S2. tiga puluh enam.

1K 62 3
                                    

Part 36

Aku dan mas Niko, meski sering melakukan USG setiap bulan, kami enggan memberitahu pada keluarga apa jenis kelamin jabang bayi kami. Bukan apa, tapi banyak yang cerita pas di USG kelaminnya perempuan eh pas keluar laki-laki. Kesian kalau ada yang beliin baju baby atau mainan dengan gender tertentu terus tidak sesuai malah merepotkan yang beli. Bukan ngarep dikasih juga, tapi pasti tetep ada. Jadi, selama ditanya ya kita jawab "sedikasihnya aja, doakan ibu dan baby nya sehat, lahirannya dipermudah, dedek bayi lengkap tak kurang suatu apapun, dan semua berjalan baik" gitu.

Ibu dan ibu mertua juga santai, menilik keduanya calon Mbah-nenek baru yang baru kali ini menyambut kehadiran cucu pertama. Beuh, kasta tertinggi ini dikedua belah pihak keluarga. Cucu pertama, anak pertama, keponakan pertama, dan pasti semua pertama. Tapi ya jangan langsung dimanja juga. Melihat sikap bapak dan ayah mertua yang lempeng, ibu yang jelas pasti nanti kadar kecerewetannya nambah, dan ibu mertua yang menurutku sedikit di bawah level ibu, anak kami tidak akan di tinggikan atau diagung-agungkan, karena tak elok kan.

Karena ini anak pertama dan aku masih memiliki Simbah baik dari keluargaku dan mas Niko, nanti akan diadakan acara buyutan menyambut datangnya buyut para si Mbah. Ya anakku itu. Anak kami.

Meski dilakukan setelah bayi lahir, ibu sudah mengingatkan untuk membeli syarat sebelumnya, seperti tapih atau sarung untuk para calon buyut. Aku kurang paham tentang masalah ini, wajar kan aku tak ingat dulu buyutanku gimana. Ehehe.

"Mas masih ada buyut sampe umur berapa?" Tanyaku pada mas Niko yang kini goleran di depan tv memakai kaos oblong dan celana kolor janda bolong. Okey, itu hadiah dari mas Angga, jaman kuliah.

"Ha? Gimana?" Tanya mas Niko usai duduk dan mendekat ke arahku.

Aku mengulang pertanyaanku dan ia hanya mengangguk tak membalas. Lah, suami, ini maksudnya apa?

"Mas, ih." Aku menarik paksa kulit punggung tangannya yang ya pasti gak akan sakit. Udah kebal.

"Mas lagi ingat-ingat, Dek, sabar," ucapnya seraya meringis mengusap kulit punggung tangannya. Loh sakit?

"Kan udah biasa," rajukku mengambil punggung tangan mas Niko dan bergantian mengelusnya.

"Kelas dua apa ya, seingat Mas kelas dua. Kalau Adek?"

Seraya mengelusi tangannya, aku mengambil tangan yang satunya dan meletakkannya melingkari leherku. Wangi sabunku ya Allah !

"Mas kok pakai sabun, Adek, lagi?"

Mas Niko menatapku pasrah dan mengusek-usek hidungnya di rambutku. "Mas yang beliin ntar kalo habis," jawabnya santai.

"Ya kan biasanya emang gitu ih," seruku.

"Ya kalau gitu sah-sah aja Mas pakai sabun Adek, yang beli kan juga Mas," jawab mas Niko sekenanya yang terpaksa sangat amat terpaksa aku iyain. Kalau begini mulai bulan depan beli sabun satu saja biar pengeluaran untuk kamar mandi gak banyak-banyak banget.

Oh iya, sejak pindah kesini aku harus benar-benar pintar mengatur keuangan. Memang gaji mas Niko lebih besar dari sebelumnya, mengingat UMR sini lebih tinggi dari sebelumnya. Tapi seperti hukum alam, semakin besar pendapatan berbanding lurus dengan keinginan dan kebutuhan. Jadi ya kudu pinter ngatur.

Pengeluaran banyak pula di waktu yang berdekatan. Meski itu memakai simpanan mas Niko yang dikotak-kotakkan sendiri tak mengambil dari jatah bulanan, tetap saja sebagai irt kudu cakap mengatur.

Ibarat struktur organisasi, mas Niko memang ketuanya, akulah bendahara sekaligus seksi sibuk dan semuanya. Ya meski mas Niko tak berat hati jika aku beli ini itu asal kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan, tetap saja aku sungkan.

Sudut Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang