4. Bertahan, sebentar lagi..

59 39 94
                                    

Haloo!!
Selamat malam!

Mari ramaikan cerita semesta milik Nadin ini.
Please leave a vote and a comment
for this part🤍

Terimakasih dan selamat membaca<3
I hope you like it😻

******

Bagaimana rasanya dipeluk seorang Ibu? Aku sudah lupa, karena aku sudah lama tidak merasakan pelukan itu.

*****

"Mau kemana lagi, Pa?"

"Anak kecil jangan ikut campur urusan orang tua," jawab Papa.

Saling membelakangi. Ada rasa enggan melihat wajah Papanya. Nadin yang tadinya akan kembali ke kamar setelah mengambil minum, terpaksa berhenti ketika berpas-pasan dengan sang Papa yang baru saja turun dari anak tangga. Padahal, belum ada 5 menit Papanya itu pulang, sekarang sudah pergi lagi.

Ah, lihatlah. Bahkan wajah pria itu tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.

"Baru pulang udah mau pergi? Sekalian gausah pulang, Pa."

Sebelum ada jawaban, Suara detakan jam mengisi beberapa detik keheningan.

"Kamu pikir Papa rela lembur buat siapa?" Jeda. "Buat kamu sama Mama kamu itu!" sentak Papanya.

Nadin terkekeh remeh. "Lembur?" Sangat tidak percaya. "Papa lupa? Om Genta selalu ngasih jadwal Papa ke Nadin sama Mama," balas Nadin membalikkan badannya, menatap punggung tegap yang membelakanginya.

Decihan terdengar. Rama --Papa Nadin, membalikkan badannya menatap sang Putri. Mendekat, lalu mengangkat tangannya mengusap kepala Nadin.

"Genta ngelakuin itu, karena dia main belakang sama Mama kamu," katanya berbisik pelan.

Demi Tuhan, Nadin tidak akan percaya. Mamanya begitu takut kehilangan. Tatapan yang selalu Nadin dapat dilihat sangat jelas, bahwa Mamanya menyimpan banyak rasa sakit dan luka serta takut akan kehilangan.

Ia mendongak, menatap mata Papanya dengan berani. Ada banyak perasaan tersembunyi di balik tatapan benci yang Nadin tunjukkan. "Bukannya Papa yang main di belakang Mama?"

Sret

"Ssshh," ringis Nadin kala rambutnya ditarik kencang.

Plak

Perih merebak di pipinya.

"Jaga sopan santun kamu sama Papa, Nadin," desisnya terdengar marah.

Sial. Nadin tidak ingin menangis di depan sang Papa.

"Mau ngikutin jejak murahan Mama kamu, huh?"

Tuhan... Kalimat itu lebih sakit dari tamparan sang Papa.

Dengan tangan yang mengelus pipi bekas tamparan itu. Tanpa takut, Nadin berujar, "Siapa yang murahan, Pa? Mama atau Papa?"

"Makin kurang ajar ternyata anak Papa," kata Rama dengan menyeringai.

Gadis itu mengangguk. "Sama kayak Papa, kan?"

"HEBAT!" Rama bertepuk tangan dua kali. Menyeringai penuh makna. Menatap Nadin dengan tatapan seakan ingin membunuh.

Nadin menunduk, memejamkan matanya menahan agar air matanya tidak turun. Sejujurnya, Papanya itu menakutkan. Hanya saja, Nadin yang ingin melawan.

"Bicara sekali lagi," titah Rama terdengar tidak ingin ditolak.

NyctophiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang