Part 10.

21.6K 2.9K 350
                                    

Penampilan Will benar-benar acak-acakan. Kantung mata hitamnya bertambah, Will seolah tak terurus.

Will menatap Ruby yang tengah tertidur. Wajah lelah Ruby terlihat dari wajah anak itu. Mereka sama-sama terjaga untuk waktu yang lama.

Will dan Ruby menunggu Alpin untuk bangun. Tetapi tak ada tanda-tanda anak itu akan membuka matanya.

Will mengambil tangan Alpin yang tak terinfus, wajahnya begitu sendu. Ini sudah beberapa hari berlalu, tetapi tak ada saudara Alpin yang mencari atau bahkan menjenguknya.

Ingin sekali Will memberitahu mereka jika adiknya kini tengah berjuang, tetapi entah kenapa, dia tak ingin mereka tahu. Untuk alasan apa pun dia juga tak mengerti, hatinya seolah berkata seperti itu.

Rumah sakit ini adalah miliknya, dan seharusnya mereka tau tempat ini.

Pintu rawat terbuka, Will menoleh untuk melihat, dia harus menghela nafas ketika yang datang bukanlah yang ia inginkan.

"Helaan nafasmu terdengar daddy," ujar orang itu.

Orang itu mendekati Will dan Alpin, dia memandang wajah Alpin yang seolah seperti mayat hidup, menoleh lagi pada sang daddy yang penampilannya jauh dari kata Rapi.

"Daddy, I think you should clean up your body," ujar anak itu.

Will tak menjawab, "Ayolah dad, daddy tak bisa menjaga Arsen jika tubuh daddy kotor. Lihat dad bau, daddy mau nnti jika Arsen bangun yang dia lihat adalah wajah jelek daddy?" gerutu anak itu ketika sang daddy hanya diam.

"Daddy juga harus makan, wajah yang sering dad banggakan di hadapanku itu sekarang begitu jelek dan tak enak di pandang."

"Mommy sudah menyiapkan semuanya, dad pulanglah. Aku akan menggantikan daddy untuk menjaganya," ujar orang itu panjang lebar.

Will mencebik, "Apa penampilan dad begitu buruk?"

"Sangat."

Will terkekeh, dia pun berdiri, "Baiklah daddy akan pulang."

"Farrel, daddy titip Arsen."

"Hubungi dad, jika sesuatu terjadi," ujar Will. Farrel mengangguk dan duduk di tempat dimana Will duduk tadi, sedangkan Will sudah pergi.

"Lo orang kuat yang pernah gw temui, jadi seharusnya lo bisa lewati ini Arsen," gumam Farrel.

Farrel membalikkan badannya dan melihat Ruby yang tidur, dia tersenyum. "Lihat, lo punya seseorang di sisi lo yang benar-benar peduli sama lo."

"Seindah apapun mimpi lo, jangan terbuai dengan hal itu. Lo harus kembali kesini, ke tempat dimana seharusnya lo berada." Farrel mengelus punggung tangan Alpin.

Selain Will, Farrel lah yang menjadi saksi bisu perjuangan Arsen. Tetapi ia tak pernah memberitahu Twins karena ia ingin mereka sadar apa yang mereka lakukan.

Farrel tak pernah berhenti mengatakan pada mereka untuk berubah agar tak ada penyesalan pada akhirnya. Tetapi ketidak pedulian mereka, membuat Farrel semakin tak ingin memberitahu.

Farrel bertindak seolah dia tak mengenal Arsen, dia bertindak seolah ia tak tau apa-apa. Nyatanya, dia tau segalanya.

Saat ini yang Farrel inginkan adalah hari penyesalan bagi sauadara Arsen. Katakan dia jahat, tetapi itu tak sebanding dengan rasa sakit yang Arsen alami selama ini.

***

"Gimana bisa demam si?" Vero mengelap keringat yang keluar dari dahi Helga.

"Ini karena tadi malam Farrel merecokinya dengan banyak Es krim," keluh Rizal.

"Mana panas banget lagi, kita ga bisa bawa pulang dia kerumahnya," ujar Vero.

Rizal mengangguk meng iyakan, semua teman-temannya sudah pulang, tetapi dia membiarkan Helga menginap karena anak itu tertidur lebihh dahulu.

Pagi-pagi sekali dia menghubungi Vero karena keadaan Helga yang demam tinggi.

"Kita bawa kerumah sakit gimana?" usul Rizal.

Vero pun segera mengangguk, dia mengangkat tubuh Helga keluar. Sedangkan Rizal menyiapkan baju ganti yang cocok untuk Helga, karena baju anak itu basah.

Sesampainya mereka di rumah sakit milik Will. Vero segera memanggil perawat disana.

"Lo temenin Helga ke ruangan nya, gw mau nemuin om Will," ucap Vero yang di angguki Rizal.

Vero berjalan ke ruangan dimana Will berada. Tetapi tak sengaja dia berpapasan dengan Farrel, "Rel, lo ngapain disini?"

Farrel menghentikan langkahnya, dia agak terkejut lihat keberadaan Vero di rumah sakit. Sejenak dia merasa senang, apakah Vero datang untuk adiknya?

"Oh itu, ga ada sih. Cuma pengen kesini aja," jawabnya.

"Dih ga jelas lo."

"Hmm, lo sendiri..ngapain di sini Ver?" tanya Farrel penuh harap.

"Gw disini..."

Belum sempat menjawab, perkataan Vero harus terhenti karena Rizal memanggil, "Ver elah, lama kali lo. Kasian Helga," ujar Rizal.

Farrel mengangkat alisnya, "Helga?"

"Iya, Helga demam. Jadi kita bawa kesini. Gegara lo si recoki dia es krim semalaman," kesal Rizal.

"Jadi kalian kesini karena Helga?" mengabaikan kekesalan Rizal, Farrel bertanya.

"Iyalah, memang apalagi?"

Haruskah Farrel merasa kecewa?

"Lo kesini benar-benar karena Helga, ga ada maksud lain?" Farrel benar-benar memastikan.

Vero mengangkat alisnya, "Hal lain apa?"

"Tau nih si Farrel ga jelas. Mending lo kasih tau sama om Will sana, kasian Helga dari tadi tubuhnya bergetar. Badannya panas, tapi dia menggigil," sungut Rizal. Dia tak mengerti dengan Farrel yang aneh menurutnya.

"Ah, seharusnya dia datang sebentar lagi," tukas Farrel. "Nah itu dia," lanjutnya ketika melihat daddy-nya datang.

Will melangkah mendekat, "Ada apa?" Sama seperti Farrel, Will sedikit terkejut dengan kedatangan Vero.

"Dad, Helga demam. Vero mencarimu untuk memeriksa anak itu," ucap Farrel seakan menjawab dugaan Will.

Will tersenyum kaku, "Mari tuan muda."

"Ayo om cepat!" seru Rizal. Dia menyeret  Will dengan cepat.

Sedangkan Vero menatap Farrel penuh selidik, "Rel lo ga lagi nyembunyiin sesuatu kan?"

"Ga ada yang gw sembunyiin dari lo. Lebih baik lo temenin Helga, kasian dia.  takut penyakitnya makin parah," kata Farrel sebelum dia pergi dari hadapan Vero.

Vero menatap kepergian Farrel intens, dia tau di balik ucapan Farrel, temannya itu seolah tengah menyindirnya.

"Dia kenapa sih?"






Tbc...




Jadi antagonis? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang