Aku dan adikku tiba di rumah. Perasaanku campur aduk antara takut, khawatir, tapi lebih dominan dongkol. Penyebab utama kedongkolanku saat ini, sedang menuju ke alamat yang kuberikan, alamat rumahku. Aku tidak bisa memberikan alamat lain karena aku harus menjaga Deon di rumah, dan pria arogan itu pun bersikeras ingin menemuiku hari ini meski aku sudah beralasan dari A sampai Z untuk menolak ajakannya.
Sebuah Toyota Alphard berwarna hitam berhenti tepat sebelum aku selesai mengunci pagar depan. Glenn turun dari mobilnya dengan mimik kesal.
"Gue heran sama lo! Dikasih foto gratis ga mau, ditelepon malah matiin sembarangan! Disamperin alesannya banyak banget!" omel Glenn.
Satu pria yang tadi sempat kulihat di coffee shop mengekor di belakang Glenn. Pria yang sepertinya berusia lebih tua dariku itu menepuk pundak Glenn sambil tertawa. Olokkan meluncur mengikuti tawanya, "Itu artinya lo ga cukup ganteng untuk bisa bikin Kaluna pengen foto sama lo."
Glenn mendelik tak terima mendengar olokkan pria di belakangnya. Si pria maju mengulurkan tangannya padaku.
"Gue Marco, sepupu sekaligus managernya Glenn."
"Kaluna masuk." Dari dalam, di balik pintu rumah, kepala Deon mengintip.
"Iya, Kaluna masuk sama teman-teman Kaluna, boleh ya?" tanyaku pada Deon.
Kami selalu meminta izin untuk membawa tamu ke dalam rumah. Sama halnya ketika para terapis Deon yang rutin datang tiap seminggu tiga kali, Deon akan meminta izin padaku. Bahkan jika aku sedang bekerja dan tidak ada di rumah, pagi-pagi sebelum aku berangkat Deon akan meminta izin perihal kedatangan tiga terapisnya.
"Iya," jawab Deon singkat sembari mengangguk, kemudian membukakan daun pintu selebar mungkin menyambut dua tamu baruku.
"Gue bukan temen lo," sahut Glenn dari belakang. Ekspresinya mengisyaratkan api permusuhan.
"Siapa juga yang mau temenan sama orang kayak lo?" balasku tak mau kalah.
"Ehem." Marco berdeham dengan alis mengkerut menatap sepupunya.
Kami bertiga memasuki teras rumah peninggalan Papa, sebelum Papa kembali ke Amerika.
"Maksud gue, gue datang ke sini bukan mau jadi temen lo. Tapi jadi pacar lo," sambung Glenn mengoreksi ucapannya yang diprotes oleh Marco tadi.
"Apa?!" seruku terkejut. Tubuhku spontan berhenti ketika mencapai pintu. Kututup pintu rumah sebagai tanda penolakan atas kedatangan tamu tidak tahu sopan santun seperti Glenn.
"Luna? Boleh gue panggil Luna?" Dengan gesit marco mencoba menengahi kami berdua. "Kita omongin di dalam aja boleh? Bisa runyam kalo tetangga mergokin seorang Glenn Pradana di sini."
Aku mengerling jengkel, "Seorang," kutiru ucapan Marco. Meski begitu, pada akhirnya kubukakan juga pintu untuk mereka berdua. Aku pun tidak mau para tetangga menggosipkan hal yang tidak-tidak di antara aku dan aktor arogan ini.
Begitu Glenn dan Marco sudah duduk di kursi tamu, Deon keluar dari dalam kamarnya sembari memerintah, "Buatkan minum tamu." Perintahnya itu membuatku tak kuasa menahan senyum.
"Adikku memang santun. Beda sekali dengan manusia yang katanya aktor ini," batinku berbicara.
"Siap. Kaluna bikinin minum dulu, Deon boleh temani teman-teman Kaluna sebentar?" pintaku.
Deon mengangguk dan menghampiri kami. Ia langsung mengambil posisi kosong di sebelah Glenn.
"Kamu di situ," ucap Deon sembari menunjuk ke arah layar datar televisi yang tidak menyala.
Glenn dan Marco tersenyum bersamaan. Mataku membelalak kaget ketika Glenn mengulurkan tangannya pada Deon. "Kita kenalan dulu, namaku Glenn. Kamu Deon adiknya Kaluna, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage with Benefits
RomanceUntuk membiayai perawatan adiknya, Kaluna terpaksa harus menerima tawaran menjadi pacar bohongan Glenn Pradana, aktor minim prestasi modal sensasi. Skenario pacaran itu tidak bertahan lama setelah Glenn mengetahui bahwa ia telah menghamili Kaluna. D...