“Apa urusanmu ingin tahu apa yang mau kulakukan?” Tanyaku dengan sorot mata tajam.
“Saya … “ Lidah Damiri kelu karena merasa terintimidasi olehku.
“Lebih baik sekarang pergi ke ruanganmu! Aku mau ke ruangan Zavian! Beresin ‘kotoran’ yang kamu perbuat di awal kerja sama kita. Cepet beresin atau aku bakal menghabisimu karena bikin Zavian ngerti rahasiaku selama ini!”
Damiri mengangguk dengan menelan bulat-bulat salivanya. Ia tidak menyangka jika aku memiliki aura intimidatif yang tidak kalah menakutkan jika dibandingkan Zavian.
“Cepat!” Bentakku sambil menunjuk arah pintu.
Dengan wajah sedikit pucat akibat bentakanku, Damiri berjalan keluar dengan langkah lebar kemudian aku mengikutinya dari belakang dengan sama tergesa-gesanya. Andai tidak memakai rok span dan sepatu berhak tinggi, aku ingin berlari secepatnya ke ruangan Zavian.
Derap sepatu berhak tinggiku beradu nyaring nan cantik dengan lantai kantor yang bersih mengkilap. Tatapan lurus ke depan dengan dada yang membusung sempurna serta rambut yang kuikat rapi begitu menunjukkan kastaku sebagai seorang wanita karir yang luar biasa dan layak dihormati.
Tidak perlu izin atau membuat janji seperti karyawan lain ketika memasuki ruangan Zavian. Aku segera melenggang masuk tanpa menjawab sapaan sekretaris Zavian lalu menutup pintunya rapat.
“Sayang?” Zavian menatapku heran dari atas kursi kerjanya.
Aku yakin dia sedang bertanya-tanya perihal kedatanganku yang begitu mendadak. Lalu aku berjalan mendekat dengan anggun disertai tatapan mataku yang mengunci perhatiannya. Persetan dengan pekerjaan kami untuk sesaat.
“Zav, aku merindukanmu.” Ucapku lalu mendudukkan diri di atas pangkuannya.
Zavian selalu wangi dan rapi lalu aku duduk dengan manja di atas kedua pahanya dan melingkarkan tanganku di leher sembari merebahkan kepala di pundaknya.
Ah, mungkin istri pertamanya, Diva, merawat Zavian dengan baik saat pulang ke rumahnya.
“Tumben? Nggak biasanya kamu mau ke ruanganku kalau nggak penting?”
Benar, sebenarnya ini penting tapi aku mengkamuflasekannya dengan alasan rindu.
“Aku istrimu, Zav. Dua malam ini kamu nggak tidur di rumahku. Wajar kan kalau aku kangen.” Ucapku dengan membelai rahangnya.
“Ave, aku bisa hilang kendali. Ini masih jam 9 pagi loh.”
“Salahmu nggak bikin kamar di pojok ruangan ini. Kan bagus buat kita.” Ucapku manja lalu memainkan dasinya.
“Nggak etis lah sayang ruang kerja jadi satu sama kamar.”
Lalu Zavian mencuri satu ciuman dari bibirku dan melumatnya. Persetan dengan lipstickku yang hilang karena ulahnya. Yang penting Damiri segera menghapus kekeliruan keuangan dan menggantinya secepat mungkin. Atau aku akan menghabisinya.
“Kamu ngerjain apa, Zav?” Ekor mataku melirik ke arah laptop.
“Ngecek laporan seluruh divisi. Dan seharusnya manajer keuangan berada di tempatnya, tapi malah nangkring di pangkuanku.” Lucunya.
Aku tertawa lalu menutup laptop itu perlahan. Sementara waktu, Zavian tidak boleh meliat update data keuangan yang dimanipulasi Damiri.
“Zav, nanti malam tidur rumahku ya?” Rayuku seadanya karena tidak mungkin mengajaknya sarapan di jam segini.
“Besok sayang. Hari ini masih jatah pulang ke rumah Diva. Oke?”
Aku amat tidak masalah mau hari apapun Zavian datang ke rumahku, karena yang kubutuhkan adalah hartanya, bukan waktu bercinta kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Godaan Sang Bawahan
RomansaAku berambisi mengambil sebagian harta perusahaan suamiku dengan cara diam-diam demi kemajuan perusahaan keluargaku. Bersama seorang bawahan yang meminta imbalan menjadi simpanan gelapku, Damiri. Wanita mana yang tahan digoda terus menerus oleh baw...