3

0 0 0
                                    

Memori malam itu tak pernah beranjak meninggalkanku. Semua tentang Ciptadi masih terasa sangat nyata bagiku. Aku tidak pernah melihatnya sejak itu.dia berhenti datang. tak pernah aku membayangkan bahwa cinta dapat meremukanmu. Menenggelamkanmu dalam lautan rasa bersalah. Tidak hanya pada ciptadi, tapi juga pada Bapak dan Ibu. Semua keringat dan jerih payah mereka telah kusia-siakan. Bapak dan Ibu marah besar sejak malam itu. Mereka bahkan tidak mau memandangku, seakan memandangku adalah hal yang memalukan.

Selang beberapa minggu setelah malam itu, kurir surat datang kerumahku. Beliau mengantarkan sepucuk surat yang ditulis  khusus untukku. Karena terlampau penasaran, kubuka surat itu segera. 

Assalamualaikum Gyandra, bagaimana kabarmu ?

Padamu telah kuberikan segala gy. Telah kurelakan pula air mata berlinang dari kedua mataku. Aku takkan marah padamu. Dari awal sudah aku katakan, akan kuikhlaskan cerita kita, apapun yang akan terjadi dan bagaimana akhirnya. Maka dari itu jangan merasa bersalah. Aku tau hatimu selembut sutra. Pasti menyesakkan rasanya mengecewakan banyak insan yang kau sayangi. Pasti menyakitkan mengucapkan kata-kata itu gy, kata kata yang kau ucapkan ketika membatalkan pernikahan kita. Dan aku ingin menghiburmu. Aku ingin meringankanmu dengan segala dayaku. Tak kan kubiarkan kamu melihatku untuk beberapa waktu yang akan datang gy. Akan kuberi jarak diantara kita. Pikirkan tentangmu dahulu sekarang. Bahagiamu. Aku hanya ingin melihatmu bahagia Gyandra.

Salam,
Ciptadi Gumilar

Bahagia ? Bagaimana aku bisa bahagia Ciptadi ? bagaimana aku mendefinisikan kata itu setelah melukaimu ? Harusnya kau tumpahkan amarahmu padaku. Marahlah padaku. Jangan memahamiku Ciptadi. Masih dengan jelas di benakku bagaimana cinta yang kau tawarkan padaku. Dan yang membuatku semakin tersiksa adalah aku tidak merindukanmu Ciptadi. Setelah segala yang telah kau berikan padaku, tidak masalah bagiku jarak diantara kita. Aku tidak mencarimu dan aku masih tidak menginginkan kau kembali.

Surat Ciptadi selalu datang setiap bulan. Selalu tanggal lima belas di sore hari. Sadar atau tidak aku menjadi terbiasa menerima suratnya. Lewat surat itu rindunya tersampaikan, katanya. Ciptadi menyuguhiku kalimat-kalimat menenangkan bernada cinta. Katanya, setiap bait dalam suratku dijahit oleh benang tak kasat mata yang ia buat sendiri. Setiap katanya dihidupkan dengan hembusan napasnya sendiri. Dia selalu menjagaku. Menuliskan hal-hal indah tentang cintanya yang masih ia rawat dengan hatinya sendiri. Dia selalu bilang, dia tidak membutuhkanku. Dia telah melepasku. Entah lewat doa atau sekedar lewat angin yang berlalu. Entah lewat jalan-jalan berliku atau lewat laut biru. Dia telah meloloskanku. Dia berjanji suratnya akan berhenti datang ketika saatnya tiba dan memintaku sabar menunggu.

Seperti tanggal lima belas pada setiap bulan sebelumnya, surat Ciptadi Kembali datang. Sudah setahun penuh kita berhubungan hanya lewat surat. Namun, surat kali ini tampak berbeda dari biasanya. Warna amplopnuya bukan coklat, namun merah muda. Aku segera pergi ke kamar dengan menggenggam suratnya. Membuka perlahan surat istimewa dari Ciptadi itu,

Gyandra,

Penantiamu telah tiba. Ini surat terakhir yang akan datang padamu. Aku sudah siap untuk berhenti menyita waktumu yang berharga. Goresan tinta tanpa makna dariku ini tidak akan lagi merenggut perhatianmu. Sudah saatnya gy. Aku melepaskanmu dari dekapan egoku. Maaf karena telah memenjarakanmu lewat kata-kataku. Aku selalu bersyukur atasmu, gy. Atas senyum indah yang terpatri dari paras keluguanmu. Atas merdunya tuturmu. Atas mulianya tatapanmu. Terima kasih gy, telah membiarkanku melakukan hal-hal sesuai kehendakku. Setelah ini, lakukanlah sesuaimu.

Aku hendak meminta jawaban gy. Berilah aku penjelasan sedikit lagi tentang kita dimasa depan. Biarkan aku melakukannya untukmu gy. Mewujudkan inginmu. Maka temui aku gy. Ketika matahari bersiap meninggalkan persemayamannya. Diatas gundukan tanah yang menghadap kerasnya deru ombak pantai selatan. Aku menunggumu. Tidak perlu terburu-buru gy. Penantianku akan terbalas begitu kita berbagi detik bersama. Ingatlah, bahwa sabarku tak pernah berbatas untukmu.

Hati-hati dijalan Gyandra.

Ciptadi Gumilar

Aku menutup surat itu dan meletakkannya dibarisan surat lainnya. Surat terakhir rupanya. Rasanya akan ada yang hilang. Padahal belum ada kata perpisahan yang terucap. kamu benar Ciptadi. Kita perlu bertemu. Kita harus mengucapkan kalimat perpisahan yang layak. Satu tahun bukanlah waktu yang singkat dalam konteks penantian. Baik bagimu atau bagiku. Aku segera merias diri. Membuka lemari bajuku lebar-lebar. mengamati satu demi satu baju yang tersimpan. Dan pilihanku jatuh pada terusan rok selutut berwarna hijau muda. Aku akan membuat diriku tampak menawan Ciptadi. setidaknya sekali ini untukmu.

Selepasnya, aku bergegas pergi. Jalan yang harus kutempuh untuk menemui Ciptadi hanya sekitar 10 menit jalan kaki. Kupilih jalan terdekat untuk tiba ditempat Ciptadi menunggu. jalan pintas kecil yang jauh dari keramaian. Bapak yang memberitahuku dulu Ketika aku masih kecil. Jalan tak terurus  yang dipenuhi belukar ini memotong jalur utama yang melengkung. Baru beberapa Langkah menyusuri jalan itu, aku merasakan sesuatu dibelakangku. Aku menoleh kebelakang. Tiba-tiba hitam. Seseorang menutupkan kain hitam dimataku. Tangannya kasar dan keras, berarti lelaki. Aku segera melawan. Menarik tangannya semampuku dan berteriak kencang. Dengan sigap mulutku ditutup rapat-rapat. Napas dan denyut jantungku berpacu saling mendahului. Ditariknya tubuhku dengan kasar kedalam dekapannya. Aku terkulai lemas. Membeku. Tidak berdaya. Tidak ada yang dapat kulakukan. Sedang duniaku runtuh dalam sekejab dibalik rumput yang bergoyang.

Salamku pada Rumput yang Bergoyang (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang