Shanien menidurkan Gemi yang sudah sangat terlelap sejak tadi, dan mengganti baju anaknya dengan baju tidur bergambar beruang coklat. Shanien tersenyum kecil dan dia mengusap rambut anaknya dengan sayang. Anaknya ini tumbuh dengan baik, walaupun terkadang Gemi sedikit rewel.
Selalu ada rasa bersalah yang bercokol dalam hati Shanien, karena dia tidak bisa memberikan yang terbaik bagi Gemi. Baik itu dari segi kehidupan maupun keluarga. Shanien sadar kalau hidupnya yang sekarang mungkin di atas rata-rata bagi sebagian orang. Tapi, mengingat dari keluarga mana dia berasal dan nama belakang keluarga yang harus dia bawa, hidup Shanien ini tidak ada artinya dibanidngkan itu. Lalu, untuk keluarga, Shanien tidak bisa memberikan keluarga yang lengkap bagi Gemi.
Lagi, Shanien menyalahkan itu pada dirinya.
"Maafkan Mama, Gemi." Shanien berkata lirih sambil mengusap rambut anaknya. "Mama janji akan memberikan kamu yang terbaik." Shanien akan memberikan semuanya bagi Gemi, termasuk nyawanya sendiri. Shanien tidak akan memprioritaskan hal lain selain Gemi.
Karena tidak ingin menangis di kala lelah menerpa, Shanien memilih untuk keluar dari kamar Gemi. Dia melihat rumahnya yang berantakan. Salahnya sendiri yang tetap tidak mau mempekerjakan ART padahal waktunya di rumah sangat sedikit.
Shanien tidak berganti baju dulu. Di jam sepuluh malam itu, dia memilih untuk membereskan rumahnya yang sudah seperti kapal pecah. Shanien baru selesai di jam setengah dua belas. Dia langsung mandi dan akhirnya merasa badannya sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Shanien belum ingin tidur di saat itu, dia duduk di satu-satunya sofa panjang di apartemennya. Dia menyalakan TV tapi memilih untuk memainkan handphone. Shanien paling tidak suka kalau apartemennya sepi.
Tiba-tiba, ada satu notifikasi dari nomor yang tidak dia simpan di ponselnya.
+628****
Sha, besok ada waktu? Saya ingin bertemu.
Napas Shanien memburu ketika mendapatkan pesan itu. Dia berdehem dan mencoba menenangkan dirinya. Dia tidak pernah menyangka kalau pria itu akan menghubunginya sekarang. Malam ini. Astaga, bolehkah Shanien membuang saja ponselnya agar dia melupakan fakta bahwa pria itu baru saja menghubungi dia lagi?
Ada rasa kesal di dadanya, mengetahui bahwa pria itu bisa saja menghubunginya seenak jidatnya, setelah meninggalkan Shanien dalam keterpurukan. Bukankah seharusnya pria itu tidak kembali?
Itu haknya, Shanien. Kamu bukan siapa-siapa dia lagi yang bisa mengatur dia.
Suara di kepalanya tiba-tiba saja mengingatkan kembali posisinya. Ah, Shanien sudah bukan lagi siapa-siapa.
Shanien menghela napas. Dia sudah terlanjur membaca pesan pria itu. Pasti akan disangka sangat tidak sopan jika Shanien tidak membalasnya. Dengan pemikirannya itu, akhirnya Shanien terdorong untuk membalasnya.
Jam berapa? Di mana?
Sesingkat itu saja pesan yang dikirimkan oleh Shanien. Dia tidak tahu juga harus mengatakan apa lagi. Lalu, hanya sepersekian detik, pria itu kembali membalasnya.
+628****
Lunch? Di dekat kantor kamu saja.
Shanien lagi-lagi memejamkan matanya. Dia tidak siap, jujur saja. Pria itu meninggalkan luka yagn teramat dalam dan Shanien masih belum tahu bagaimana dia harus bersikap di hadapan pria itu.
Fine.
Tapi, kata itulah yang dia kirim.
***
"Mama!"
Shanien tersentak begitu saja ketika anaknya memanggilnya dengan nada yang nyaring. Shanien mengerjapkan matanya dan langsung bertatapan dengan Gemi yang menatapnya bingung. "Apa, Gem?" tanyanya tidak mengerti.
Shanien tidak tahu saja kalau Shanien memasangkan kaos dalam anaknya baru setengah—di sekitar kepalanya—dan melamun setelahnya. Gemi yang merasa tidak nyaman, sudah memanggil Shanien beberapa kali, tapi tetap saja tidak ada jawaban dari ibunya.
Lalu, Gemi berteriak dan barulah dia mendapatkan kembali perhatian sang mama. "Mama melamun saja."
Shanien menghela napas dan memejamkan matanya. Dia mengusap wajahnya karena pagi ini benar-benar kacau.
Shanien tidak bisa tidur semalaman, dan akhirnya dia memutuskan untuk tidur di sofa. Lalu, dia kesiangan pagi ini, membuat Gemi juga ikut kesiangan, dan mereka sangat repot pagi ini. Dan semua ini tentu saja hanya karena dua pesan sederhana dari mantan suaminya.
"Mama," panggil anaknya lagi yang membuat Shanien bergumam sebagai jawaban.
"Mama, kenapa?"
Shanien tersenyum kecil. Anaknya ini memang terkadang menyebalkan, tapi Shanien selalu peka. Tiap kali ada yang salah, dia selalu tahu dan membuat Shanien bersyukur memiliki anak yang tidak ignorant. "Tidak apa-apa."
"Kata Oma, Mama selalu melamun kalau ada masalah." Gemi tiba-tiba saja berbicara demikian yang membuat Shanien mengeryitkan dahinya.
"Kapan Oma mengatakan itu?"
"Kemarin. Pada Om Felix."
Shanien mendesah sebal. Dia menoel ujung hidung anaknya dengan jenaka yang membuat Gemi tertawa. "Kamu ini menguping, ya."
Setelahnya, untunglah Gemi tidak rewel sama sekali dan bisa diantarkan ke day-care dengan tepat waktu. "Bu Shanien, saya minta maaf sekali lagi atas kejadian kemarin."
Shanien mengangguk mendengarnya. "Tidak apa-apa, Bu. Saya titip Gemi, ya."
***
Shanien tidak fokus di kantor. Beberapa kali dia mencoba untuk mengindahkan pikirannya dari pria menyebalkan yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya, tapi tetap saja dia berakhir dengan melamunkan pria itu.
Nita yang sedang mengurus dokumen yang diminta oleh Shanien, menyadari ada yang salah dengan atasannya. "Mbak."
"Hm?" Walaupun tidak fokus, tapi Shanien masih bisa menjawab panggilan dari Nita.
"Mbak kenapa? Ada masalah, ya?"
Shanien menoleh pada Nita dengan matanya yang sayu. Terlihat lelah. Nita memang sudah beberapa kali mendapati Shanien yang seperti ini. Wanita itu mungkin terlalu memiliki banyak pekerjaan baik di rumah maupun di kantor yang membuat dirinya gampang kelelahan. "Tidak ada apa-apa."
Dan salah satu mantra yang sering dikatakan oleh atasannya adalah itu; tidak apa-apa. Padahal orang bodoh pun bisa tahu kalau Shanien sedang tidak baik-baik saja.
"Sha," ujar Joshua, manajernya, yang baru saja menghampiri mejanya. "Hari ini meeting, ya. Sebelum jam pulang."
Shanien mengangguk. "Siap, Pak."
Shanien segera mengambil ponselnya dan menghubungi day-care tempat Gemi berada. Biasanya, kalau ada rapat seperti ini, maka akan menghabiskan waktu yang cukup lama. Alamat lembur Shanien hari ini. Dan dia akan meminta Gemi untuk dijaga terlebih dahulu di day-care sebelum dia menjemputnya.
"Mbak, kalau Mbak sedang tidak enak badan, Mbak bisa menyuruh aku untuk mewakilkan rapat."
Shanien tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa. Makasih, ya, Nit."
Nita sebenarnya merasa kasihan pada Shanien. Dia tahu kalau Shanien adalah single parents dan dia mengatur semuanya sendiri. Sudah pressure di kantor ini cukup besar—sampai Nita saja sempat ragu untuk magang di sini, dan kemudian Shanien harus mengurus anak—Nita yakin mengurus anak juga bukan pekerjaan yang mudah.
Semoga saja Tuhan berbaik hati pada atasannya itu dengan memudahkan semuanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Talk About Everything Again (Avaiable on Good Dreamer)
Storie d'amoreShanien dan Reksa sudah usai sejak empat tahun yang lalu. Tapi, mereka bertemu kembali; dalam keadaan yang lebih baik, pikiran yang sudah sama-sama dewasa, dan mental yang lebih siap. Akankah ada kesempatan lagi bagi mereka? Atau, memang sudah sehar...