"Sidang perceraiannya besok." Shanien melemparkan surat di hadapan calon mantan suaminya dan menatapnya dengan datar. "Harus datang. Kalau tidak, nanti akan diundur kembali." Setelah menempuh mediasi dan juga konsultasi pada konselor pernikahan, dan tidak membuahkan hasil, maka perceraian-lah yang mereka tempuh.
Tahan tangisan kamu, Shanien. Jangan meneteskan air mata di hadapan pria berengsek ini.
Perlahan, pria yang tadinya fokus dengan layar komputer di hadapannya, kini menoleh pada surat yang dilemparkan oleh Shanien dan dia menghela napasnya. "Baik. Saya akan datang besok."
Shanien mengangguk. Dia masih dengan wajah dinginnya dan sebenarnya tidak ingin berlama-lama berada di satu ruangan bersama dengan calon mantan suaminya ini. Tapi, banyak hal yang harus mereka bicarakan—tentu saja dengan kepala dingin. "Aku dan Gemi sudah membereskan barang-barang kami, kami akan pindah hari ini juga." Sialnya, Shanien belum tahu akan tinggal di mana setelah ini. Rumah orang tuanya adalah satu solusi yang dia coret. Setelah dia mempermalukan keluarganya, dia tidak ingin membebani keluarganya dengan kehadiran dia juga dengan anaknya.
Reksa Soedjatmiko—yang hari ini masih menjadi suaminya—menghela napasnya. "Dengar, Shanien, aku sudah mengatakan kalau kamu di sini saja. Kamu tinggal di sini bersama Gemintang. Saya yang akan pergi."
Shanien tersenyum miring. "Setelah apa yang kamu lakukan selama aku tinggal di sini, menurut kamu aku masih mau berada di sini yang tiap sudutnya hanya mengingatkan aku pada kesedihan saja?" tanyanya yang membuat Reksa terdiam. Dia berdehem pelan dan menggelengkan kepalanya.
"Bukan itu maksud saya. Saya hanya tidak ingin kamu kerepotan sendiri karena harus mencari tempat tinggal yang lain." Reksa menyugar rambutnya. "Saya memang menyakiti kamu dan itu bukan hal yang akan saya tampik. Tapi, saya juga tidak seberengsek itu untuk membiarkan kamu terlantar—"
"Berhenti berpura-pura peduli, Reksa. Sejak awal kamu tidak pernah peduli. Kamu ke sini hanya untuk perceraian ini saja, bukan? Kamu akan kembali ke Bandung dan tidak akan ke Jakarta lagi? Karena aku tidak mau bertemu dengan kamu. Setelah ini, jadilah orang asing seperti pada awal, mengerti?" Shanien tidak tahu dari mana dia mendapat keberanian untuk mengatakan itu pada Reksa. Karena pada dasarnya, dia penakut. Ini semua hanyalah topeng agar dia tidak begitu kelihatan hancur di hadapan Reksa.
"Iya, Shanien. Saya sangat mengerti."
Dan sayangnya, ucapan Reksa itu membuat hati Shanien mencelos. Shanien tidak tahu kalau akan sesakit ini jika Reksa benar-benar pergi.
Kamu sudah cukup tersakiti dengan hadirnya dia, Shanien! Perceraian ini adalah sebuah jalan dari Tuhan!
"Sampai jumpa di persidangan, Reksa."
***
Ketukan palu itu sepertinya akan menjadi bunyi paling tidak disukai oleh Shanien. Dia memejamkan matanya dan menahan tangisnya. Tangannya saling terkepal begitu dia tahu kalau dia dan Reksa sudah berakhir. Sebenarnya, ini semua keinginannya. Dia yang ingin lepas dari pernikahan yang tidak membahagiakan bersama Reksa, tapi kenapa dia juga yang menjadi paling menderita di sini.
Keduanya keluar dari ruang persidangan setelah selesai.
"Shanien Adyatma."
Ah, Adyatma. Nama belakangnya bukan lagi Soedjatmiko. Shanien harus terbiasa dengan itu. Dia membalikkan badannya dan melihat Reksa sedang menyusulnya. "Saya ingin berbicara sebentar."
Shanien menghela napas. Sebenarnya dia sungguh tidak ingin berbicara apapun dengan mantan suaminya ini. Pertama, dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan memberikan kesempatan apapun lagi pada Reksa untuk mengobrolkan apapun dengannya. Kedua, bisa-bisa dia menangis di hadapan pria itu.
Tapi—
"Saya mohon, untuk kali terakhir."
Akhirnya, salah satu kafe di dekat persidangan, menjadi pilihan mereka. Shanien dan Reksa sama-sama diam, tidak ada yang berani memulai percakapan terlebih dahulu.
"Shanien." Hingga akhirnya Reksa membuka obrolan mereka. "Pertama, saya ingin meminta maaf atas apa yang saya lakukan pada kamu. Kamu mungkin sudah muak dengan permintaan maaf saya ini. Tapi, saya tidak ingin membuka lembaran baru dengan masih adanya dendam di antara kita."
Shanien masih bergeming. Dia membiarkan Reksa mengatakan apapun yang diinginkan oleh pria itu. Dia tidak akan menundanya.
"Saya ... juga tahu kalau saya sudah gagal menjadi seorang ayah. Saya harap kamu mau menjaga Gemintang dengan baik, membuat dia merasa cukup tanpa sosok ayah. Tapi, jika suatu saat kamu mengizinkan, saya ingin bertemu dengannya lagi." Reksa mendongak dan menatap Shanien. "Boleh?"
Shanien terdiam sesaat. Sebelum akhirnya dia memberanikan diri untuk menatap mata Reksa. Dia menatap dengan penuh benci dan kesal. Menyumpah serapahi Reksa karena pria ini sudah membuat hidupnya berantakan. "Tidak boleh. Aku sekarang yang bertanggungjawab pada Gemi, dan ketika aku melarang kamu, maka kamu tidak bisa berlaku sembarangan."
Melihat dendam yang masih ada pada Shanien, membuat Reksa mengerti. Yang jelas, dia hanya menganggukkan kepalanya. Dalam hati, dia mencoba untuk menyadarkan dirinya sendiri bahwa apa yang dia lakukan pada Shanien sudahlah di luar batas, pantas saja Shanien tidak akan bisa memaafkannya.
"Lalu, saya akan tetap memenuhi kewajiban saya sebagai ayah Gemi untuk memberikan kamu dan Gemi nafkah. Saya memberikan satu board seat yang saya miliki di satu perusahaan, atas nama kamu. Saya juga sudah memberikan rekening khusus untuk saya transfer nanti."
Shanien hanya diam kembali. Dia sudah bersikukuh bahwa dia tidak akan menggunakan uang itu. Dia tidak akan hidup dari belas kasih. Walaupun sejak hari ini, hidupnya berantakan, tapi Shanien tidak akan membiarkan pria berengsek ini untuk membantunya sedikit pun.
"Sudah?"
"Hm?"
"Kamu sudah berbicara omong kosongnya? Saya pergi."
***
Shanien menitipkan anaknya pada Felix—adik laki-lakinya—di apartemen yang Felix jarang tempati. "Dia menangis, tidak, Felix?" tanyanya ketika masuk ke apartemen itu dan langsung melemparkan tas yang dia bawa. Dia segera menghampiri anaknya yang ditidurkan di sofa besar oleh Felix.
Felix cukup terkejut dengan kedatangan kakaknya, dan dia menggeleng pelan. "Tidak." Lalu, dia memerhatikan kakaknya yang terlihat ... hancur. Mungkin orang lain tidak akan menyadari ini, tapi dengan jelas Felix bisa melihat mata yang kosong dan tubuh yang semakin kurus pada kakaknya. "Kamu ... baik-baik saja? Perceraiannya sudah selesai, bukan? Orang tua kita menyuruh kita ke rumah mereka."
Shanien menundukkan kepalanya di samping Gemintang Soedjatmiko—bayinya yang menjadi salah satu alasannya untuk tetap bertahan hidup. "Aku tidak mau."
"Kak—"
Ucapan Felix terhenti ketika Shanien tiba-tiba saja berdiri. "Aku tidak mau. Kamu harus mengerti, Felix." Dan dia pergi ke kamar mandi yang letaknya tidak begitu jauh. Di sana, dia menyalakan keran bath-up juga shower dan menangis dalam diam.
Di bawah pancuran shower itu, Shanien terduduk sambil memegang kedua kakinya dan menangis dengan lirih. Dia menutup mulutnya karena tidak ingin suaranya terdengar oleh adiknya.
Nyatanya, memang sesakit ini. Apa aku bisa bertahan hidup setelah ini?
Ada banyak kekhawatiran yang menghantuinya. Shanien sendiri tidak tahu bagaimana nasibnya setelah ini.
Apa aku harus bertahan?
***
Halo, semuanya!
Semoga cerita ini selalu berkesan, ya!

KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Talk About Everything Again (Avaiable on Good Dreamer)
RomanceShanien dan Reksa sudah usai sejak empat tahun yang lalu. Tapi, mereka bertemu kembali; dalam keadaan yang lebih baik, pikiran yang sudah sama-sama dewasa, dan mental yang lebih siap. Akankah ada kesempatan lagi bagi mereka? Atau, memang sudah sehar...