Harapan

950 51 0
                                    

Dara menatap buku di tangannya dengan perasaan hampa. Semangat mengajarnya hilang. Ingin rasanya berhenti dan fokus mengurus Dewa, tapi itu tidak mungkin dilakukan. Siapa yang nanti akan mencukupi kebutuhan hidup mereka?

Banyak dana yang dikeluarkan selama suaminya dirawat di ruang intensive. Bantuan memang datang dari banyak pihak, terutama keluarga dan rekan kerja. Dara bersyukur akan hal itu, namun tetap saja dibutuhkan biaya lebih banyak lagi untuk proses penyembuhan.

"Gimana kondisi Mas Dewa, Ra?" tanya Riri.

Jam mengajar sudah selesai, tapi Dara masih memeriksa tugas murid-muridnya. Dia tak mau membawanya ke rumah, karena Ciara akan meminta perhatian. Anak itu rewel sekali sejak ayahnya dirawat, tidak mau jauh darinya.

"Belum ada kemajuan satu minggu ini, Ri. Aku juga gak tau."

Matanya bengkak karena setiap hari menangis. Nanti setiba di rumah dia akan istirahat dan makan sebentar kemudian pergi ke rumah sakit. Begitulah rutinitasnya setiap hari.

"Jaga kondisi kamu, Ra. Kasihan bayi."

"Rasanya aku gak sanggup, Ri. Kalau bukan karena ibu yang menguatkan, mungkin aku udah mau nyerah," ucapnya.

"Kamu harus kuat. Demi Ciara. Demi bayi kamu. Kalau memang gak sanggup, mending resign aja, Ra. Jangan dipaksakan." Nasihat Riri.

"Kalau aku resign gimana keadaan kami? Mungkin, mobil Mas Dewa bakalan dilelang buat biaya pengobatannya."

"Harta bisa dicari, Ra. Yang penting kesehatan dulu," kata Riri bijak.

Sejak dulu memang dialah yang selalu menghibur jika sahabatnya ini sedang bersedih hati. Tak hanya berbagi kebahagiaan, namun juga saling menguatkan juga mengingatkan. Bahkan menegur jika salah satu ada yang berbuat kekeliruan.

"Kami udah rembukan sekeluarga. Orang tua Mas Dewa setuju," jelas Dara. Mau tak mau ini harus dilakukan mengingat hanya itu jalan keluar yang terbaik.

"Kamu break aja dulu, Ra. Cari guru pengganti, nanti sewaktu-waktu kerja lagi," usul Riri.

Dara berpikir sejenak lalu berkata, "Mungkin nanti aku akan bicarakan ini dengan keluarga. Saat ini belum bisa memutuskan."

Riri memasukkan ponsel dan note book ke dalam tas. Ini sudah sore dan waktunya mereka pulang.

"Kamu udah selesai? Ayo aku antar."

Dara mengangguk lalu membereskan barang-barangnya.

***

"Udah siap?"

Kedatangan Arya mengejutkannya. Dara sedang berada di dapur dan membuat secangkir teh untuk teman duduk sambil menunggu jemputan. Tak menyangka jika kakak iparnya itu datang lebih cepat.

"Eh, ini baru mau bikin teh. Sebentar Dara siap-siap dulu," jawabnya.

Wanita itu sedikit kaget. Setahunya, setiap menjemput Arya akan menunggu di ruang tamu. Mengapa sekarang malah masuk ke dapur? Mungkin karena sudah terbiasa dari dulu karena ini rumah adiknya.

"Kakak tunggu di depan."

"Kakak gak kerja? Sudah 1 minggu disini. Nanti pekerjaannya terbengkalai," tanya Dara.

"Kakak ambil cuti panjang. Kasian kalian, siapa nanti yang ngurusin. Mama papa udah tua," jelasnya.

Arya anak pertama, dua bersaudara dengan suaminya. Jarak usia mereka tidak terlalu jauh, selisih dua tahun. Namun sampai sekarang lelaki itu belum menikah. Berbanding terbalik dengan Dewa yang menikah muda.

Dara tak terlalu mengenal dekat sosok Arya. Laki-laki itu sibuk bekerja. Hanya pada saat pernikahan mereka dulu mereka bertatap muka lebih lama.

"Sebentar Dara siap-siap dulu, ya."

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang