Selain bersifat riang, Enid banyak bicara. Setelah mereka saling kenal, gadis itu kerap membicarakan tentang apapun walau hal itu termasuk pribadi. Wednesday hanya memasang telinga—meski sering kali tidak. Beruntung sekali Enid tidak mempermasalahkan hal tersebut. Wednesday yakin kalau ia tidak paham dengan topik pembicaraanya pun Enid tidak akan merasa tersinggung. Terdengar menyedihkan, bukan? Namun, meski begitu, Wednesday tidak menyangka berteman dengan Enid ada manfaatnya—semisal ia tidak perlu mengorek-ngorek informasi tentang Nevermore secara susah payah. Gadis itu penggosip handal. Bayangkan saja, Wednesday baru tiba, tetapi sudah tahu nama sebagian para penghuni kamp Nevermore—yang berarti kemampuan Enid sangat dibutuhkan untuk rencananya melarikan diri. Seperti pepatah bilang, learn to walk before you run. Jika kau ingin mengerjakan sesuatu, kau perlu mengetahui dasar-dasarnya terlebih dahulu—dan itu akan menjadi langkah awal dalam rencananya.
"Ketimbang membicarakannya, mengapa kau tidak menunjukkan langsung padaku?" Untuk kali pertama, Wednesday buka suara, cukup membuat gadis itu terkejut.
Mendengar itu, kedua mata Enid seketika berbinar senang. "Seperti tur? Tentu saja, ayo!" pekiknya.
Wednesday dan Enid segera keluar dari kabin—dan secepat itu Enid berubah menjadi seorang tour guide. Selama perjalanan Enid menjelaskan sejarah Nevermore dengan penuh antusias. Di sisi, Wednesday kembali berlagak pura-pura menyimak, padahal sedari tadi pandangannya memustakan ke segala penjuru kawasan kamp, mencari jalur celah.
Kebetulan jam makan siang telah tiba, Enid mengusul untuk mampir ke kantin terlebih dahulu. Kabin itu berdiri cukup besar dan luas dari kabin penginapan. Ketika masuk mereka disambut dengan sekumpulan remaja yang sedang asyik menikmati hidangan. Sebagian meja telah terisi, Enid menyuruhnya untuk bergegas mengambil jatah makan agar mendapat meja. Menu siang ini ialah fish sticks, mac & cheese, dan sebuah apel. Wednesday merengut jijik. Bahkan orang buangan pun masih mengonsumsi sampah seperti ini, pikirnya.
"Mengapa kau tidak memakannya?" tanya Enid heran selagi mengunyah begitu menyadari jatah makan siang Wednesday sama sekali tidak tersentuh.
"Hanya orang pemalas dan pengidap depresi yang mampu mengonsumsi junk food setiap hari," cibir Wednesday.
Enid tersedak kikuk. Kedua pipinya tersipu malu. Fish sticks yang ia comot tadi kembali ditaruh pada nampan. "Tapi, ini enak..." gumamnya getir. Bibirnya melengkung manyun.
Melihat itu, Wednesday merasa agak tidak enak dengan ucapan pedasnya. Ia baru ingat mereka baru berkenalan, tentu saja Enid akan tersinggung—tidak seperti keluarganya yang akan membalas dengan tersenyum atau tertawa maklum pada lelucon khasnya sebab mereka sudah terbiasa.
"Apa ini?" tanya Enid penuh keheranan ketika Wednesday menyerahkan nampan berisi makan siang miliknya.
"Kau boleh habiskan itu," ujar Wednesday datar.
"A-apa? Sungguh?" Enid tersenyum sumringah, tampak terharu. Wednesday menatap gadis itu aneh. Norak. Itu 'kan hanya makanan, pikirnya. "Oh, Wednesday. Kau tidak tahu betapa berharganya ini bagiku!" serunya kegirangan. Wednesday bisa merasakan hampir semua penghuni kantin memandang mereka berdua—atau lebih tepatnya Enid dengan heran campur aneh. Namun, Enid seakan tak peduli atau gadis itu terlalu bodoh untuk menyadari hal tersebut. Bagaikan tersengat sesuatu, sekon kemudian, jiwa riang Enid lenyap seketika tergantikan air muka khawatir, lalu berkata, "Jika aku menghabiskan semua ini, lalu kau makan apa?"
"Ibuku mengantongiku bekal. Lagipula, menu makan siang ini tidak menggugah selera sedikit pun," jawabnya enteng. Lagipun, saat ini Wednesday tidak terlalu merasa lapar.
Namun, Enid itu pembangkang, keras kepala, tidak mau mendengar. Enid tetap kukuh memberikannya buah apel meski raut muka Wednesday terkesan enggan, beralasan tidak ingin mubazir makanan. Wednesday terpaksa menerima buah itu. Lebih kurang ajar lagi, Enid mendesaknya untuk segera menghabiskan buah itu, kalau tidak ia mengancam akan membatalkan tur. Wednesday hampir ingin melempar buah apel itu tepat pada wajah Enid—kalau saja seorang pemuda memakai topi beanie tidak menghampiri meja mereka dan menyapa gadis pelangi itu.
"H-hai, Ajax. Bagaimana kabarmu?" tanya Enid dengan lembut sembari menampilkan senyum manis.
Wednesday tidak pasang telinga ketika mereka berbincang. Namun, ia memperhatikan gelagat Enid berubah secepat kilat—yang sebelumnya bersikap riang menjurus mengusik, tetapi ketika berhadapan dengan pemuda bernama Ajax berubah menjadi mudah tersipu malu. Hanya ada satu kesimpulan untuk menjelaskan fenomena tersebut.
"Kau menyukai Ajax," celetuk Wednesday begitu Ajax pamit undur diri.
Kedua pipi Enid sontak lebih merona dari sebelumnya, membuat wajahnya bagai tomat masak; ranum dan siap dipanen. "T-tentu saja tidak!" kilahnya. "Mengapa kau berasumsi seperti itu?"
"Wajahmu merah." Wednesday kembali menyemburkan fakta.
Enid refleks menutup seluruh muka dengan telapak tangan, mengerang malu, mengabaikan reaksi penghuni kantin. Tanpa peringatan, Enid menarik lengan Wednesday keluar. Ditarik seperti itu, Wednesday berontak, ingin menepis tangan gadis itu. Namun, cengkeraman Enid tidak main-main kuatnya. Setelah mereka sampai di luar, Enid melepaskan lengannya dan melontarkan pertanyaan, "Apa tadi itu terlihat jelas?" Tanpa menunggu balasan dari lawan bicaranya, ia kembali meracau, "Argh, Enid, kau memang bodoh! Memalukan! Bagaimana kalau Ajax tidak ingin berbicara denganmu lagi karena kelakuan anehmu tadi?!" pekiknya.
Wednesday menghela napas lelah memandang kelakuan luar biasa gadis itu. Sumpah—ia bersumpah bila Enid tidak memiliki peran dalam progress rencananya, sedari tadi ia sudah meninggalkannya sendiri atau mungkin menolak pertemanannya sedari awal mereka berjumpa.
"Cara kau memuja dan meratapi pemuda itu sungguh menyedihkan," imbuh Wednesday, terkesan tak berperasaan, tetapi memang itu maksudnya.
"Wednesday... kau membuatku semakin sedih!"
Ya, Wednesday harus bergegas keluar dari tempat mengerikan ini. Tak perlu menunggu berhari-hari, hari ini pun ia akan mencoba untuk melarikan diri.
° ° °
A/N: Chapter kali ini cuma momen wenclair xixi
Terima kasih juga buat mnjxcv udah nyebutin salah satu dari kelompok 4 Nevermore. The Black Cat, The Clown, The Golden Bug, dan (?)
Kalo kalian tau tolong tulis di kolom komentar ya, nanti cisi bakal tag di chapter selanjutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMER CAMP | wenclair
FanfictionWednesday Addams, gadis kelabu penyuka warna hitam itu tidak mengira dirinya akan tertarik dengan Enid Sinclair, gadis ceria penyuka warna pelangi yang berpenampilan nyentrik. [Written in Bahasa Indonesia]