Bab ii

5 1 0
                                    

Bel pertanda pulang sekolah berbunyi dengan nyaring. Para murid menyambut hangat sembari bersorak penuh kemenangan di dalam hati. Perayaan seperti ini sering mereka lakukan walau dalam jangka waktu yang panjang—tidak hanya sekali dalam satu bulan.

Ketika mereka mendapatkan guru yang suka bercerita, berbagi pengalaman. Para siswa menolak untuk pulang cepat—sekedar menarik simpati, padahal mereka tidak bisa membohongi suasana hati yang sudah berbunga-bunga. Mungkin itu yang Mawar rasakan sekarang.

“Yah. Sepertinya kisah Ibu harus lanjut besok, deh. Kita nanti cerita-cerita lagi yuk, Buk!” sahut Mawar sambil menunjukkan raut masam. Para siswa seakan tahu ke mana arah pikiran Mawar, mereka secara serempak menggoda sang guru untuk kembali melanjutkan pengalaman pribadinya. Tentu di samping itu sang guru sudah tahu maksud dari anak-anak didiknya.

“Kalau dibayar dengan PR sepuluh halaman, sih, akan Ibu usahakan, ya,” balas sang guru sembari menyembunyikan senyumannya. Seketika para murid serentak mengeluh. Sang guru pun hanya tersenyum sembari membereskan perlengkapan mengajarnya.

Begitu guru tersebut pergi, Mawar segera berlari keluar kelas setelah pamitan dengan teman dekatnya, Sintia. Wanita itu berlari ke kelas Agung, menunggu pria itu keluar dari kelasnya. Dia duduk di kursi yang sedang menganggur di samping vas bunga besar.

Tidak lama menunggu, Mawar melihat Agung menghampirinya, lantas dia pun berdiri dengan penuh semangat. “Ayo kita pulang. Hari ini ibuku membuat jasuke, kita bisa makan bareng-bareng.” Gadis itu melompat kecil di depan Agung.

“Baik. Ayo kita pergi.” Agung melayangkan senyuman. Mereka senantiasa pulang serta berangkat bersama. Mereka sudah lama berkenalan, bahkan rumah mereka saling berdekatan—tetanggaan. Itulah mengapa Mawar selalu mengajak pria itu makan bersama keluarganya.

Sementara di belakang Mawar ada Mahesa sedang menatap gadis itu secara diam-diam. Dia sedang menunggu dua temannya di kelas IX C. Dia duduk di kursi panjang bersama Chandra. Mereka berniat untuk pergi ke perpustakaan, sekedar berdiskusi dan mengerjakan tugas untuk minggu depan.

Tidak lama itu, Asrar datang bersama Bagas. Tepat di sana, ke-empat pria itu memandangi gelagat Mawar yang melayangkan tatapan mengejek kepada Mahesa. Asrar yang melihatnya tidak bisa menahan tawa, dia terkikik gemas sambil mencoba menyembunyikan senyumannya. Sementara di pihak Mahesa, dia hanya membalasnya dengan tatapan tajam.

“Jadi hari ini kita hanya diam di perpus?” Chandra membuka obrolan. Dia menyimpan ponselnya ke dalam tas. Mereka lantas berniat untuk pergi menuju bangunan perpustakaan yang berada di samping gedung sekolah.

[] [] [] [] []

Mereka tiba di dalam sebuah ruangan. Perpustakaan ini memiliki beberapa ruangan khusus untuk para siswa berdiskusi atau sebut saja ruang meeting. Mereka menyimpan tas-tas mereka di sofa panjang. Dalam setiap ruangan terdapat satu sofa panjang serta satu meja bundar yang diisi oleh empat kursi. Mereka tidak menyediakan rak buku sehingga para pengguna harus menyimpan kembali buku-buku mereka di tempat khusus—tempat sortir.

“Ah, nyaman sekali.” Bagas merebahkan tubuhnya di sofa.

Chandra memilih untuk duduk di kursi, memeriksa ponselnya. “Bukankah sebaiknya kita sholat terlebih dahulu?” kata pria itu ketika mendapatkan pesan masuk dari seseorang, mengingatkan dirinya untuk tidak melupakan kewajiban.

“Kau benar. Ayo kita sholat,” sahut Bagas, duduk di sofa.

“Kalian duluan saja. Aku sudah terlanjut membaca buku ini.” Mahesa sedang fokus membaca buku yang baru dia temukan di rak perpustakaan.

“Memangnya lebih penting dari pada sholat, ya?” ujar Bagas. Dia mengintip bacaan Mahesa dan menemukan judul dari buku tersebut. “Belajar cara berenang? Yang benar saja!” kata pria itu, tercengang.

Apa Itu Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang