Hari ini cuacanya panas sekali, padahal sudah beberapa hari terakhir selalu hujan. Aku sekarang berada di perpustakaan pusat kota, karena beberapa hari terakhir hujan, makanya aku langsung ke perpus di pagi hari dan mengharapkan membuat proposal sembari mendengarkan hujan. Ternyata semuanya tidak seperti yang kuharapkan. Aku duduk di dekat jendela, di mana jalan raya yang padat selalu menemaniku, semuanya nyaman. Kecuali si Abror, yang mendengkur dengan keras di belakangku, "Heh lu daripada tidur di sini mending jemput adek gue dah." Jika Ayah sedang berhalangan untuk mengantar dan menjemput Devan, Abror lah yang akan menggantikannya.
Abror sendiri setingkat denganku dan Danilla. Semua orang kenal dia, dari para dosen, kajur, satpam kampus, satpam bank, abang cilok, abang bakso, pokoknya semua orang yang kutemui pasti mengenal Abror. Kalau kalian berpikir aku akan berakhir dengan Abror, kalian salah. Walau aku tidak tahu masa depan, tapi berpasangan dengan Abror akan menghabisi energiku. Yang paling membuatku menggaruk kepala dari Abror adalah selalu ke kondangan setiap weekend, kalian pasti mengira ia akan datang ke sembarang kondangan untuk makan gratis, namun itu semua salah. Iya, dia selalu diundang. Makanya, saat Ayah ada jadwal di luar kota, dan anak-anaknya ini tidak bisa diandalkan, Bunda selalu menelpon Abror untuk menumpang ke acara nikahan, sampai-sampai Abror suka dikira anaknya Bunda.
"Adek lu pulang jam 4. Lu gimana sih, kakaknya malah gak tau." Devan bukan seseorang yang akan memberitahu dia akan makan apa malam ini, game apa yang dia mainkan, atau hanya sekadar memberitahu kepada orang lain kalau dia sakit.
Tetapi akhir-akhir ini, Devan suka sekali bersama Abimana -adiknya Abror.
"Ror, kira-kira di AGLE ada lowongan kerjaan gak?" tanyaku basa-basi. Sebenarnya sih penasaran juga, karena nama tempat makan itu sangat ramai dikunjungi mahasiswa sepertiku.
"Nggak ada, lu tau sendiri yang punya sangat-sangat menjaga pandangan." Bang Regan adalah pemilik AGLE, manis dan baik hati, bukan kataku tapi wajahnya mengungkapkan semuanya.
Tiba-tiba Abror berdiri dengan wajah terkejutnya yang ku yakini ia menerima pesan dari dosennya, entah itu karena dosennya yang meminta kelasnya dimajuin atau dimundurin, "Kenapa lu?"
"Coba lihat deh," Abror melihatkanku percakapannya dengan dosen killer dari jurusanku, "Bu Rina mau nikah sama Pak Rodi." ucapnya
Satu hal yang ada dipikiranku adalah GIMANA BISA LU DAPAT UNDANGAN DARI DOSEN KILLER GUA??
"Kok lu bisa dapat undangannya?" tanyaku kepada Abror.
Abror menatapku dengan pandangan aneh, "Bukannya lu sudah tau gue selalu ke kondangan setiap weekend?"
"Bukan itu maksud gue, gimana bisa lu kenal sama Bu Rina ANJIR!"
"Oh lu gak tau ya kalau gue sering disuruh Bu Rina bawa mobilnya buat ke pencucian mobil."
Kini aku mengernyitkan dahiku, "Kenapa bisa lu yang disuruh?"
"Kan gue kerja di sana."
SUMPAH!
Aku tahu Abror memiliki banyak kerjaan selama dia bisa, tetapi aku tidak pernah berekspektasi dia akan mengambil job di tempat pencucian mobil juga. Selama ini aku hanya berangan-angan ingin bekerja di suatu perusahaan BIG 3 tetapi seperti menunggu keajaiban, aku malas untuk berinteraksi sosial, malas belajar, dan malas bergerak. Sesaat aku mengetahui Abror, aku menyadari keambisiusan dia, yang menjadikan seperti apa dia sekarang.
"Gue kagum banget sih sama lo, Ror."
"Waduh gak usah begitu, besar kepala nih gue."
"Sumpah."
Abror yang masih berdiri kini tengah membereskan buku-bukunya di meja, "Gue mau ke rumah, lu mau numpang gak?"
Aku menyilangkan tangan di depan badanku, tanda tidak mau.
"Oke gue duluan ya."
"Jangan lupa jemput adek gue."
Hanya dibalas dengan jempol oleh Abror.
Sesaat setelah Abror pulang, aku masih memikirkan cara agar mendapatkan duit tanpa keluar rumah.
Tetapi ada satu suara yang membuatku sadar akan kehadirannya, suara pensil yang bergesakan dengan buku.
Aku menoleh ke sampingku, satu-satunya orang di sana hanyalah dia. Lelaki dengan badan tidak berisi dan berkulit putih. Rambutnya sedikit gondrong seperti ciri khas anak seni di kampusku, melihatnya menggambar sesuatu di buku gambarnya, aku jadi sangat yakin dia anak seni. Entah di kampus yang sama denganku atau tidak.
Tanpa sadar aku terus melihatnya secara terang-terangan, membuatnya mungkin risih saat tatapan kami bertemu.
Aku yang memutuskan kontak mata itu terlebih dahulu, malu sekali rasanya. Aku memukul pipiku, menyadarkan diri kalau aku bukan di dunia fiksi.
Aku kembali ke dalam posisi membaca buku, tetapi pikiranku tidak bisa bohong. Aku membayangkan jika dia akan datang ke tempatku dan memberikan hasil gambaranya yang ternyata dia menggambarku secara diam-diam. Memikirkannya saja mampu membuat pipiku panas.
Seandainya saja.
Mendengar suara Adzan di Masjid membuatku sadar akan satu hal lagi, aku harus berada di rumah jam 4 karena Bunda memintaku untuk menemaninya berbelanja. Aku berdiri untuk menyusun bukuku yang berserakan, tetapi aku menemukan satu benda asing di sebelah buku di mana ada kertas putih dengan tulisan "BERISIK!"
Dari awal aku berada di sini, hanya ada aku, Abror, dan lelaki seni tadi. Aku melihat ke lelaki tadi, tatapan kami bertemu lagi, aku dan dia berlomba-lomba untuk tidak memutuskan tatapan. Kini tatapanku ke dia bukan lagi tatapan ingin ditemui tapi tatapan sinis.
Tidak salah lagi, pasti dia yang memberikan kertas ini. Mengingat, aku dan Abror sempat ngobrol dengan Abror dengan nada keras, "SIALAN!"
Tanpa memikirkannya, aku mengambil kertas itu untuk kubuang bersamaan denganku keluar perpustakaan.
***
Bunda hanya tertawa saat aku menceritakan kejadian di perpustakaan, "Lagian sudah tau di perpus, masih sempat-sempatnya kalian gosipin dosen."
Bukan salahku dan Abror, kami hanya me-review kembali perlakuan manusia tanpa dosa yaitu dosen kami sendiri. Dosen yang menjengkelkan.
Aku mendorong troli belanjaan Bunda, karena para saudaraku selalu memiliki kegiatan di luar rumah. Maka aku adalah anak- satu-satunya yang sangat setia dengan membantunya dengan sukarela mengangkat belanjaannya. Tetapi belanjaan Bunda kali ini terlalu over, "Bun, ini belanja buat tiga bulan ya?" tanyaku dengan tanda tanya besar.
"Sembarangan, Bunda mau reuni sama temen-temen SMA." ternyata reuni lagi, Bunda suka sekali mengajak orang-orang ke rumah, "Reuni lagi?"
Bunda menaruh atensinya kepadaku, "Kenapa, gak suka?"
Aku sedikit lemes mendengarnya, bukan lebay atau alay, tetapi ada satu temannya Bunda yang selalu menjodohkan anaknya dengan aku.
Kalau tidak denganku ya dengan Danilla, tetapi Danilla selalu berhasil menghindar.
"Bun, itu Awan sama Abror ya?" Bunda ikut mengikuti arah pandanganku, kami melihat Devan sedang sibuk memlih minuman di depan kulkas hypermarket, lalu ada Abror yang sedang berdiri di belakangnya dengan membawa beberapa makanan ringan dan minuman. Aku bisa menebak, pasti si Awan minta dijajanin sama Abror lagi.
"Bener-bener ya tu anak." tanpa berpikir, Bunda langsung menghampiri mereka. Awan yang sadar akan kedatangan Bunda langsung menjelaskan keadaan padahal Bunda belum sampai menghampirinya, "Bang Abror yang ajak Awan."
Padahal semua orang juga tahu kalau Devan lah yang menjadi alasan Abror dan dia berada di sini, "Awas aja kalau nyusahin orang."
"Nggak tante, memang saya yang ajak Devan ke sini." kini Bunda sedikit percaya, sedangkan Awan sudah senyum-senyum dari tadi.
"KAMU GIMANA SIH, KALAU GAK BAWA UANG JANGAN BELANJA DONG!" suara itu membuat semua perhatian menuju ke kasir, aku dan yang lain berada di tempat minuman yang berada di ujung.
Karena suara itu, aku dan yang lain langsung berlari untuk melihat keributan di sana.
Benar saja, itu Kak Alan dan Danilla.
KAMU SEDANG MEMBACA
That's why I can love you
FanfictionTiramisu dan Choco berusaha untuk berada di satu tempat. Kalau beli gelato, kamu bisa pilih 2 rasa, aku bakal pilih vanilla dan tiramisu.