🌟12🌟

126 24 0
                                    

"Wajah lo kenapa?" tanya Alvaro saat mereka telah tiba di pekarangan sekolah.

"Gak papa," jawab Scarlet seraya melepas helmnya, ia memberikan helm itu pada Alvaro lalu beranjak menuju kelasnya. Namun, pergerakannya terhenti kala pria itu mencengkram tangannya. Tanpa aba-aba, Alvaro menarik Scarlet mengikuti langkahnya, ia membawa Scarlet ke belakang sekolah, yang di mana tempat itu masih sepi sekarang.

"Lo ngapain bawa gue ke sini?" sungut Scarlet tak suka, ia ingin kembali ke kelasnya. Namun, lagi-lagi pria itu mencengkram tangannya.

"Lo bohong," ujar Alvaro menatapnya tajam, ia menelisik ke dalam manik kecoklatan itu.

"Maksud lo?" timpal Scarlet tak mengerti.

"Gak biasanya lo pake masker," celetuk Alvaro.

"Udah gue bilang gue gak papa, gue lagi flu," elak Scarlet terlihat santai.

"Tapi gue lihat mata lo penuh kebohongan, gue gak suka orang yang bohong."

"Gue nggak boh---" Ucapan Scarlet terhenti kala Alvaro menarik maskernya ke bawah, memar di wajahnya terlihat, ia terburu-buru menarik masker itu lagi ke atas.

"Sialan! Siapa yang ngelakuin itu sama lo?" seru Alvaro mengepalkan tangannya.

"Bukan siapa-siapa," ketus Scarlet.

"Jawab gue, Cherry!" ucap Alvaro penuh penekanan di setiap kalimatnya.

"Udah gue bilang, bukan siapa-siapa! Lagian harus banget lo tahu semua tentang gue?" hardik Scarlet marah, matanya berkaca-kaca.

"Karena lo cewek gue!" jawab Alvaro dengan nada tinggi, rahangnya mengeras. Scarlet tertegun mendengar kalimat dari pria itu.

"Papa, karena papa belain Elin," tutur Scarlet menunduk, ia meremas jari-jemarinya.

"Elina? Adek tiri lo itu?" tanya Alvaro, Scarlet hanya mengangguk. Pria itu mengepalkan tangannya kuat, ia mengeram marah mengetahui Elina yang menyebabkan gadisnya terluka.

"Gue anterin lo ke kelas," sambungnya menggandeng tangan Scarlet. Mereka jadi bahan perbincangan setiap siswa yang melihat, hal itu sebenarnya sudah biasa, tapi puncaknya kemarin dan hari ini.

Sepergian Alvaro, Tara langsung menanyai Scarlet bermacam pertanyaan. Gadis itu memang tingkat ingin tahunya diluar batas. Scarlet menjelaskan sedikit detailnya saja, lalu menempelkan kepalanya di meja, ia ingin tidur untuk menetralkan pikirannya, tapi hal yang tak diinginkan terjadi. Di ambang pintu, guru fisika dengan buku tebal di tangannya siap untuk mengajar, Scarlet hanya mendengus kesal.

Di sisi lain, Alvaro bolos bersama Elina, ia membawa Elina ke suatu tempat yang sedikit orang tahu.

"Kak, kalo suka sama aku seharusnya bilang dari kemaren. Hari ini juga gak papa sih sebenernya, hehe," kekeh Elina, ia melingkarkan tangannya pada pinggang Alvaro. Tapi pria itu sama sekali tak merespon.

"Aku tahu kok Kakak gak mungkin suka sama kak Lora, secara aku lebih cantik dari dia," kekehnya lagi, Alvaro mengerem mendadak, membuat kepala Elina menghantam punggung pria itu.

"Turun," titah Alvaro dingin, dengan senang hati Elina turun, tanpa tahu rencana apa yang akan dilakukan pria bermata elang itu.

"Ini tempat apa Kak? Kok serem," merinding Elina bergidik ngeri, kala melihat bangunan terbangkalai di samping mereka berdiri.

Plakk....

Tanpa diduga, Alvaro memberikannya tamparan keras hingga ia terjatuh ke tanah.

"Itu yang bokap lo lakuin sama Scarlet karena ngebelain lo, kan? Sekarang lo ngerasain hal yang sama, bahkan lebih dari itu," geramnya menatap Elina dengan tatapan membunuh, ia tersenyum mengejek pada gadis itu sekarang.

"Lo cantik, tapi lo bodoh, lo percaya aja sama gue," kelakar Alvaro, ia kemudian menarik rambut Elina menyeretnya memasuki bangunan tua itu.

"Sakit, lepasin!" teriak Elina memberontak, tapi sekeras apapun ia berteriak, takkan ada yang mendengarnya. Di sini sunyi, dan tak ada siapa-siapa.

Alvaro membanting tubuhnya pada lantai kotor bangunan itu, bau busuk menyengat, ternyata di sana ada bangkai tikus yang membusuk.

Alvaro mencengkram erat lehernya, hingga membuat sang empu kesulitan untuk bernapas.

"Lo tahu, gue benci kalo ada orang yang nyakitin Scarlet. Yang boleh nyakitin dia itu cuma gue!" bisik Alvaro terdengar sangat menakutkan di telinga Elina.

"Akhhh, lep-pas, ss-sakit," mohon Elina terbata-bata, Alvaro melepaskan cengkramannya, tetapi melayangkan satu tamparan lagi pada Elina. Darah mengalir dari sudut bibir gadis itu, ia menangis terisak.

"Ini peringatan dari gue, sekali lagi lo bikin cewek gue terluka, gue buat lo membusuk kaya tikus itu." Tunjuk Alvaro pada bangkai tikus di sudut ruangan itu, Elina hanya diam tak berani untuk berkata apa-apa.

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Alvaro pergi meninggalkannya sendiri di sana. Elina berlari keluar dari bangunan kosong itu karena sudah tidak tahan degan bau busuk yang menyengat, ia memuntahkan semua isi perutnya, lalu menyeka darah yang keluar dari sudut bibir ranum itu.

"Sialan! Liat aja, cewek lo itu akan lebih menderita dari ini! Alvaro sialan!" pekiknya meracau bak orang kesetanan, tangannya dengan cepat meraih ponsel di saku tasnya, lalu memesan taxi online, ia duduk di kursi kayu seberang bangunan itu sembari menunggu taxi datang. Sorot matanya terus menampilkan kemarahan, serta dalam hatinya ia terus mengumpat, melontarkan sumpah serapah.

Hal pertama yang Scarlet lihat saat membuka pintu adalah wajah babak belur Elina, serta wajah kemurkaan dari Lingga yang menatap tajam dirinya, dan Tari yang tengah mengobati luka Elina.

"Papa kecewa sama kamu, Lora," ujar Lingga sebisa mungkin menahan amarahnya. Scarlet yang melihat itu hanya terdiam tak mengerti, banyak pertanyaan yang terus berputar di otaknya.

"L-loh, Elina kenapa?" tanya Scarlet tak mengerti. Tari menghentikan aktivitasnya, ia berjalan cepat menghampiri Scarlet, lalu melayangkan satu tamparan keras di wajah gadis itu. Scarlet mendengus, kamudian membalas tamparan itu juga tak kalah keras.

"Maksud lo apa? Lo pikir lo punya hak buat nampar gue?" hardik Scarlet mendelik tak terima.

Prang....

Vas bunga melayang ke arah Scarlet, untung saja ia dengan cepat mengelak, jadi vas bunga itu hanya mengenai lantai, bukan dirinya.

"Pa?"

"Setelah apa yang kamu lakuin ke adik kamu, kamu masih berpura-pura tidak tahu. Kamu juga menampar Ibu kamu, Alora! Harus bagaimana Papa mengajarimu agar patuh pada orang tua? Harus bagaimana pula Papa mengajarimu agar akur pada adikmu? Kenapa kamu selalu membuat masalah? Kenapa kamu melakukan itu pada adikmu? Apa karena tamparan kemarin? Itu Papa yang nampar kamu, kenapa kamu balas ke orang yang tidak bersalah? Kamu tahu, Papa kecewa sama kamu. Selama ini Papa besarin kamu dengan penuh kasih sayang, tidak ada yang Papa beda-bedakan, agar kamu bisa akur dengan adik kamu, tanpa ada kesalahpahaman, tapi sekarang Papa benar-benar----"

"Cukup!" teriak Scarlet menutup telinganya. Netra kecoklatannya kembali berkaca-kaca.

"Cukup, Pa. Aku gak ngerti apa yang Papa maksud, aku gak pernah ngelakuin apapun sama dia! Trus Papa bilang apa tadi? Ngebesarin aku dengan penuh kasih sayang? Gak ada yang dibeda-bedain? Cih, omong kosong. Mau aku ulangin lagi apa yang aku bilang kemarin? Lagian, dia bukan Mama aku! Dia juga bukan adik aku!" Tunjuk Scarlet pada Tari dan Elina. "Keluarga aku di sini cuma Papa, kalo Papa aja benci sama aku, aku gak punya siapa-siapa," lanjutnya dengan lirih.

"Papa tidak pernah bilang, Papa benci sama kamu," elak Lingga.

"Semua perkataan Papa sama aja bilang kalo Papa benci aku, dan sayang sama Elin, sampai gak mau dia terluka sedikitpun. Padahal di sini yang paling terluka itu aku, emang bukan luka fisik, tapi itu lebih menyakitkan!" teriak Scarlet, kemudian berlari keluar dari rumah itu, tanpa memperdulikan teriakan Lingga, ia berlari tanpa tahu arah.

Tbc....

Jangan lupa tinggalin jejak ya, see you in the next chapter ❤

ALSCAR [OnGoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang