Bagian Tiga

69 12 0
                                    


TOBIO bangun sebelum matahari benar-benar terbit. Pantai masih gelap, tapi tidak terlalu gelap sehingga Tobio memutuskan itu waktu yang tepat untuk lari pagi. Mengambil jaket dan sepatu cadangan yang dibawanya, Tobio keluar dari rumah kayu dan berlari kecil menuju pantai.

Lampu-lampu sudah menyala dan orang-orang mulai membuka pintu rumahnya. Tobio menemukan dirinya disapa oleh penduduk sekitar bukan hanya sekali, tapi hampir oleh setiap orang yang dia jumpai pagi itu. Tobio bertanya-tanya apakah mereka mengenalinya sebagai saudara laki-laki Miwa atau apakah mereka hanya ramah.

Tobio berlari di sepanjang garis pantai, berhati-hati agar sepatunya tidak basah lagi. Rutinitas paginya memberi Tobio semacam kestabilan, sebentuk penenang bahwa dia masih bisa berfungsi dengan baik meski dengan semua yang terjadi.

Bahwa dia masih baik-baik saja meski Miwa pergi.

Tobio berhenti di pantai yang kemarin dikunjunginya. Dia membungkuk dan memegang kedua lututnya, terengah-engah karena lelah dan kehabisan napas. Setetes keringat meluncur melewati dagu dan jatuh pada pasir di bawahnya. Tobio mengamati setetes keringat yang dengan cepat meresap di atas hamparan pasir.

Tidak berarti apa-apa.

Tobio bertanya-tanya apakah kematian Miwa ibarat setetes keringat yang jatuh ke hamparan pasir. Hanya satu dari sekian, tidak berarti apa-apa.

Tobio menegakkan tubuhnya dan mulai lari.

Bayangan Miwa mengiringi langkah kakinya di sepanjang garis pantai dan ombak yang bersahutan.

***

Tobio kembali ke rumah Kiyoko ketika matahari sudah mulai naik dan orang-orang semakin ramai. Dia menaiki tangga dengan kaki yang lemas dan napas terengah-engah. Rumah masih kosong dan sama persis seperti yang Tobio tinggalkan tadi.

Kiyoko dan yang lainnya pasti belum pulang.

Mungkin besok, pikir Tobio. Tobio meyakinkan dirinya bahwa itu tidak apa-apa, dia sering sendirian. Dia hampir selalu sendirian.

Tobio meninggalkan pikiran gelapnya di belakang dan berjalan ke dapur, membuka kulkas yang penuh dengan bahan makanan dan buah-buahan. Tobio melirik kotak sereal dan bertanya-tanya apakah sebaiknya dia membuat sarapan.

Lo harus sarapan.

Tobio mengusir bayangan Miwa dari kepalanya. Dia minum segelas susu dingin dan mandi, lalu tidur.

Tobio memimpikan Miwa lagi. Miwa masih berdiri di bibir pantai dan membelakanginya. Kali ini Tobio mendekat dan berdiri di samping Miwa, mengamati bagian samping wajahnya dan rambutnya yang acak-acakan diterbangkan angin.

"Kenapa lo pergi?" Tobio bertanya.

Miwa menoleh, wajahnya berkerut karena sedih. Dia membuka mulutnya untuk bicara, tapi Tobio tidak mendengar apa-apa. Lalu Tobio ditarik menjauh dan Miwa berteriak tapi tidak ada suara dan Tobio menyadari dia juga berteriak dan Miwa semakin jauh dan—

Tobio tersentak bangun dengan jantung berdebar dan tangan yang mencengkeram seprai erat-erat. Tobio bernapas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantung dan kepanikan yang mulai melandanya. Tobio berkedip dan ada air mata yang jatuh.

Tobio mengusap pipinya, baru menyadari kalau dia menangis dalam tidurnya. Tobio bangun dan menatap jendela yang dibiarkan terbuka. Malam sudah datang dan dinginnya mulai menusuk.

Dia tidur lama sekali.

Tobio bangkit dari ranjang dan berjalan ke arah dapur, hendak minum segelas air. Ada makanan di bawah tudung saji, dingin dan tak tersentuh. Tobio minum dua gelas air dan mengambil jaket tebal, lalu keluar dari rumah tanpa mengunci pintu.

MIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang