Page 6 : (Wish) You Were Here

242 45 54
                                    

words count : 5.900 words

.

Pada akhirnya aku menyerah. Orang-orang suruhan ayahku mengemasi semua barang-barangku. Sampai-sampai aku lupa tidak membawa bunga lily yang diberikan Seokjin.

Sebelum pergi, aku diantar orang-orang suruhan Ayah ke Daisy Bloom. Karena ini hari liburku, maka yang berjaga di sana adalah Bibi Lim dan Hana. Aku mengundurkan diri dan mereka terlihat sangat sedih. Walaupun terkadang Bibi Lim dan Hana suka banyak bertanya kepadaku tentang hal-hal yang privasi, aku tetap merasa tidak enak hati kepada mereka. Ini semua terlalu tiba-tiba. Bukan hanya mereka yang sedih, aku juga. Aku bahkan baru bisa menghapal semua nama jenis bunga yang mereka jual. Namun, sekarang semuanya percuma.

Orang-orang suruhan ayahku mengantarku pergi menuju Seoul. Sepanjang perjalanan aku dihantui perasaan bersalah kepada Ibu. Ada sedikit ketakutan jika hipertensi bisa merenggut Ibu.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, sehingga aku sampai ketiduran di mobil, kami akhirnya tiba di  rumah sakit. Salah satu dari orang suruhan Ayah mengantarku langsung ke kamar Ibu. Kata mereka ini semua perintah Ayah, aku bahkan tidak diizinkan memegang ponselku selama perjalanan ke Seoul dan tidak boleh beristirahat di rumah. Aku harus melihat kondisi Ibu dulu.

Sebelum membuka pintu lebar-lebar, aku mengintip lewat celah kecil yang kubuat. Di sana Ibu terbaring dan terlihat pucat.

Dengan segenap keberanian aku pun masuk sambil tetap dikawal. Tak lama, Ayah muncul dari pintu toilet, dan memelototiku.

Dan, benar saja, dia langsung menjewerku. Musnah sudah gambaran Ayah yang tidak pernah menyakiti dari benakku.

"Anak nakal! Ke mana saja kau? Tidak ingat punya keluarga? Tidak ingat punya orang tua, ya!? Mau jadi berandalan di luar sana? Hah!"

Aku mengaduh. Baru kali ini dijewer oleh Ayah. Sepanjang umurku baru kali ini Ayah benar-benar menyakitiku dan marah sebesar ini kepadaku. Sebenarnya aku memahami reaksinya, tapi tetap saja ini... sakit. "Sakit, Ayah! Sakit! Lepaskan aku. Aku bukan anak SD!"

"Badanmu saja yang besar, tapi pikiranmu seperti anak SD!"

"Aduh, sakit! Jangan begini, dong."

Ayah menyentakkanku, sementara aku mengusap-usap telinga kiriku yang dijewer. Panas sekali rasanya. "Kalau aku jadi tuli, Ayah juga yang repot."

"Jangan mendramatisir. Lihat ibumu."

"Iya, aku lihat."

Ayah menghela napas sambil menggelengkan kepala. "Cheonsa, Ayah tidak tahu apa yang ada di pikiranmu. Ibumu sangat khawatir saat kau hilang hari itu. Apa kau tidak memikirkan perasaan kami? Ibumu sudah berkali-kali dirawat di rumah sakit, asal kau tahu! Berulang kali juga dia bertanya ke mana kau pergi dan berusaha mencari tahu keberadaanmu. Untung saja kau ditemukan. Kami sempat berpikir kau sudah jadi mayat!"

Aku menunduk dalam. Enggan menatap Ayah. Kuakui aku salah, hanya saja aku berat mengatakan kalau akulah penyebab Ibu terbaring di rumah sakit.

Ah, sekarang aku tahu, sepertinya yang mengikutiku malam itu orang suruhannya Ayah. Pantas saja terasa asing.

"Kalau kau ingin liburan atau semacamnya, bilang kepada kami. Jangan kabur, apa kau tidak memikirkan begitu banyak orang jahat di luar sana!?" lanjut Ayah.

"Maaf. Aku juga punya alasan. Aku--"

"Sudah. Nanti saja. Kepalaku juga sakit. Belum tidur sejak semalam. Sekarang kau dihukum."

"Hah!?"

"Tidak boleh memakai ponsel sampai lusa. Semua rekeningmu juga sudah kubekukan. Jangan pulang ke rumah sampai besok. Mandi dan lakukan semuanya di sini. Jaga ibumu. Aku sudah menyuruh pelayan mengantar pakaian dan semua yang kau butuhkan."

• WHO ARE YOU •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang