4

14 1 0
                                    

"Lu tuh aneh banget tau gak, lu dibentak di depan umum dan lu masih aja beralasan dia punya anger issues dari bapaknya, terus apa, Dan?" 

"Gue gak tau, Van."

"Kita disayang sama Ayah bukan buat kita dapat orang yang seenaknya sama kita, Dan."

Bunda dan Abror adalah orang pertama yang memisahkan Danilla dengan Kak Alan, memang Kak Alan tidak bermain fisik, tetapi mempermalukan Danilla di depan umum bukanlah hal yang wajar.

Bunda tidak suka diperhatikan seperti ini, tapi untuk anaknya dia adalah tameng yang akan selalu menjaga di garda terdepan. Bunda berada di depan Danilla sedangkan Abror berusaha menjauhkan Kak Alan dari mereka berdua. Aku dan Awan ikut bergabung untuk melindungi Danilla. Semua belanjaan Danilla ku masukkan ke dalam troli belanjaan Bunda.

Sedangkan aku melihat Abror dan Kak Alan yang sedikit cekcok, "Abror sudah." kalimat itu keluar dari mulut Danilla, kami semua melihat ke arahnya, bukankah seharusnya Kak Alan yang salah di sini tetapi mengapa Danilla menyuruh Abror untuk berhenti.

DASAR BEGO!

Karena tidak nyaman dengan semua tatapan mata yang sudah betah melihat kami secara lama, aku menyuruh Bunda dan Danilla untuk pergi dari sini, karena aku tahu Bunda sangat tidak menyukai menjadi pusat perhatian. Ada sedikit panik yang kulihat di matanya.

Tapi dari sana bodohnya aku, aku kan tidak bawa dompet. 

"Wan, bawa uang berapa?"

Awan menggaruk tengkuknya, "hehe."

"Kita tinggal di sini aja Kak trolinya terus kita pulang." ide itu ku tolak mentah-mentah, "Bunda mau reuni nanti malam, kalau gak di beli sekarang kapan lagi?"

Satu-satunya harapan kami, Abror. Aku masih melihatnya berdiri di depan hypermart, sedang menelpon seseorang.

"Kita tunggu Abror aja."

"Terus sekarang kita ngapain?" tanya Awan dengan wajah lusuhnya.

"Kita jajan lebih banyak lagi lah, jangan lupa kamu telpon Abror supaya dia ke sini lebih cepat." perintahku.

"SIAP!"

***

"Danilla," panggil Bang Jevan yang sedang menjulurkan kepalanya ke kamarku, sebagai basecamp Danilla dan Devan jika suntuk.

"Ikut abang sebentar, dek." aku melihat wajah Danilla pucat, mau ketawa tapi kesihan juga. Sedang aku dan Awan dari belakang mendorong Danilla agar cepat keluar dari kamar. Karena kami sudah tidak sabar untuk menggosip, ditambah Bunda datang ke kamarku dengan buah-buahan yang ku beli tadi, "Bun, sudah ganti uang Abror?"

"Belum, Bunda mau minta nomor rekenignya Abror ke Ayah tapi si Ayah kepalanya lagi panas. Tapi Bunda sudah chat Abror sih, belum dibalas aja nih."

Bunda duduk di kasurku yang langsung berada di lantai, jadi saat Bunda duduk tingginya tak jauh berbeda dengan kami yang duduk di bawah. 

"Bun, kira-kira Kak Dani bakal diinterogasi gak?"

"Ya pasti lah."

"Jevan sama Jenan nyuruh Alan ke sini malam ini." aku bingung mendengarnya, "Gak jadi reuni?"

Bunda mengunyah keripik singkong dengan malas, "Ayah bilang besok aja, jadi mau gak mau Bunda batalin hari ini."

Aku melihat betapa sedihnya Bunda, padahal setiap bulan selalu bertemu. "Sudah gapapa Bun, kan ketemunya setiap bulan masa udah kangen aja."

That's why I can love youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang