siapa pemilik wajah cantik itu?

2 0 0
                                    

Kemudian, kidung itu terdengar lagi, Widya berbalik mengamati suaranya dari luar bilik, tempat nur berdiri seorang diri. Apakah NUr yang sedang berkidung?

Pertanyaan itu menancap keras di kepala Widya . Usai sudah acara mandi di sore itu, di perjalanan pulang, Widya mencuri pandang pada nur, matanya mengawasi, seakan tidak percaya, kemudian ia bertanya.

" Nur, awakmu isok kidung Jawa ya( nur, kamu bisa bersenandung lagu Jawa ya)"?

Nur mengamati Widya, kemudian ia diam.

Nur pegi tanpa menjawab sepatah kata pun dari pertanyaan Widya.
Ia seperti membawa rahasia sendiri, tanpa mau membagi rahasia itu.

Listrik di desa ini menggunakan tenaga genset, jadi ketika jam menunjukkan pukul 9 lampu sudah mati, di ganti dengan petromak.
Nur sudah pergi tidur, hanya tinggal Widya dan ayu yg masih menyelesaikan progres untuk proker esok hari.

Widya masih teringat kejadian sore tadi.

Sebenarnya Widya mau cerita, namun melihat respon ayu kemarin, sepertinya ia bakal dk semprot dan berujung pada pidato tengah malam.

Di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik." Mau aku ambek Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek tapak talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar.( Tadi aku sama Bima, ngecek progres untuk pembuangan, ketika memutari desa, ingat tidak dengan tapak tilas, ternyata GK jauh dari sana, ada sebuah bangunan tua menyerupai sanggar)

Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat ayu

Loh bukannya sudah mengerti di larang berada disana!

" Bukan aku" bela ayu, yang ngajak Bima, katanya ada perempuan cantik pas di ikuti ternyata gak ada. Lah terus kamu tetap kesana?

Anak ini, kan saya mengejar Bima, apa di biarkan saja anak itu nanti hilang?

Perdebatan mereka berhenti sampai di sana, namun perasaan Widya semakin tidak enak. Sejak menginjak desa ini, semuanya terasa seperti kacau balau.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangkan nur melangkah keluar. Ragu, apakah mau membangun kan ayu, Widya pun beranjak dari tempat tidur, berjalan mengejar nur.

Rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamarnya, di depan Widya pintu rumah sudah terbuka lebar, dengan perlahan Widya melangkah ke sana.

Malam itu sangat gelap, lebih gelap dari perkiraan Widya. Bayangan pohon tampak lebih besar dari biasanya dan sayup terdengar suara bintang malam, sangat sunyi, sangat sepi, di lihatnya kesana kemari mencari di mana keberadaan nur, Widya terpaku melihat nur, di depannya.

Nur berdiri di tanah lapang di depan rumah, dia menari dengan sangat anggun tanpa alas kaki, nur berlenggak lenggok kayaknya penari profesional.

Nur panggil Widya, tapi sosok nur seperti tidak mendengar kan nya, ia masih berlenggak lenggok, sorot matanya beberapa kali melirik Widya, ngeri tiba tiba buku kuduk teras berdiri ketika memandang nya.

Dari jauh sayup- sayup kendang terdengar lagi Widya semakin dibuat takut, tabuhan gamelan sahut menyaut, campur aduk dengan tarian nur yg seperti mengikuti alunan itu.

Kaki terasa ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman, ganjil di bibirnya. Sampai akhirnya Widya memaksa nur menghentikan tariannya. Ia berteriak meminta temannya agar berhenti bersikap aneh. Dan saat itu lah wajah nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan.

Sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya menjerit sejadi jadinya. Kali berikutnya, seorang memegang Widya kuat sekali. Menggoyangkanya sembari memanggil namanya Wahyu.

Widya melihat Wahyu menatap nya dengan bingung plus takut.

Malam malam ngapain Anji*g nari sendirian di sini seorang diri!!

Jeritan Widya rupanya membangun kan semua orang, termasuk si pemilik rumah. Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali nur yg rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.

Ada apa sih nak kalimat itulah yang pertama kali Widya dengar. Si pemilik rumah tampaknya khawatir, namun Widya lebih tertuju kepada nur, ia juga memandang dirinya, mereka sama sama termangu memandang satu sama lain.

Wahyu menceritakan semuanya, awalnya ia ingin mengisap rokok sembari duduk di teras posyandu, kemudia ia tidak sengaja melihat seseorang, sendirian menari nari di tanah lapang, karena penasaran, Wahyu mendekat sampai Wahyu baru sadar bila yang menari itu adalah Widya.

Semua yang mendengar cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar, tidak ada yang berkomentar, si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah lagi karena hari semakin larut.

Si pemilik rumah akan berjanji menceritakan ini ke pak prabu. Namun ada satu hal yang dengan Wahyu tidak ceritakan, nanti ia akan menjelaskan semuanya.

Namu malam itu benar benar malam malam yang gila, seolah olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN  mereka ke dalam situasi yang paling serius.

Semua orng sudah berkumpul, memenuhi panggilan pak prabu. Beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian. Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan bahwa dia sedang mengejar nur yang pergi keluar rumah, namun nur mengatakan is hanya pegi ke dapur untuk mencari air minum.

Semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali, namun tampak dari raut muka pak prabu, ia lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari bila latar belakang nya saja bahwa ia mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya.

Hari itu pak prabu meminta Widya, ayu dan Wahyu menemani nya. Nur pergi, ia masih harus mengerjakan proker individualnya.

Dengan berbekal motor bututyang Tampo hari di gunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini di gunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.

Wahyu dengan Widya, pak prabu berboncengan dengan ayu. Jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tampo hari, anehnya kali ini Widya merasakan sendiri, untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 1 jam, malah tidak sampai 30 menit, lalu bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada malam ketika orang-orang desa menjemput.

Rumah yang pak prabu datangi, rupanya rumah seseorang.

Melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan, rumahnys bagus malah bisa di bilang paling bagus di bandingkan rumah orang orang desa,hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain.

Berpagar batu bata merah, dengan banyak bambu kuning, rumah itu terlihat sangat tua, namun masih enak di pandang mata.

Di depan rumah,ada orang tau kakek -kakek, sepuh berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yg berkunjung. Tidak ada yang tahu nama kakek itu, namun pak prabu memanggil ny mbah buyut. Setelah pak prabu selesai menceritakan semuanya, wajah Mbah buyut tampak Baisa saja, tidak tertarik sama sekali dengan cerita pak prabu yang padahal membuat semua anak- anak masih tidak habis pikir.

Sesekali memang Mbah buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang namun ya begitu, hanya sekedar mencuri pandang saja tidak lebih.

Monggo kata beliau, mata nya memandang Widya.

Melihat itu, Widya menolak mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi,namun senyuman ganjil Mbah buyut membuat Widya sungkan, yg akhirnya berbuntut ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.

Kopi nya manis, ada aroma melati di dalamnya, yang awalnya Widya hanya mencoba tanpa sadar, gelas kopi itu sudah kosong.

Tidak hanya Widya, semua orng di tegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya tidak baik menolak pemberian tuan rumah. Semuanya akhirnya mencoba.

Berikutnya, Wahyu dan ayu kaget setengah mati, sampai harus menyemburkan kopi yang ia teguk, mimik wajahnya bingung, karena rasa kopinya tidak hanya pahit, tapi sangat pahit , sampai tidak bisa di tolerin masuk ketenggorokan.

Anehnya pak prabu meneguk kopi itu biasa saja " begini" Mbah buyut , beliau menggunakan bahasa Jawa halus sekali, sampai ucapan tidak bisa di pahami semua anak. Ada kalimat penari dan penunggu, namun yang lisnya tidak dapat di cerna.

KKN DI DESA PENARI ( versi Widya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang