Part 5.

20.5K 2.7K 245
                                    

"Ck, harus yah aku pulang?" tanya Alpin berat hati.

Rasanya Ruby ingin membuang anak itu kelaut. Pasalnya. Sejak tadi Alpin uring-uringan dalam mobil. Bocah itu tak ingin pulang dari rumah sakit.

Bahkan William harus turun tangan ketika bocah itu keras kepala. Alpin berkata jika dia ingin tinggal di rumah sakit saja, bocah itu tak ingin pulang.

"Ar, disana tempat orang sakit. Dan kamu itu sudah sembuh."  Ruby mencoba sabar berada di samping bocah tengik ini.

"Rela aku yang sakit terus, kalau susternya spek bidadari." Alpin patah hati ketika dia di suruh pulang. Padahal dia sangat betah berada di rumah sakit.

Bagaimana bisa dia tidak betah jika Susternya cantiknya kelewatan. Mana smua body goals, makan di suapi, kalo seperti itu siapa coba yang mau pulang?

"Jadi kamu milih terbaring di rumah sakit karena penyakit kamu itu?"

"Kenapa tidak, bisa di manja oleh suster yang memiliki bod-

Ctak

"Bodoh!"

Alpin memalingkan muka. Padahal dia sudah enak-enak di rawat oleh perawat rumah sakit. Eh malah di suruh pulang.

Muka Alpin makin di tekuk ketika mobil yang ia tumpangi memasuki kawasan mansion. Apalagi banyaknya motor yang terparkir Alpin jadi sangat malas untuk masuk kedalam.

Tetapi Ruby menarik tangannya untuk masuk. Di dalam saja terdengar gelak tawa. Sepertinya semua teman abang nya itu ada didalam.

Melihat Alpin yang datang bersama Ruby, Vero beeceletuk, "Oh lo ngapain nyeret dia Ruby? Dia udah nyerah jadi gelandangan?"

"Bang jangan gitu," tegur Helga lembut.

"Biarin aja dek, dia itu nyusahin. Semalaman dia ga pulang. Siapa tau bukan dia lagi belajar jadi gelandangan," hina Vero.

Helga terkekeh pelan, "Tapi abang ga boleh ngomong seperti itu, Arsen masih adik abang."

"Cih, gasudi. Kenapa bukan kamu aja sih yang jadi adek abang," kata Vero. Helga tak menjawab, dia tersenyum ketika Vero mencubit pipinya.

"Udahlah, bener kata si Vero. Dasarnya dia kan ga bisa apa-apa tanpa saudaranya. Tiap hari juga kerjaannya jadi penganggu yang menyusahkan," imbuh Rizal.

Alpin? Bocah itu mengangkat bahu acuh. Dia menyuruh Ruby tenang saat melihat pemuda itu terbawa emosi. Dia juga menyuruh Ruby untuk segera pulang karena dia ingin istirahat.

Setelah memastikan Ruby pergi, Alpin melewati mereka semua. Ia tak menggubris hinaan yang di layangkan oleh Rizal dan Vero.

Prang!

"Sudah bicaranya?" 

Rizal terkejut bukan main ketika Yolanda datang dan memecahkan sebuah gelas dengan tangan kosong.

"Kak, apa-apaan sih."

Yolanda memandang tajam adiknya, "Katakan pada temanmu untuk tak sembarangan dalam bercakap."

"Memang kenapa? Apa yang di katakan Rizal kan juga ada benarnya," hardik Vero tak terima.

Yolanda semakin mencengkram pecahan beling di tangannya, darah merembes sangat banyak, "Vero, kau ingin kakak marah?"

Varo langsung menengahi, "Roy, maaf. Bisakah kalian pergi? Maksudnya aku tidak mengusir kalian tapi.."

"Aku mengerti," jawab Roy. Dia menepuk pundak Varo dan pergi dari sana. Tak lupa dia mengajak semua teman-temannya.

"Lebih baik, kakak bersihkan tangan kakak lebih dahulu," ujar Varo. Yolanda tak menyahut, tetapi di melangkah pergi.

Namun langkahnya terhenti saat, "Apa kakak seperti ini karena dia?" terka Vero.

"Kakak mulai menaruh perhatian sama anak yang membuat orang tua kita meninggal?"

Yolanda berbalik mendekati Vero, dia mencengkram kuat dagu adik nya itu, "Kesabaran kakak tidak sebanyak apa yang kamu bayangkan Vero."

Bukannya takut Vero malah terkekeh, "Oh apa anak itu mulai di terima disini?"

Yolanda berdesis, dia mendongak menormalkan amarahnya. Melepaskan cengkraman nya lalu melenggang pergi. Dia tak mau di penuhi oleh amarah.

"Vero, jangan membuat kak Yola marah," tegur Varo. Kembaran Vero itu meninggalkan Vero yang menahan kesalnya.


***

Lain diluar, lain di kamar Alpin. Pemuda itu saat ini tengah menangis tersedu. Dia merindukan tubuh nya yang dulu, merindukan kehidupannya yang sebelumnya.

Rasa sangat sakit, perasaannya sesak, rasanya dia tal terima semua ini terjadi padanya ketika,  "Mak, tytyd Al menyublim."

Alpin menangis karena ia merasa kurang jantan. Bagaimana bisa burung puyuh yang berada disana, bukannya burung elang yang gagah dan kuat.

"Hikss..pengen pulang. Apa kata jodohku nanti."

"Mungiel dan tak bertenaga, apa aku harus ke tukang urut? Masa ia nanti harus minum obat kuat," cerocos Alpin.

Dia tidak terima. Ini adalah aset masa depan miliknya. Kenapa itu begitu mungil. Harus dia apakan agar 'itunya' agar glow up.

"Mana dulu aku belum pernah pacaran lagi. Belum ngerasain itu an, padahal milikku sebelumnya sangat gagah."

"Sekarang?...hikss..huhuhuuhu."

Alpin terisak pelan, dia bersedih karena ukuran 'miliknya' yang tak seberapa.

Pemuda itu sama sekali belum memikirkan kelanjutan alurnya. Dia lebih memikirkan aset masa depannya.

Vero yang melewati kamar Alpin pun terhenti ketika dia mendengar suara tangis. Pintu kamar Alpin sedikit terbuka, jadinya Vero bisa melihat dan mendengar.

Tangan Vero terkepal kuat hingga kukunya memutihkan, giginya bergemelatuk, "Dasar pencari perhatian!"

Vero pun melenggang pergi. Wajahnya tak biasa, perasaannya bimbang. Bukannya ia tak menyayangi Arsen, tetapi dia tetap mengikuti egonya.

"Ingat Vero, karena dia ayah dan ibu mati," gumamnya.













Tbc....



Jadi antagonis? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang