Part 2.

24.2K 2.9K 246
                                    


Alpin memegang dadanya, pemuda itu meraba bahkan mengintip sedikit. Siapa tau memang akan tumbuh dua gunung kembar, tidak ada yang tau bukan.

Alpin meringis, dia mencengkram kaos yang dia pakai. Jantungnya berdecak lebih kencang. Apakah dia tengah di landa jatuh cinta? Tapi pada siapa? Jangan-jangan tanpa sadar jantungnya menotice hantu cantik yang ada di kamar ini? Tidak mungkin kan?

Pemuda itu meraup udara dengan rakus. Alpin mulai sesak, "ini keknya aku kesurupan hantu lagi kasmaran deh. Kok sesek gini," Batin Alpin dalam hati.

"Eh tapi kalo sesek kan, biasanya kita ati? " Gerutu Alpin masih dalam hati. Rasanya dia tak kuat untuk bica-

Brak!!

"ASTAGFIRULLAH YA AHLI KUBUR!!" kaget Alpin. Jantungnya terasa ingin berlari dari tempatnya.

Adeline yang awalnya ingin menegur adiknya seketika heran. Muncul keringat sebiji jagung di dahinya. Sedangkan Roger di belakang Adeline harus menahan tawanya.

"M-mbak -k-kalo buka p-pintu ya u-capp salam toh," ujar Alpin terbata-bata. "J-jantu-ng ku lagi b-baperan nih." Alpin menunjuk dada kirinya.

Alpin mengusap-ngusap dadanya. Jantungnya terus terasa di himpit, bahkan dia kesulitan bernafas. Dia menjulurkan tangannya ingin meminta tolong pada Adeline, namun belum sempat dia bergerak, tubuhnya sudah melemah dan tak sadarkan diri.

Roger dengan sigap mengangkat tubuh Arsen yang sudah menjadi tubuh Alpin ke ranjang. Setelahnya Adeline duduk di samping Alpin. Roger tentu saja menghubungi dokter kepercayaan keluarga Atmadja.

Adeline memegang tangan sang adik. Wajahnya memang terlihat biasa, tetapi tidak bisa di pungkiri bahwa dia sangat khawatir. Ini pertama kalinya dirinya melihat sang adik yang kesusahan untuk bernafas.

30 menit kemudian dokter datang dan langsung memeriksa Alpin.

"Apa Tuan muda melakukan aktivitas berat?" tanya sang dokter. Dia menatap Adeline yang sepertinya sedang berfikir.

"Sepertinya tidak."

William sebagai dokter mengangguk, "Kali ini saya tidak memberikan obat. Karena saya yakin obat Tuan muda Arsen masih ada," ujarnya sembari membereskan alat-alatnya.

"Tolong beritahu pada tuan muda agar teratur meminum obat. Gejalanya kali ini karena setres berlebihan dan sedikit beraktivitas berat."

Adeline menyatukan alisnya, "Obat apa yang kamu maksud? Memang dia pernah sakit dan berobat padamu?"

"Nona, Tuan muda memiliki Asma akut akibat kelainan jantung yang dia miliki. Dia rutin 1 minggu sekali ke Rumah sakit ku untuk kontrol," ungkap dokter Will.

"Asma? Sejak kapan?!" wanita 30 tahun itu terkejut bukan main. Sejak kapan adiknya memiliki penyakit itu. Kenapa dia tidak tau.

"Arsen, maafkan om. Tapi kakakmu perlu tau."

"Sejak lahir Nona."

Bagai di sambar petir tengah bolong, Adeline memegang erat tangan adiknya. "Kenapa dia tidak memberitahu ku?" gumamnya. William menggeleng, dia tidak bisa memberitahu lebih dalam. Biarkan sang empu yang memberitahu sendiri nantinya.

"Saya pamit dulu Nona. Jika nanti sesak nya masih ada, anda bisa menghubungi saya lagi. Untuk saat ini, cukup meminum obat yang sudah saya beri. Permisi." William pun pergi.

Adeline tidak menyahut, dia memandangi wajah pucat adiknya. Mengelus lembut pipi itu, "Apa aku telah gagal."

Bagaimana dia bisa tidak tahu tentang penyakit ini. Apalagi sang adik mengidap penyakit asma sejak lahir. Apakah orang tuanya tau atau sebaliknya. Atau mungkin kedua orang tuanya sengaja menyembunyikan fakta ini dari saudaranya yang lain?


***


Alpin sebenarnya sudah sadar, tetapi dia pura-pura tidur. Mata satunya sedikit mengintip seorang wanita cantik yang dia yakinin adalah Adeline kakak pertama Arsen. Tidak salah lagi!

Adeline terlihat cantik dan anggun secara bersamaan. Meski hanya memakai baju rumahan, tetapi tidak bisa menyembunyikan kecantikan yang terpancar dari seorang Adeline.

Haruskah Alpin bersyukur menciptakan karakter seperti Adeline.

Sungguh sempurna.

"Ya Tuhan, betapa sexy makhluk ciptaanmu. Lihatlah boing-boing yang menonjol itu." Alpin menatap dua tonjolan tonjolan yang ada di dada Adeline.

"Eh tapikan ini ceritaku. Aku yang buat dong?"

Sontak Alpin bangun, dia meraba-raba dadanya. Kemudian menghela nafas lega, ternyata tidak ada yang tumbuh disana.

Adeline yang melihat adiknya bangun, segera menaruh laptop yang dia pakai dan menghampiri ranjang Alpin.

Wajahnya begitu datar, tetapi didalam dia sangat khawatir, "Minum obatmu jangan menyusahkan orang lain." Adeline pergi setelah mengatakan hal itu.

Nyut.

Alpin memegang dadanya, rasa sesak seolah memenuhi perasaannya. Sejenak Alpin lupa, bahwa dia memasuki tubuh seorang antagonis yang di benci keluarganya.

Alpin tak menjawab, dia hanya menidurkan kembali tubuhnya dan memiringkan badannya. Menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya.

Sedangkan Adeline berdiri di depan pintu kamar Alpin. Bukan, bukan ucapan itu yang ingin dia katakan pada adiknya.

Tetapi bibirnya seolah kelu dan hanya bisa mengeluarkan kata itu.

"Sekate-kate tuh mbak cantik. Untung cantik, kalo enggak udah ku cakar tuh muka sok iye," gerutu Alpin.

"Eh tapi, kok dadaku kek tadi yah? Ada yang salah sama tubuh ini?" Alpin kembali meraba dadanya.

"Ya gusti, udah kek orang mesum aku grepe-grepe badan ni bocah," paparnya.



***


Alpin melangkah dengan pelan, takut-takut ada orang yang mendengar langkahnya. Dia memutuskan berangkat sekolah sendiri. Tak akan ada Arsen yang mengemis kepada abangnya untuk berangkat bersama.

Dia sudah siap, padahal masih jam 4:00. Tetapi pemuda itu sudah mau berangkat.

Alpin sudah sampai di depan mansion. "Gusti, ini rumah apa labirin sih. Keluar rumah aja kek nungguin balasan chat dia, lama!" bocah itu menghentak-hentakkan kakinya.

Dia berjalan mendekati pos yang berada di dekat gerbang, "Pak oi pak!" teriak Alpin memanggil pengawal yang terangguk-angguk ketiduran.

Sang pengawal pun langsung bangun ketika Alpin memanggil dengan nada yang tinggi, "Eh iya tuan muda."

"Bukain ini pagar, aku mau berangkat sekolah," ujar Alpin.

"Eh tapi tuan muda, emang ada yah sekolahan yang buka jam segini?" tukas Rudi, pengawal tersebut.

"Udah jangan banyak tanya, bukain aja dulu."

Pak Rudi pun membuka pagar, belum sempat dia bertanya lebih lanjut. Alpin sudah ngacir duluan. Pak Rudi merasa ada yang aneh dengan tuan mudanya itu.

Tak biasanya. "Apa tuan muda sedang kesurupan setan rajin yah? Hiiii!"















Tbc...


Jadi antagonis? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang