Suntingan ini berdasarkan kritik dan saran pada bab sebelumnya
Nama Penulis : Gita
Judul Cerita : Di Bulan Juli 2015
Jumlah kata : ±980 kata
Isi :
"Ih, kamu kenapa? Kok minum obat?"
"Kamu lagi sakit?"
"Sakit apa? Muka kamu pucat banget."
Berisiknya.
Suara batuk terdengar, walau seperti dipaksa. "Nggak, kok. Aku nggak kenapa-napa."
"Terus, kenapa minum obat?"
"Eh, ini? Enggak, kok."
Masih berusia tujuh tahun, tapi Naafi kadang heran dengan kelakuan teman sekelasnya sendiri. Kedua netra gelapnya melirik ke kanan, tempat percakapan sebelumnya berasal. Dia menopang dagu dengan tangan kirinya yang memegang pensil.
"Paling cuma obat batuk biasa. Heboh banget," gumamnya pelan. Kalau sampai terdengar, mungkin dirinya akan jadi musuh teman-teman sekelasnya. Naafi memang sering menyendiri, tapi dia tidak ingin dimusuhi.
Naafi, mah, terlalu serius. Persis banget ayah sama ibunya.
Begitu kira-kira kata orang, dan Naafi tidak pernah menyangkal sama sekali. Apa yang salah? Toh, memang begitu ajaran orang tuanya. Sekali lagi, walau dia masih berusia tujuh tahun.
Ajaran itu pula yang menempatkan Naafi pada peringkat atas di sekolahnya. Dia mungkin bisa menghitung dengan cepat tanpa coret-coretan atau kalkulator, menyebutkan banyak jenis tanaman yang termasuk monokotil atau dikotil, atau menyebutkan nama-nama negara yang ada di dunia, tapi untuk masalah hubungan sosial, Naafi nol besar. Dia bahkan tidak sanggup untuk mengingat seluruh teman sekelasnya, yang terhitung sudah satu kelas dengannya hampir selama tiga tahun.
Lagi, Naafi menghela napas. Dia tidak begitu suka jam istirahat. Hanya duduk di bangku setelah menghabiskan bekal, mendengarkan ocehan teman sekelas mengenai sinetron yang ditontonnya tadi malam, atau cerita mengenai asal usul sekolah mereka-kebanyakan berkata bekas rumah sakit, di sebelahnya adalah kuburan, dan kelas mereka adalah kamar mayatnya.
Naafi bangkit dari bangku. Dia membawa kertas bergambar pohon kelapa dan diremasnya perlahan. Semalaman berusaha membuat dedaunan, tapi sampai saat ini belum berhasil. Padahal, salah satu syarat agar ibunya mau membelikan buku panduan untuk menggambar dan mewarnai adalah mampu membuat pohon kelapa serealistis mungkin. Kalau tidak ingat keinginannya sendiri, Naafi pasti sudah menyerah untuk berusaha.
Lalu, semakin bertambah umur, Naafi kira dirinya akan berubah. Nyatanya, zona yang ditempatinya kini terlalu nyaman. Diikuti terus alur yang disusun oleh kedua orang tuanya. Sebagai seorang anak, Naafi hanya bisa menurut. Baginya, bukan hal yang pantas untuk memberontak. Mimpinya mungkin terdengar terlalu rendah bagi ayah dan ibu.
Dia Naafi, laki-laki yang usianya akan menjadi enam belas tahun pada bulan Desember, kelas dua SMA, sudah nggak punya cita-cita lagi.
•••
Katanya, ada program uji coba yang akan dilaksanakan pada tahun ajaran kali ini. Setelah ditutup pada 2008 lalu, program kelas unggulan kembali dilaksanakan. Total murid satu jurusan yang diterima hanya dua puluh. Sisanya silakan berada di kelas lain. Kelebihannya dari segi fasilitas yang kesannya jomplang kalau dibandingkan dengan kelas lain dan prestise, bisa sombong sedikit kalau di depan penghuni kelas lain. Kekurangannya, pelajaran tambahan dimulai sejak kelas sebelas. Pulang lebih lama, hari Sabtu masih harus masuk sekolah.
Naafi tidak ada niatan masuk kelas itu sama sekali. Kalau begitu, bisa-bisa hari liburnya akan berkurang. Tidak ada lagi bermain roller skates setiap akhir pekan. Agak kekanakan, tapi Naafi hanya berharap di hari itu agar dia bisa bersenang-senang.
Berbeda lagi dengan Arsa. Laki-laki yang tahun kelahirannya satu tahun lebih muda itu justru mengupayakan agar bisa masuk ke kelas tersebut. Dia ingin kelasnya sama seperti huruf depan namanya, walau sebenarnya nama Arsa sendiri diawali dengan huruf C.
"Sekali-kali gue bikin ayah sama bunda senang," ucap Arsa seraya menautkan kedua jemari tangannya, lalu menjadikannya tumpuan dagu. Bibirnya yang sedikit pucat pagi hari ini tersungging. "Lumayan. Siapa tahu dapat pahala. Mungkin orang tua lo juga bakal sama. Iya nggak, sih?"
Musim pancaroba membuat pagi di bulan Juli ini menjadi lebih dingin. Sejak semalam hujan tidak berhenti dan baru mulai mereda ketika jarum pendek sudah di angka enam. Maka dari itu, Arsa masih mengenakan jaket biru yang lengannya lebih panjang dari tangannya itu. Dia menatap Naafi yang masih menimbang-nimbang ucapannya.
"Gue cuma butuh hari Sabtu gue," jawab Naafi pada akhirnya. "Itu udah kesepakatan gue sama orang tua gue sejak dulu kalau satu hari ada hari bebas buat gue."
"Hm, orang sibuk emang nyeremin," balas Arsa asal. Dia tidak lagi melanjutkan daripada perdebatan itu makin jauh. Arsa sendiri sangat mengenal bagaimana sosok Naafi walau baru bertemu ketika berada di jenjang sekolah menengah pertama. Dia tidak akan mau kalah dan Arsa sebenarnya bukan orang yang suka berdebat.
"Mungkin kita bisa tukeran orang tua biar gue bisa main roller skates terus," ucap Naafi. Dia tertawa pelan seraya mengaduk teh hangat yang sengaja dibelinya untuk menghangatkan badan, meski sejak tadi didiamkan dan justru berakhir menjadi dingin.
"Nggak dulu, terima kasih." Arsa membalas cepat. Selain kenal betul dengan anaknya, dia juga kenal dengan kedua orang tuanya. Tegas dan tidak menerima kegagalan. Sampai saat ini, menurut ayah dan ibunya, Naafi yang tidak pernah gagal masih saja tertinggal dengan sang kakak yang usianya lebih tua sepuluh tahun. Arsa jadi prihatin, makanya dia sering menculik laki-laki yang pola tidurnya sudah tidak jelas itu.
Naafi senang-senang saja walau pada akhirnya berakhir dengan omelan yang terdengar sepanjang hari. Berakhir dengan dirinya yang tidak dibiarkan keluar dari kamarnya. Soal latihan menjadi makan malamnya dan Naafi tidak masalah.
"Gue nggak mau dilempar sapu pas lagi asyik main piano malam-malam," lanjut Arsa, "kayaknya orang tua lo nggak bakal nganggep gue anak. Yah, siapa pula yang mau punya anak kayak gue?"
Naafi dengan sengaja tidak membalas lagi dan lebih memilih untuk menyeruput tehnya. Dingin dan Naafi jadi menyesal karena tidak mengacuhkannya.
"Tebak-tebakan, yuk!" Arsa mengalihkan pembicaraan. "Upacara kali ini gue masuk UKS lagi atau enggak?"
"Chi, lo mau jadi bahan omongan beneran gara-gara tiap upacara masuk UKS?"
"Bukannya seru, ya, diomongin sama orang yang nggak pernah tahu cerita aslinya gimana?" Arsa tertawa pelan. "Jadi, tebakan lo?"
"Ya, masuklah. Tiap minggu sejak dulu selalu begitu."
Arsa menyunggingkan sebelah sudut bibirnya. "Coba lihat nanti, ya. Kali ini gue nggak bakal masuk UKS."
Nyatanya, tebakan yang benar adalah tebakan Naafi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CTWA Krisar Karya
RandomDi CTWA ada kegiatan yang mengharuskan anggotanya membuat; menuliskan suatu cerita, cerita pendek. Nah, selain membuat cerita, setiap anggota akan mendapatkan kritik dan saran (krisar) yang membangun untuk karya tulisnya. Penilaian krisar hanya akan...