Sang surya mengobarkan apinya. Ruangan Candra terisi sejuknya udara pagi. Candra yang sedari shubuh terbangun dengan mata kosong. Candra teringat akan ibunya tentang penyesalan. Kini, Candra benar benar menyesal. Hanya Candra yang tersisa dari keturunan Hamengkubuwono.
"Selamat Pagi Candra. Halo? Kamu oke kan ya? Memang kejadian kemarin sangat tidak terduga. Turut berduka cita atas kepergian keluargamu. Aku disini cuma pingin ngasih surat ini dari ibumu, mungkin Kamu tahu maksudnya. Maaf mengganggu waktunya ya. Aku pergi dulu ya, melihat keadaanmu yang masih mengkhawatirkan." Erik, Sahabat karib Candra menitipkan sepucuk surat berlapis perak.
Tatapan kosong Candra mulai terisi. Candra mencoba memahami isi surat ibunya. Surat itu ditulis dalam aksara jawa.
"Hah?" Candra melongo dari surat yang ia baca. Candra beranjak turun dari ranjang sakitnya.
Sosok misterius yang duduk di ujung ruangan mengungkap suaranya, "Hey, mau kemana?"
"Nik? Ngapain Kamu disini?"
"Pertanyaan macam apa itu, siapa yang pingsan di tengah kobaran api hah?" Pertanyaan retoris Niko.
Niko yang merupakan teman SMP Candra. Mereka bereuni setelah tahu jika Niko yang membawa Candra ke rumah sakit.
"Kok Kamu bisa ada di petilasan?"
"Aku berniat buat ke pantai sih, tiba-tiba aja ada suara ledakan dari petilasan. Terus ramai lah teriakan dari orang-orang." Niko menjelaskan keadaan dari sudut pandangnya.
"Aku bahkan gatau kalau ada suara ledakan. Ya Allah, goblok sekali Aku ini." Candra memecahkan suasana ruangan dengan isaknya.
Niko memberi gelas berisi air putih, "Minum dulu Can."
Ruangan lengang beberapa saat. Candra terdiam setelah beberapa tegukan air dispenser.
"Tadi mau kemana?" Tanya Niko.
"Mau pulang."
"Yaudah, kuantar aja." Jawab Niko.
"Gausah, ngerepotin."
"Ngapain sih? Kayak gakenal aja." Niko mengajak Candra naik motornya. Niko sempat menanyai tentang keluarga Candra. Jelas, Candra tidak bisa menjawab. Diamnya Candra menjawab pertanyaan Niko.
"Turut berduka cita ya Can, kalau kesepian boleh chat di grup kelas aja. Kami nggak mungkin nggak ngebantu."
Sesampainya di Rumah Candra, Niko berpamitan.
Candra menjabat tangan Niko, "Makasih banyak Nik, Maaf dari kemarin ngerepotin aja."
"Halah, aman!" Ujar Niko singkat.
Candra kembali ke tempat sandarannya. Melihat segala foto kenangan bersama ibunya. Kejadian yang akan selalu membekas di hati Candra. Candra mencoba mencari makna dari surat ibunya.
"Urip ing ndunya mung sadela. Titraning jaman, Suryaning Candra. Golekana jodohe ati."
("Hidup di dunia hanya sebentar. Airnya zaman, cahayanya bulan. Carilah jodohnya hati.")
Candra mencari segala petunjuk dari surat, namun selalu akan berakhir pada pencarian jodoh untuk Candra. Candra kebingungan, selama ini Candra tidak pernah bertemu dengan perempuan. Keluarganya melarang untuk bertemu perempuan di luar keluarga besarnya. Menutup Candra dari segala celah untuk hidup. Setiap sekolah yang Candra tempati hanya khusus untuk laki-laki.
Candra bertanya kepada Erik soal surat yang diberikan ibunya.
(Chat)
Candra: "Rik, gimana ceritanya ibu ngasih suratnya ke kamu?"
Erik: "ceritanya ruwet Can"
Candra: "ceritain aja, faham ga faham tetep kubaca"
Erik: "ibumu ngasih surat pas Aku masih kelas 5 SD"
Candra: "terus"
Erik: "ibumu ngasih pesan kalau semisalnya ibumu meninggalkan kamu, kasih suratnya"
Candra: "lanjut"
Erik: "katanya surat itu buat wejanganmu"
Candra: "gitu doang?"
Erik: "iye, gitu doang"Candra membanting ponselnya. Candra kesal atas segala kejadian yang menimpanya. Ibunya menitipkan pesan yang sangat Candra benci. Candra tidak pernah mencoba cinta-percintaan. Bahkan bertemu perempuan saja, Candra harus meminta izin dengan proposal. Candra masuk ke dalam kamar ibunya. Kamar ibunya masih tertata rapi setelah sehari kepergian keluarganya.
Candra melihat foto ibunya di atas kabinet. Candra meneteskan air matanya melihat foto ibunya. Candra tidur di ranjang ibunya dengan memeluk foto Sasmita.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rahwana
FantasyPara dewa-dewi menurunkan jiwanya pada setiap manusia untuk saling berpasangan. Sarwa cerita, dilanjutkan titisan Dewa Rama pada Candra. Mencari jodohnya tanpa usai. Apakah Rama dan Sita berakhir mulia?