2

1 0 0
                                    

Hari demi hari berlalu begitu cepat. Ciptadi makin sering datang kerumah. Ia juga makin dekat dengan Bapak dan Ibu. Beberapa kali membawakan sesuatu untuk kami makan bersama. Tidak hanya itu, Ciptadi juga ikut datang dalam beberapa acara keluarga. Semua menyambut dan mendukung Ciptadi. Dan semua berlalu begitu saja hingga perjodohan itu pun tak terhindarkan. Aku tidak tau apa yang telah kulewatkan. Aku tidak tau mengapa saat ini semuanya terasa begitu menyesakkan bagiku. Bukan dia, bukan Ciptadi yang sesungguhnya aku inginkan. Bukan dia yang kutunggu untuk datang. Namun, tidak ada yang mengerti. Mungkin tidak mau tepatnya dan itu membuatku bimbang. Aku tidak percaya diri bisa melakukan itu semua dengannya. Mengarungi bahtera rumah tangga yang penuh dengan lika-liku dan kejutan. Bukankah akan menyenangkan berpetualang bersama yang tercinta ? lalu bagaimana ini ? apa yang harus kulakukan pada Ciptadi ?

Minggu depan adalah saatnya. 27 Oktober. Hari sakral itu akan tiba juga. Ibu dan bapak sibuk mondar-mandir mengurus segala persiapan.  Mulai dari catering, pemandu acara, rias manten, dan semua keperluan satu per satu dipersiapkan. Aku tidak banyak membantu. Hanya beberapa kali mengutarakan pendapat. Karena hal yang perlu kupersiapkan lebih dari semua itu adalah diriku sendiri. Kesiapanku melangkahkan kaki ke pelaminan. Meyakinkan diri berulang kali bahwa aku telah memilih Ciptadi. Mengusir berbagai pikiran jahat untuk membatalkan pernikahan ini. Hari ini Ciptadi datang lagi kerumah. Seragam guru  masih membalut tubuhnya dengan rapi. Tampilannya sedikit berbeda dari biasanya. Ah ternyata rambutnya. Poni yang biasanya ia biarkan jatuh menutupi Sebagian dahinya, kini ia sisir rapi ke kanan.

“biasa saja melihatku gy” goda Ciptadi

“ini sudah biasa saja”

“mana yang lebih baik ? tampilanku sebelumnya atau saat ini ?”

“sama saja”

“apanya yang sama saja”  Ciptadi mengambil langkah mendekatiku. Tangannya yang sedari tadi bersembunyi dibelakang tubuhnya kini dijulurkan, menyentuh rambutku helai demi helai.

“1 minggu lagi, tidak terasa. Sudah siap gyandra ? ” katanya dengan wajah antusias.

“apa yang kau butuhkan ciptadi ? jawaban jujurku atau jawaban yang baik-baik saja ?” tanyaku menggodanya. Senyumnya sedikit memudar. Dia menatapku dalam dan menjawab

“apapun yang membuatmu paling nyaman. Jika diperbolehkan memilih, maka aku ingin jawabanmu yang jujur”

Aku diam sebentar.  Lalu membenarkan posisi dudukku untuk membalas tatapannya. Kami saling bertatap. Membiarkan malam mengisi kesunyian yang tak sengaja tercipta diantara kita. Bulan sedang sangat indah saat itu. Cahayanya hangat dan terasa sangat dekat. Ciptadi menaruh tangannya di tanganku dengan ragu. Dengan perlahan ia menggengam tanganku erat. Meluruhkan segala pertahanan yang sedari dulu telah kubangun. Aku dapat merasakan ketulusannya. Rasa bersalah tiba-tiba muncul menyelinap dalam benakku. Pantaskah aku ? benarkah yang kulakukan selama ini ? memenjarakannya dengan ikatan tanpa cinta karena dalih membahagiakan semua orang. Sungguh, Ia pantas mendapatkan seseorang yang dapat membalas ketulusannya. Ia pantas dijamu permaisuri berwajah cantik berseri yang dapat memberikan ketulusannya. Ia pantas mendapatkan segala yang baik dari dunia. Ingin saat ini aku mengungkapkan segalanya padanya. Segala gelisahku dan keresahanku atas pernikahan kita. Aku harus bagaimana Ciptadi ? menyedihkan rasanya tidak dapat memberikan apa yang seharusnya padamu. Tak terasa air mata jatuh dari mataku. Ciptadi nampak terkejut sesaat. Namun dengan sigap ia mengusapnya lembut.

“apa yang tidak bisa kau sampaikan padaku Gy ?”

Kalimat tanya darinya yang akhirnya menyudahi kesunyian diantara kita. Banyak Ciptadi. Aku terlalu takut menyakiti hatimu yang begitu tulus. Aku takut menghancurkan segala cita-citamu. Aku takut menyiksamu dengan perasaanku. Melihatku yang tetap diam membeku, Ciptadi melepas genggamannya. Merangkulkan tangannya pada pinggulku dan menarikku dalam dekapannya. Tangisku pecah seketika. Cinta ciptadi telah menerobos masuk menusuk sukmaku. Tidak sekalipun aku merasa semasygul ini. Mengapa aku tidak bisa membalas cinta suci milik Ciptadi ? pertanyaan itu menjejal masuk menciptakan sesal dalam nadiku.

“Bagaimana bila aku mengakhiri ini ? membatalkan pernikahan kita ?” bisikku disela-sela tangis. Ciptadi tetap tenang. Wajahnya tidak nampak gusar sedikitpun. Pertanyaanku pasti menamparnya dengan keras. Namun, Ciptadi masih sama. Pelukan itu masih terasa sama bagiku. Dia tidak merenggangkannya sedikitpun. Aku menghentikan tangisku sebelum melepas rengkuhannya.

“aku yang akan menyampaikannya pada bapak dan ibu” Ciptadi membelai lembut rambutku lalu segera berlalu dari hadapanku.

Salamku pada Rumput yang Bergoyang (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang