🌟08🌟

116 22 0
                                    

Keadaan sangat kacau, banyak anggota yang terluka. Alvaro hampir saja membunuh Zayn jika Kavin tak mencegahnya, entah bagaimana pria itu bisa berada di sini sekarang. Ia mencengkram erat tangan Alvaro menariknya untuk mundur.

"Maksud lo apa?" tepis Alvaro kasar.

"Turuti perkataan gue sekarang, kita harus pergi," jelas Kavin, juga mengatakan hal yang sama pada Geral. Pemuda itu menurut saja tanpa tahu alasannya, ia memerintahkan anggotanya untuk segera meninggalkan tempat itu.

"Lo--"

Belum sempat Alvaro melanjutkan ucapannya, bunyi sirine polisi terdengar dari kejauhan. Ia mengerti sekarang, dan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi meninggalkan Zayn dan anggotanya yang tak berdaya.

"Aghh sial! Siapa yang dengan beraninya lapor ke polisi?" geram Alvaro menendang kotak sampah di dekatnya, saat ini mereka berada di basecamp Xrygon. Mungkin karena terlalu marah, ia melupakan rasa sakit di kepalanya yang sekarang lukanya kembali menganga.

"Kita harus obatin luka lo dulu," celetuk Geral mengambil kotak p3k.

"Persetan sama luka, yang gue tanya siapa yang berani lapor ke polisi!" serunya menatap satu per satu setiap anggota. Semua kompak menggelengkan kepalanya, sembari berkata. "Bukan gue."

Kavin mengangkat tangannya. "Gue suruh Scarlet yang lapor polisi," ujarnya.

"Udah gue duga, kenapa harus gadis itu lagi? Bukannya lo yang memulai taruhan itu, tapi kenapa sekarang lo terus berpihak sama dia? Lo yang nyuruh dia ke rumah gue, lo juga yang nyuruh dia lapor ke polisi. Lo lupa, dia cuma bahan taruhan? Seharusnya dia gak perlu terlibat! Lo tahu kan? Gue benci ngelibatin orang lain!" hardik Alvaro mencengkram erat kerah baju Kavin, sedangkan pemuda itu sama sekali tak melakukan perlawanan, ia menatap Alvaro santai.

"Lo harus kembali ke rumah sakit," tutur Kavin di luar dugaan teman-temannya, tapi mereka juga setuju untuk membawa Alvaro ke rumah sakit, bahkan bukan cuma Alvaro, banyak anggota yang saat ini juga membutuhkan bantuan medis.

"Lo coba buat ngalihin pembicaraan?" seringai Alvaro menatap Kavin yang masih terlihat santai.

"Nggak, gue coba buat nyelamatin lo. Lo bisa mati kalo darah lo semakin banyak keluar," ucapnya, Alvaro melepas cengkramannya pada kerah baju Kavin. Kavin benar, dirinya bisa mati jika darah semakin banyak keluar.













"Apa? Maksud lo, mereka tawuran?" histeris Tara segera menutup mulutnya, Scarlet mengangguk. Ia menyeruput es tehnya sebelum kembali berbicara.

"Ho'oh,"

"Trus lo gimana?" Tara semakin penasaran karena melihat Scarlet yang terlihat murung.

"Gue disuruh lapor ke polisi sama Kavin, awalnya gue gak mau, tapi dia minta tolong ke gue," jelas Scarlet, ia menghela napasnya kasar.

"Wah, gimana kalo Alvaro tahu lo yang ngelaporin ke polisi, sumpah gak kebayang gue, ntar patah rahang lo dicengkram lagi sama dia," decak Tara menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menatap iba pada sahabatnya yang terdiam seperti tak punya semangat.

"Ntah lah, gue juga gak tahu," timpal Scarlet menopang dagu.

Berapa helaan napas yang ia hembuskan dengan kasar, kepalanya terasa ingin pecah, ditambah sakit hatinya kemarin. Ia ingin mengakhiri semuanya, hal yang tak bisa ia pahami, kenapa Alvaro masih ingin mempertahankannya? Padahal ia hanya bahan taruhan pria itu.

Sial, satu kata yang bisa mewakilinya. Ia merasa hidupnya sangat sial setelah bertemu dengan Alvaro, masalahnya belum selesai, dan sekarang mungkin akan menimbulkan masalah baru. Satu hal yang ia harapkan, ia bisa hidup tenang dan terbebas dari pria bengis itu. Ia ingin menjalani kehidupan normal seperti gadis-gadis lain, yang bisa dengan santai menghirup udara segar, pergi menonton bioskop, dan piknik bersama teman-teman mereka. Ah, membayangkannya membuat Scarlet merasa iri.

"Ntar temenin gue jenguk Kak Bima ya, habis itu kita ke taman, gue mau tenangin pikiran," pinta Scarlet pada Tara, gadis itu hanya mengangguk saja.

Setelah semua mata pelajaran selesai, Scarlet datang menjenguk Bima bersama Tara.

"Kak Bima udah baikan?" tanya Scarlet setelah bersalaman pada orang tua Bima, ia duduk di samping brankar tempat Bima berbaring. Sedangkan Tara menyodorkan buah tangan yang mereka bawa.

"Iya, makasih udah dateng, dan makasih buah tangannya," balas Bima tersenyum senang, Scarlet menganggukkan kepalanya.

"Jangan lupa dimakan biar cepat sembuh," pesan Scarlet, kali ini Bima yang mengangguk.

"Diliat gini, kalian serasi," gurau Tara membuat wajah Scarlet memerah bak kepiting rebus. Melihat itu, Tara tertawa terbahak-bahak.

"Paan sih, ayo pulang gue gak bisa lama," ucap Scarlet menahan malu, ia menarik Tara untuk keluar dari ruangan itu, dan tentunya sudah berpamitan pada orang tua Bima. Bahkan orang tua Bima pun ikut menggoda Scarlet, gadis itu benar-benar malu sekaligus senang sekarang.

Tapi kesenangan itu baru saja pudar, setelah dilihatnya teman-teman Alvaro di samping ruangan tempat Bima dirawat. Tanpa sengaja netra kecoklatannya bertatapan dengan netra hitam milik Kavin. Pemuda itu mulai mendekatinya, dan Tara adalah orang yang paling gelisah saat ini. Tidak tahu kenapa ia yang gelisah, seharusnya perasaan itu hadir pada Scarlet sekarang. Mungkin karena mereka bersahabat, pikirnya.

"Makasih," tutur Kavin tersenyum pada mereka. Demi apa, Kavin bisa tersenyum juga, pemuda itu tampak tampan saat tersenyum.

"Dan maaf kalo gue libatin lo lagi," sambungnya. Scarlet tanpa banyak mencerna menganggukkan kepalanya.

"Masuk rumah sakit lagi?" tanya Scarlet.

"Siapa yang sakit?" sahut Tara mengernyitkan dahinya. Gadis itu memang punya tingkat ingin tahu yang luar biasa.

"Luka di kepala Alvaro terbuka lagi, jahitannya kembali robek, juga anggota lain yang banyak mengalami luka-luka," terang Kavin.

"Lo gak ada niat buat jenguk Alvaro juga?" lanjutnya. Scarlet gelagapan, ia ingin menggeleng cuma takut, tapi mengangguk juga sama saja, tak ada yang dapat memperbaiki keadaan. Sepertinya sekarang diam lebih baik.

"Jenguk aja gak papa, tapi kalo lo mau pulang juga gak papa, gak ada unsur pemaksaan," ujar Geral muncul diantara mereka. Geral seperti berteleportasi yang muncul sangat cepat, pemuda itu tampak terluka di sudut bibirnya, juga wajahnya yang sedikit babak belur.

"Ah anu, kita punya tugas kelompok, jadi harus pulang sekarang," alibi Tara yang tentunya diiyakan oleh Scarlet. Mereka berdua kemudian meninggalkan rumah sakit, Scarlet bernapas lega akhirnya bisa kabur dari dua pemuda itu.

"Alvaro masuk rumah sakit lagi, dia gak papa? Kok gue mendadak khawatir sama keadaannya," monolog Scarlet yang dapat didengar oleh Tara.

"Buat apa lo khawatir sama dia? Dia aja gak khawatir sama lo, jadi biarin aja," cibir Tara.

"Iya juga ya, kok gue bego banget khawatirin orang kaya dia," celetuk Scarlet merutuki dirinya sendiri.

Tbc

Jangan lupa votmen ya, see you in the next chapter ❤

ALSCAR [OnGoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang