04. Sebuah taman

579 57 6
                                    

Langit sore berwarna jingga mengelilingi seluruh taman. Ada banyak pasangan yang berjalan-jalan sekedar untuk melepas rindu. Cuaca indah sangat bagus untuk piknik. Tidak begitu dingin dan juga tidak begitu panas, sangat cocok untuk keluar bersama teman-teman.

Di sebuah bangku panjang ada sosok Kavin yang sedang duduk menghadap ke arah sungai dengan matahari yang terbenam di ufuk timur. Setiap hari kegiatannya hanya makan, duduk di depan tv yang menyala kemudian tidur lalu keluar di sore hari hanya untuk melihat matahari terbenam-ralat-ia hanya ingin merasakan matahari terbenam sama seperti orang-orang lainnya.

"Oh, kita bertemu lagi, Tuan?" Ujar Raven. Ia pulang sehabis kumpul bersama anak-anak. Namun, ia baru sadar jika setiap ia pulang langkah kakinya pasti akan berhenti di taman ini hanya untuk melamun.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Raven. Mendudukkan pantatnya di bangku panjang di samping Kavin yang masih terdiam. "Ah, aku lupa.. namaku-"

"Aku tau, kamu Raven, bukan?" Potong Kavin segera. Lagi-lagi Raven di buat kaget oleh Kavin yang bisa tahu padahal bulan sudah berganti sejak pertemuan terakhir mereka.

"Bagaimana Tuan tau kalau itu aku?" Tanya Raven. Jujur ia benar-benar terkejut.

"Suaramu. Tidak ada yang sejernih dan selembut milikmu." Ujar Kavin. Tersenyum tipis ketika menyadari siapa yang datang menyapanya. Sejak dua tahun ia duduk di sini tidak sekalipun orang menyapanya. Hanya satu orang yaitu Raven namun sejak beberapa bulan sosok Raven tidak pernah ia temui lagi.

Jujur, Kavin benar-benar nyaman untuk jika berbincang dengan Raven. Tawa renyah di tambah suara jernih dan lembut membuat Kavin benar-benar candu. Bagai ganja yang membuat orang melayang hingga langit ketujuh.

"Luar biasa. Aku baru tau kalau punya suara jernih dan lembut. Tuan, nggak sedang berboho-"

Drrtt! Drrtt!

Ponsel berdering memotong ucapan Raven yang sangat antusias itu. Ia mendelik kesal siapa yang menghubungi dan mengganggu kesenangannya.

Terlihat nama Argan di layar. Dengan kesal ia menerimanya tanpa bangkit dari posisinya. "Kenapa, Gan? Ganggu bener."

"Dih, lo lagi ngapain sampai ke ganggu, ha?" Tanya Argan, kesal.

"Nggak ngapa-ngapain njir. Ada perlu apa?" Tanya Raven.

"Anggota inti ngajak lo ngumpul ulang. Yang lain baru tiba pas lo pulang." Argan berujar. Bisa ia dengar teriakan anak-anak di markas miliknya untuk segera menyuruh nya balik lagi.

"Oke. Gue balik sekarang." Jawab Raven. Kemudian mematikan secara sepihak tanpa menunggu jawaban dari Argan. Tidak sopan tapi dia ketuanya yang lain bisa apa. Sedikit sombong untuk Raven bukan masalah nya.

"Mau balik?" Tanya Kavin. Sedikit ada rasa tidak rela jika Raven meninggalkannya. Jujur, Kavin nyaman mendengar tawa renyah Raven dan suara jernih juga lembut miliknya. Siapapun akan gundah padahal mereka baru dua kali bertemu.

"Iya. Mereka mengajak berkumpul kembali. Ngomong-ngomong, Tuan, kalo pertama bertemu itu hanya kebetulan tapi kalo kedua kali artinya kita berjodoh." Gurau Raven. Tawa kecil keluar dari bibirnya. Kavin yang mendengar candaan kecil itu hanya bisa tertawa. Terdengar jarang namun candu untuk di dengar.

"Jangan bercanda. Kita sama-sama seorang pria." Ujar Kavin. Tawa Raven kembali terdengar. Kavin menoleh seakan ia benar-benar bisa melihat wajah Raven yang tertawa.

"Memangnya kenapa kalo pria. Cinta tidak salah cuma dunia yang punya norma." Tertegun itulah yang Kavin rasakan saat ini. Ia tahu jika Raven hanyalah seorang remaja labil tapi paham akan hal beginian.

The Eyes | KARAVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang