Shanien bersama Dhika pergi ke kantor mereka setelah jam makan siang. Untungnya, makan siang mereka—yang secara tidak sengaja itu—bisa berjalan lancar tanpa ada rasa canggung yang berarti. Walaupun sebelumnya Shanien lebih bersikap pasif dan sesekali canggung sendiri. Tapi akhirnya, dia bisa menikmati waktu makan siangnya itu.
"Mbak Shanien." Nita menyapanya, sambil tersenyum—yang Shanien tahu bukanlah senyuman biasa, itu senyuman yang penuh arti—dan melirik Dhika. "Habis makan bareng Pak Dhika?"
"Pak, Pak." Dhika protes sambil mencebikkan bibir bawahnya. "Saya masih muda."
Nita menghela napasnya dan memutar bola matanya malas. "Tapi lebih muda aku, bukan?" Nita ini anak yang supel. Dia tidak pernah canggung kalau bertemu teman baru. Sebagai anak magang, dia sangat dekat dengan para karyawan di sini yang berarti para seniornya. Shanien belajar banyak dari Nita soal bergaul dengan orang-orang.
"Mbak, ini untuk Mbak."
Shanien mengeryitkan dahinya ketika dia melihat satu bingkisan dengan tulisan Sushi Tei di sana. "Aku tidak memesan ini, kok, Nit." Seingat Shanien, dia tidak menitipkan apapun pada Nita tadi.
"Memang. Ini pemberian dari Pak Dhika."
Shanien semakin bingung. Lalu, dia menolehkan kepalanya pada Adhikari. "Dhik, benar?" tanyanya meminta penjelasan. Dia tidak tahu apa yang membuat Dhika tiba-tiba saja memberikan dia makanan seperti ini. Pertama, seperti yang Shanien katakan sebelumnya, mereka tidak sedekat itu hingga Shanien diberikan makanan oleh Dhika. Kedua, sejak makan siang tadi, Dhika terlalu dekat dengannya.
"Iya."
Nita hanya tersenyum diam-diam melihat interaksi antara dua bosnya ini. "Oke, Mbak. Jadi, sebenarnya, aku mengajak Mbak makan siang tadi, karena Pak Dhika mau bergabung bersama. He insisted, lho, Mbak." Nita melirik Dhika dan terkikik kecil. "Lalu, Mbak mengatakan kalau Mbak tidak mau. Jadi, aku segera melapor ke Pak Dhika dan dia harus berdesak-desakan dengan karyawan lain di lift menuju kafetaria agar bisa mengejar Mbak Shanien."
Shanien hanya menangkat kedua alisnya karena setengah tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Nita. "Kenapa tiba-tiba, Dhika?" tanyanya lagi. Dia masih tidak mengerti dengan situasi yang ada di hadapannya ini. Kenapa Dhika yang tidak dekat dengannya sekarang bertingkah aneh?
"Karena Pak Dhika suka—"
Dhika langsung membekap bibir Nita yang membuat Nita juga Shanien melotot. Nita memukul lengan Dhika dan membuat Dhika mengaduh. "Berisik," protesnya. Ini kali pertama Shanien melihat Dhika yang biasanya tenang juga tidak pernah berbuat onar, kini panik setengah mati.
Nita mendengus. Dia menatap Dhika dengan tatapan sebalnya. "Pak Dhika, Mbak Shanien tidak akan tahu maksud Bapak kalau Bapak pasif seperti ini."
Shanien masih mengeryitkan dahinya bingung. Dia memilih untuk pergi ke meja kerjanya saja dan membiarkan Dhika berseteru dengan anak magangnya.
"... step by step, Nit, tidak mungkin aku langsung mendekatinya begitu saja ..."
"... kalau kata anak zaman sekarang, Pak, harusnya Bapak sat-set-sat-set ..."
***
Jam pulang kantor akhirnya tiba dan Shanien langsung bergegas membereskan barang-barangnya. Dia paling menghindari membawa pekerjaan kantor ke rumah. Karena mengingat waktunya sangat sedikit bersama anaknya, jadi dia akan memaksimalkan waktunya bagi Gemi saja. Tapi, tidak jarang juga pekerjaannya sangat membludak dan membuatnya harus bekerja juga di rumah.
"Mbak, aku pulang duluan, ya." Nita melambaikan tangannya dan dijawab anggukan oleh Shanien. Dia segera menyusul karyawan lain yang sudah bergegas pulang.
Biasanya di jam seperti ini, kesabaran orang-orang kantor akan diuji. Pertama, lift yang mengantre dan berdesak-desakan. Kedua, macet.
Macet Jakarta bisa membuat stres.
"Sha."
Shanien mendengar suara Adhikari lagi. Ah, astaga. Pria itu lagi. Demi kesopanannya pada pria itu, dia menoleh ke sumber suara—yang mana Dhika sedang berada di sampingnya. "Iya," jawabnya.
"Pulangnya sendiri?" Dia membenarkan tas punggungnya sambil menatap Shanien dengan sangat intens.
"Iya. Saya bawa kendaraan sendiri." Shanien menjelaskan demikian agar Dhika tidak lagi menanyakan apapun padanya ataupun menawarkan untuk pulang bersama. Iya, Shanien mungkin terdengar sangat percaya diri, tapi dia hanya jaga-jaga saja.
"Oh baiklah. Ke parkiran bareng, mau?"
Shanien tersenyum. Demi kesopanannya—lagi—dan karena Dhika ini berada di satu kantor dengannya, maka Shanien akan berbuat bijak. Dia mengangguk mengiyakan ajakan dari pria itu. "Boleh."
Mereka masuk ke lift setelah menunggu cukup lama. "Pasti jalanan sangat macet." Dhika berbisik yang ditujukan pada Shanien. Lalu, Shanien melirik ke arahnya dengan senyuman di wajahnya, dia mengangguk setuju.
"Setelah ini, kamu langsung pulang?"
"Aku menjemput anakku dulu."
Dhika mengangguk. "Strong mom," komentarnya yang membuat Shanien tersenyum kecil. "Apa besok kamu ingin aku menjemput kamu?"
"Di mana?" Shanien mengeryitkan dahinya.
"Di rumah kamu," jawab Dhika dengan nada yang sedikit tidak yakin. "Tidak boleh, ya?" tanyanya hati-hati. Iya, dia memang sedang berada di misi untuk mendekati Shanien. Sudah lama sejak dia memerhatikan Shanien diam-diam. Mungkin terhitung sejak dia bergabung di start-up ini. Tapi, Dhika—dengan segala pesonanya yang mampu membuat kaum hawa menyukai dia—memilih untuk diam. Tidak mencoba untuk mendekatinya, sampai hari ini.
Shanien tersenyum. "Bukannya tidak boleh, tapi andai kamu tahu kegiatan aku dan bagaimana hebohnya rumah aku kalau aku akan berangkat kerja." Shanien mencoba menjelaskan dengan nada yang halus agar Dhika tidak tersinggung.
"Memangnya kenapa, Sha?" tanya Dhika. Mereka masih saling berbisik di antara sesaknya lift ini.
"Aku harus menyiapkan sarapan, menyiapkan bekal untuk anak aku. Belum lagi kalau anak aku rewel dan menginginkan perhatian aku lebih. Kita bisa tidak masuk kantor kalau kamu menjemput aku." Shanien tertawa kecil. "Apalagi macet Jakarta, kamu tahu sendiri."
Dhika tersenyum. Sangat mengerti dengan keadaan Shanien. "Baiklah. Kalau begitu, makan siang bersama?"
"Kamu sangat ingin, ya?" Akhirnya Shanien memberanikan diri untuk bertanya secara langsung, bermaksud agar Dhika kikuk dan berhenti menanyakan hal-hal seperti ini.
"Iya." Dhika menjawab dengan tatapan yang masih fokus pada Shanien. "Iya, Shanien. Sangat ingin."
Kini, giliran Shanien yang malah kelimpungan sendiri. Dia memilih untuk memalingkan wajahnya—entah ke arah mana, tapi dia harus menghindari tatapan dari Dhika.
"Kamu ... jujur saja, ini terasa aneh. Maksudku, kita tidak dekat sebelumnya. Dan kenapa kamu tiba-tiba ..."
Dhika tersenyum tenang ketika Shanien memberanikan diri untuk meliriknya lagi. "Apa kamu tidak masalah dengan itu?"
Shanien mencoba menjawab dengan bijak—lagi—karena dia tidak mau membuat Dhika salah paham, tapi dia juga tidak mau membuat Dhika kegeeran. "Tidak masalah. Tapi, terlalu tiba-tiba."
Dhika mengangguk mengerti. "I'll take it slow, then."
Dan Shanien lagi-lagi hanya bisa diam saja. Dia harus bagaimana sekarang?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Talk About Everything Again (Avaiable on Good Dreamer)
RomanceShanien dan Reksa sudah usai sejak empat tahun yang lalu. Tapi, mereka bertemu kembali; dalam keadaan yang lebih baik, pikiran yang sudah sama-sama dewasa, dan mental yang lebih siap. Akankah ada kesempatan lagi bagi mereka? Atau, memang sudah sehar...