo saiki sing ana ing kene? Sing tak deleng mung tirta segara." (Apa sekarang yang ada disini? Yang kulihat hanya air samudera.) Tanya Candra kepada kehampaan.

"Minggiro sedela, tutupen mripatmu. Aja mberot." (Minggir sebentar, tutup matamu. Jangan melawan.) Jawaban yang tidak diinginkan Candra. Namun apa daya, susah payah Candra sampai di Bali jika bukan karena wasiat ibunya.

Candra menutup matanya, mengosongkan pikirannya. Seolah-olah pikirannya terbelah menjadi berbagai bagian. Suara-suara ombak digantikan keheningan. Candra merasa hampa untuk sesaat. Wilayah pesisir sekarang digantikan dengan ruang hitam. Candra diombang-ambing perseteruan di otaknya. Candra mencoba melawan.

"Dikandani aja mberot, Awakmu isok mati yen terus kaya ngunu. Rungakna Aku, aja ngurusi otakmu." (Dibilangin jangan melawan, Kamu bisa mati jika terus seperti itu. Dengarkan Aku, jangan mengurusi otakmu.) Suara misterius menenangkan Candra.

Candra pasrah, berserah diri kepada suara kosong.

BLARRRR

"HAH?!"

Candra terpaksa membuka matanya sebab suara seperti helikopter jatuh mengejutkan lelapnya.

Tidak disangka, di hadapan Candra bukan lagi pesisir di tengah hamparan air laut. Sedangkan istana megah dengan emas dan berlian sebagai dinding mahligai. Candra terdiam seribu bahasa, terpaku oleh indahnya pemandangan istana yang baru beberapa detik muncul secara tiba-tiba. Degup jantung Candra semakin kencang, tubuhnya bergerak sendiri memasuki istana.

Kagumnya membuat Candra bingung, "Bagaimana bisa ada tempat seperti ini di antara luasnya samudera?"

"Jawabanmu ada di depanmu nak." Sosok di besarnya tirai depan Candra.

"Siapa Kamu?" Candra semakin dilanda kebingungan dengan sosok aneh yang berhiaskan berlian.

"Kuwera. Panggil saja Aku Kuwera." Jawaban dari sosok besar menimbulkan pertanyaan besar dalam otak Candra.

"Candra Jatmika Hamengkubowono, namamu sudah terukir dalam benak para dewa. Apa yang sedang Kamu cari, jawabannya selalu ada padamu. Buka isi hatimu Candra." Kuwera menyampaikan paragraf penuntun Candra untuk mencari alasan ibunya memberi wejangan.

Candra diam. Seolah diterjang badai, Candra terbangun di tempat Candra memarkirkan kendaraanya.

Candra berteori sendiri dengan gumaman-nya, "Kabeh iki wes jelas, makku pasti dukun." (Semua ini sudah jelas, ibuku pasti dukun.)

"Ojok ngawur awakmu iku, Ibumu ora seng mbok bayangno dodol!" (Jangan sembarangan Kamu itu, Ibumu bukan seperti yang Kamu bayangkan dodol!) Suara misterius kembali muncul.

"Sampeyan sisan iki sopo sakjane? Kok nguatur uripku ben melu wejangane ibuk-ku." (Kamu juga sebenarnya siapa? Kok mengatur hidupku agar mengikuti wejangannya Ibuku.)

"Aku iki dewa seng nuntun awakmu ben gak bodoh-bodoh nemen, wes melu ana Aku, ben ora salah ing uripmu sak lanjute." (Aku ini dewa yang menuntun Kamu agar tidak bodoh-bodoh banget, sudahlah ikuti saja Aku, agar tidak salah di hidupmu selanjutnya.)

Candra sudah cukup lelah untuk berseteru dengan udara, "Yowes." (yasudah.)

Candra kembali berkendara memutari Pulau Bali untuk pergi ke Danau Batur, destinasi kedua.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RahwanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang