Bagian Dua

63 12 0
                                    


LAKI-laki berambut hijau gelap itu masih mencengkeram kerah kemeja Tobio, kedua bola matanya bergerak mencermati wajah Tobio, mencari jawaban karena Tobio tak kunjung bicara. Lalu matanya berhenti di mata Tobio sendiri dan cengkeraman laki-laki itu melonggar.

"Tadashi," panggil Kiyoko pelan.

Tobio dan Tadashi menoleh. Kiyoko berdiri ditopang oleh seorang gadis pirang dan kebingungan di wajahnya yang lugu.

"Tadashi," kata Kiyoko lagi. Matanya yang merah dan berair karena tangis menolak menatap Tobio, dia dengan keras menatap Tadashi yang masih menunggu jawaban.

"Miwa pergi," kata Kiyoko dengan gemetar. "Miwa pergi," ulangnya. "Miwa nggak ada lagi."

Cengkeraman Tadashi terlepas dari kerah kemeja Tobio. Tobio melihat laki-laki itu mundur dua langkah dan matanya melihat Tobio dengan tatapan seseorang yang baru saja patah. Gadis yang tadi membantu Kiyoko berteriak dan mulai menangis dan Kiyoko memeluknya lalu menangis lagi. Tadashi masih tampak terkejut, lalu pelan-pelan air matanya tumpah dan dia mulai bergumam. Orang-orang di sekitar mereka mulai bergumam dan Tobio tidak bisa menghadapinya. Dia tidak bisa menghadapi orang-orang yang menangisi kakaknya dan orang-orang yang terlihat hancur karena Miwa. Karna Miwa kembali mengisi kepala Tobio dan —

dan Tobio berlari.

***

Pelarian Tobio membawanya ke daerah pantai yang sepi. Ada tumpukan bebatuan yang cukup aman untuk diduduki, tapi Tobio lebih suka rasa pasir di bawah telapak kakinya yang telanjang dan percikan ombak yang membasahi pakaiannya. Bibir pantai tempat Tobio berdiri membuat telapak kaki hingga betisnya basah diterjang ombak yang pasang surut.

Tobio memejamkan mata, membiarkan semilir angin menerbangkan rambut hitamnya ke mana-mana. Di kepalanya, Tobio membayangkan Miwa pernah berdiri di tempat yang sama, membayangkan gadis itu tersenyum memandang lautan dan ombak yang berkejaran, membayangkan mereka datang ke sini berdua dan mengamati laut lepas bersama.

Ketika Tobio membuka mata, tidak ada Miwa di sampingnya. Hanya ada hamparan pasir yang dikecup matahari dan ombak yang datang pergi. Tobio menarik telapak kakinya yang mulai terbenam di dalam pasir basah, berbalik dan berjalan menjauhi pantai.

Ada seorang gadis yang berdiri di samping ransel dan sepatu yang Tobio lepas. Gadis pirang yang tadi berdiri di samping Kiyoko dan menangis saat mendengar kabar kematian Miwa. Gadis itu menyelipkan rambut pirangnya ke balik telinga, angin tetap menerbangkan helai rambutnya ke mana-mana. Jejak tangis ada pada wajahnya yang sembab dan matanya yang merah.

"Aku Hitoka," katanya saat Tobio mendekat. "Kamu Tobio, kan?"

Tobio mengangguk, mengambil ransel dan sepatunya. Hitoka menatapnya, dan seperti Kiyoko atau Tadashi, dia berlama-lama pada sepasang mata biru Tobio.

Tobio mulai muak dengan orang-orang yang melihat Miwa dalam dirinya. Kemudian Tobio ingat dia berlama-lama menatap matanya sendiri di cermin, tidak tahu harus merasakan apa dengan pengingat permanen tentang Kageyama Miwa di wajah Kageyama Tobio sendiri.

Miwa telah mati, tapi dia hidup di mana-mana, termasuk di kedua mata Tobio sendiri.

"Kamu udah tau mau tinggal di mana?" tanya Hitoka membuyarkan lamunannya.

Tobio menggeleng. "Gue belom nyari hotel."

Hitoka tersenyum tipis. "Kamu bisa tinggal di kamar Kak Miwa dulu."

Pikiran tentang bermalam di kamar tempat Miwa pernah tinggal membuat perut Tobio terasa dililit. Tapi dia ingat kalau tujuannya ke sini adalah untuk menelusuri jejak kehidupan Kageyama Miwa di tempatnya tinggal sebelum rumah sakit.

MIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang