•|03

6 0 0
                                    

Perih hati saya mendengarnya bercerita. Tetes air mata jatuh tak terkira. Bagaimana bisa nenek menganggap bahwa mereka merawatnya? Bukankah nenek yang menggantikan suaminya menjadi tumpuan keluarga? Merawat anggota mereka yang bahkan tak terlihat peduli padanya. Nenek hanya diberi uang sebanyak Rp 15.000, - per hari dari seluruh hasil jualannya.

Sekejam itukah semesta untuknya? Diduakan orang tercinta, lalu diasingkan disuruh bekerja. Tega sekali para insan yang tak memiliki nurani. Nenek kerap menahan lapar dan dahaga, hidup diatas rasa iba insan yang melihatnya.

Saya ajak nenek ke warung nasi terdekat. Lahap disetiap suap mengisyaratkan beliau sangat lapar. Sesekali nenek membungkus beberapa lauk untuk dibawa pulang.

"Nenek makan aja yang ada di meja ini, nanti saya pesankan lagi untuk makan di rumah." Ucapanku membuat binar wajahnya terpancar, kemudian beliau melanjutkan kembali kegiatannya.

"Terima kasih banyak, nak."

Kata-kata itu melekat di kepala. Rasa bersyukur kepada diri sebab bisa membantu orang lain yang membutuhkan. Tersadar hanya dengan sepiring nasi, hidup seseorang bisa terselamatkan.

Mengisi keheningan sembari menikmati yang beliau sebut rezeki, saya selipkan gurauan di beberapa suapannya. Lagi, saya terkunci pada garis netra. Gelak tawa seperti lama tak terukir di wajahnya.

"Bagaimana jika nenek lapar namun kerupuknya belum terjual?" Gumam saya penasaran.

"Terkadang ada orang baik yang memberikan sedikit rezekinya, jika tidak ada ya tidak makan siang. Laparnya ditahan sampai pulang." Jelas nenek.

Tersentak saya mendengarnya. Lalu, terbesit niat untuk membantu nenek. Saya julurkan bantuan yang tak seberapa. Sontak bulir bening mengalir begitu saja ketika nenek menyuruh saya memberikan uang tersebut kepada pemulung yang sedang mengais sampah di seberang jalan sana.

"Nenek masih ada untuk beli nasi, kamu berikan saja kepada anak di seberang sana. Dia masih kecil tapi badannya kurus sekali."

Dengan senyum sayu, nenek memandang dalam anak laki-laki tersebut. Hidupnya tak pernah diwarnai dengan tangisan balita atau pun keluhan seorang dewasa, mungkin sepi dirasa. Bagaimana malaikat sebaik itu disia-siakan oleh dunia? Tiada pancaran kecewa di raut wajahnya. Dalam keadaan seperti ini pun ia masih mementingkan orang lain di atas kepentingannya. Kemudian saya ambil puluhan plastik kerupuk nenek, lalu saya bagikan kepada pedagang buah di sekitar Pasar Bambu Kuning. Saya berikan sejumlah rupiah kepada nenek dan ia menerimanya.

Mendung di Atas TerikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang