S2. empat puluh empat 🌙

1K 70 16
                                    


Part 44.

Hari ini, aku diperbolehkan pulang setelah memastikan keadaanmu dan si bayi baik-baik saja. Kami keluar dari rumah sakit mendekati waktu Zuhur sebenarnya, tapi karena ini hari Sabtu dan bertepatan dengan masuknya setengah hari pegawai pabrik dan rumah sakit swasta yang aku datangi ada diantara itu, jadi kemacetan menjalar panjang dan membuat kami terjebak dalam mobil menuju arah pulang.

Aku yang ditemani ibu mertua, sedangkan ayah di depan menemani mas Niko mengemudikan kendaraan hanya bisa mencuri tidur. Putraku anteng bersama Mbah Utinya meski di luar suara klakson memekakkan telinga. Setengah jam berkutat di jalanan, perlahan, akhirnya kendaraan bisa berjalan meski sangat pelan.

"Dulu kamu juga kerja di sana, Nduk?" tanya ibu menunjuk arah pabrik garmen kiri jalan. Ada dua pabrik garmen yang masih beroperasi sampai sekarang. Padahal setauku pabrik itu berdiri sebelum aku lahir.  Lama juga ya kan.

"Iya, Bu, tapi sebentar. Terus Dila kerja di daerah Pantura, dekat SPBU kiri jalan ituloh, Bu," jawabku pelan.

"Jauh mana, Nduk, sini sama sana?"

Aku memang pernah kerja di pabrik garmen tadi, hanya bertahan tiga bulan saja, setelah perpanjangan kontrak enam bulan baru sebulan berjalan aku keluar karena tak tahan dengan lingkungan kerjanya yang menurutku toxic banget. Padahal saat itu aku mengumpulkan uang untuk niatan biaya kuliah, tapi ya namanya gak betah tetap keluar.  Satu tahun kurang aku menganggur di rumah, lalu mendapat pekerjaan di pabrik Mabel daerah Pantura. Alhamdulillah, aku kerja selama dua tahun sebelum masa kontrakku habis dan setelah itu nikah pindah ke Solo.

"Sama kayaknya, Bu. Sama-sama setengah jam dari rumah kalau Dila," jawabku.

"Lah, pelan dong ya Adek ngendarainnya?" sahut mas Niko yang rupanya mendengarkan cerita kami.

"Huum. Dulu pernah nyoba cepet, Mas, tapi pas turun dari jembatan dekat pembuatan bata ituloh, rem motor Adek yang kurang set malah bikin Adek kecacalan, mana di depan ada truk pengangkut bata, mau jatuh ke sawah Adek, Mas, jadi setelah itu lebih hati-hati," ceritaku yang mengundang tawa penghuni mobil ini.

"Motor yang, Mas, pakai kerja?"

"Bukan, itu motor Adek beli pas udah di Mabel, sebelumnya pakai motor bebek. Jadi kalau hujan sering mogok gak mau jalan," kataku.

"Terus di Mabel gimana, Nduk?"

"Lebih enak Bu, mungkin karena orangnya dari daerah Utara ya Bu, jadi lebih baik dan halus ngomongnya, gak sampai bawa nama kebun binatang lah intinya. Kalau garmen kan semua nama binatang disebut ke dalam pabrik," ucapku lalu terkikik pelan.

"Kudu kuat hati ya, kalau gitu? Semua sawang sinawang ya, Nduk? Kalau dilihat kerja pabrik bayarannya banyak, pakaiannya bagus-bagus, tapi kalau dikatain hewan ya sakit hati juga," ucap ibu.

"Nggeh, Bu. Makanya pas sudah gak betah di garmen, Dila keluar. Tiap pulang Dila nangis, Bu. Badan capek, target banyak, capek lah. Padahal semua kerja ya capek, ya Bu? Tapi namanya juga Dila yang sok-sokan idealis, ya keluar," ujarku lalu tertawa.

"Mas, baru tahu malah Adek kerja di garmen. Setahu Mas kan Adek di Mabel," ucap mas Niko.

"Soalnya di garmen banyak gak enaknya, tapi uangnya wuenak sih," kikikku, "kalau Mabel orangnya baik-baik, Mas, jadi ya sering cerita. Temannya juga banyak."

"Niko kalau kerja pakai motormu, Dil?"

"Iya, Bu. Pakai mobil macet parah. Lihat sendiri kan, ini dari tadi kita belum sampai pertigaan pasar, padahal kalau lancar hanya butuh lima menit saja," jawab mas Niko.

"Lah kemaren kenapa gak beli motor saja?"

"Biar ada mobil to, Bu. Masak pas ngajak dedek jalan-jalan pakai motor, panas Bu, kasian." Aku menggeleng pelan bingung dengan pikiran mas Niko, meski ada benarnya juga.

Sudut Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang