02. Selagi gue yang mimpin!

756 58 0
                                    

SMA Pelita Jaya.

"Gan, hari ini jadi kan?" Tanya mereka sambil melirik Arga yang sibuk memukul Raven di belakang Argan.

"Jadi, kok. Bilang sama anak-anak lain kalo gue sama Raven dan Arga bakal langsung ke rumah sakit buat jemput Dios." Jawab Argan. Mengabaikan teriakan dua orang di belakangnya.

"Akhirnya, yang di tunggu-tunggu balik juga."

"Bakal lengkap lagi anggota inti Luxury."

"Yoi, men.."

"Ngomong-ngomong, Gan, itu yang di belakang dibiarin gitu aja?" Masih dalam posisi yang sama. Arga dan Raven masih sibuk bertengkar.

"Biarin aja. Gue lelah ngintilin dua hiperaktif setiap hari." Dengan kesal Argan melengos pergi ke kantin meninggalkan dua bocah yang sibuk adu mulut seperti biasa.

Namun, "MAU MAKAN NGGAK, LO, BERDUA?!" Teriakan Argan menggelegar di seluruh koridor. Seketika Arga berhenti memukul Raven dan menatap Argan dengan takut. "M-mau m-makan, kok." Dengan berlari kecil menggandeng Raven dan dalam sekejap melupakan jika beberapa waktu lalu mereka saling beradu mulut.

"Ha ha ha.. yang banyak sabar, Gan." Ejek yang lain. Argan seperti seorang ibu dengan kedua anaknya yang sangat nakal.

"Sial! Gue malu." Argan si kutub es itu sangat jarang untuk berteriak. Sekalinya berteriak hanya pada dua orang yang selalu membuat darahnya naik.

"Lo, berdua kalo bukan sahabat-sahabat gue ya, bakal gue potong-potong terus gue jual ke pasar." Gumam Argan yang masih bisa di dengar Arga dan Raven.

"Kalo lo jual yang beli bakal jadi kanibal dong, kan mereka makan daging kita, iya kan, Ga?" Tanya Raven, menatap Arga dengan mata berkedip-kedip.

"Nggak gitu juga, Rav. Astaga, ini otak kok bodohnya sangat-sangat menjengkelkan, ya." Cibir Arga yang tidak paham dengan cara kerja otak Raven.

"Gue nggak bodoh gue lagi nanya, Ga. Semisal dia beneran cincang kita-"

"Iya, Rav. Seluruh warga bakal jadi kanibal kalo beli daging yang Argan jual, puas?" Potong Arga. Kemudian melengos pergi begitu saja.

"Jadi yang bodoh siapa, Ga."

"GUE YANG BODOH, RAV, GUE!" Teriak Arga dari dalam kantin dengan kekesalan yang batasnya sudah lewat.
.

.

.

RS Bunda.

"Kamu yakin nggak mau ngambil pendonor itu?"

"Aku sudah bilang, Jav. Aku tidak memerlukan donor mata lagi."

"Tapi-"

"Aku pulang dulu, terima kasih untuk perhatiannya."

Bukan tidak ada gunanya jika mataku berfungsi kembali. Namun, kehilangan mataku adalah satu-satunya bisa menembus perasaan bersalahku pada ayah dan ibu.

Bisa melihat ketika mereka tidak ada sama saja dengan aku yang tidak bisa melihat. Gelap rasanya tidak ada tawa renyah milik ayah atau omelan kecil dari ibu. Ibarat kata bagai taman tak berbunga begitulah hidupku tanpa ayah dan ibu.

"Hati-hati, Tuan. Di depan ada banyak anak-anak remaja dengan motor besar mereka." Ujar Arya. Sang sekretaris yang masih setia bekerja dan mendedikasikan diri sepenuhnya untuk Kavin. Mantan sekretaris sang ayah yang kini bekerja sebagai sekretarisnya untuk mengurus seluruh jalannya perusahaan yang ayahnya tinggalkan.

"Kita bakal pesta kalo habis dari sini, nih."

"Pastilah. Delon yang traktir."

"Giliran pesta gue, bangsat lo semua, ya."

The Eyes | KARAVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang