keesokan harinya

1 0 0
                                    

Keesokan harinya rombongan sudah berkumpul, sesuai janji pak prabu, hari ini akan keliling desa, melihat semua proker yg sudah di ajukan oleh ayu Tampo hati,  sekaligus meminta saran untuk proker individu yang harus di kerjakan oleh satu anak sendiri-sendiri.

Ngene Iki walaupun saya tinggal Nang kene aku Yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi, kata pak prabu.

Mendengar itu, Wahyu menimpali " Iku Lo, rungokno bapak'e walaupun wong deso gak lali kuliah ( itu loh, dengarkan bapak nya walaupun orang desa tidak lupa kuliah)

Wahyu melanjutkan" bapak'e ambil apa dulu? Perhutanan ya?"

" Bukan" kata beliau santai" pertanian."

" Lah Ra onok sawah Nang kene, piye toh pak( lah di sini gak ada sawah, gimana sih pak)?"

" Ya memangnya sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah?"

Jawaban pak prabu sontak membuat tawa pecah. Widya melirik nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.

Sampailah, mereka di pemberhentian pertama. Sebuah pemakaman desa. Aneh, itu yg pertama kali di pikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang, di setiap nisan, di tutupi oleh kain hitam. Pemakaman sendiri, di kelilingi pohon beringin dan setiap pohon beringin ada batu besar di sampingnya. Di sana ada lengkap, sesajen di depan nya.

Nur yg tadi ikut ketawa, tiba-tiba menjadi diam. Ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. Pagi itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya.

" Ngepunten pak, Niki nopo nggih kok...( Mohon maaf pak, ini kenapa ya kok...)."

Belum selesai Widya bicara pak prabu memotong nya. " Saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok Patek ( nisan) nya di, tutupi pakai kain gitu to?"

Widya mengangguk. Rombongan menatap serius pak prabu, terkecuali wahyu dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil.

" Ini itu namanya sangkarso , kepercayaan orang sini."

" Jadi biar tahu, kalau ini toh pemakaman," terang pak prabu, yang jawabnya sama sekali tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun pelan sengaja menyindir. Namun pak prabu mendengar nya.

" Wong pekok Yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak ( orang bodoh juga bisa membedakan mana kuburan dan lapangan bola pak)."

Pak prabu yang awalnya tersenyum penuh candaan, tiba-tiba diam raut wajah ny berbuah dan tak tertebak.

" Semoga saja, kalian tahu yang di omongkan ya."

Kalimat pak prabu seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan, sontak, Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah mendengar respon pak prabu.

" Monggo pak, bisa lanjut ketempat selanjutnya."

Tempat berikutnya adalah sinden ( kolam tempat air keluar dari tanah). Pak prabu mengatakan bahwa sinden ini bisa di jadikan proker paling menjanjikan.

Tidak jauh dari sana ada sungai. Inginnya pak prabu, sinden dan sungai bisa di hubungkan jadi, semacam jalan air.

Tanpa terasa hari sudah siang, ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling di utamakan sampai yg paling akhir di kerjakan.

Namun, tetap saja, selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan. Keganjilan yang paling mencolok adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali kali ia melihat banyak sesajen yang di letakkan di atas Tempeh, lengkap dengan bunga dan makanan yang di letakkan di sana, di tambah bau kemenyan, membuat Widya tidak tenang.

Setiap kali mau bertanya, hati kecil nya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus.

Nur, setelah dari sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badannya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarnya. Jadi observasi hanya di lakukan oleh 4 orang saja.

Kemudian, sampailah mereka di titik paling menakutkan.

"Tipak tilas." Kalau kata pak prabu, sebuah batas di mana rombongan anak -anak di larang keras melintasi sebuah setapak jalan yang di buat serampangan, dikiri kanan, ada kain merah lengkap di ikat oleh janur kuning layaknya pernikahan.

" Kenapa tidak boleh pak?" Tanya ayu penasaran.

Pak prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun ia enggan mengatakannya.

"Iku ngunu alas D***** , gak onok Opo -opo ne, wedine, nek sampeyan Niki nekat kalau, hilang lalu terserat bagaimana ( itu adalah hutan belantara, gak ada apa apanya, hanya mempertimbangkan, takut nya kalau kalian kesana hilang tersesat lalu bagaimana)?"

Sekali lagi jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. Namun perasaan merinding melihat jalanan setapak itu nyata.

Observasi berakhir ketika pak prabu mengantar rombongan kembali ke rumah beliau.

Ketika kembali, Wahyu dan Anton bertanya di mana kamar mandi, ia tidak menemukan tempat itu di tempat mereka menginap, rupanya, setiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punya kamar mandi.

Alasan nya kenapa tidak ada satupun rumah yang memiliki kamar mandi adalah karena sulitnya akses air.

Tapi pak prabu menjelaskan, di bagian selatan sinden, samping sungai ada sebuah bilik dengan kendi besar di dalamnya, di sana bisa di gunakan untuk mandi.

Tidak berhenti di situ, pak prabu mengatakan bahwa mulai hari ini , kendi di dalam bilik akan di usahakan akan terisi penuh , terutama untuk mandi anak anak perempuan.

Untuk laki laki bisa mengisi air di kendi, dengan cara menghimba air dari sungai.

Semua anak tampak paham, meski muka Wahyu dan Anton tampak keberatan, namun mereka tidak dapat. Melakukan apa apa.

KKN DI DESA PENARI ( versi Widya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang