Pertemuan Kedua

3 2 0
                                        

"Awalnya begitu menyenangkan. Namun, akhirnya begitu menyakitkan."
_Alsya Nafia_

Gadis yang selalu menjadi pandangan saat dirinya menginjak area sekolah, kini tengah berdiri di depan gerbang. Satpam yang akrab pada dirinya pun menyapanya.

"Neng Alsya, kenapa gak masuk?" tanya lelaki paruh baya itu.

Alsya langsung menoleh ke arah sumber suara. Mendekati lelaki itu, tersenyum menatapnya. Lalu Alsya membalas ucapan dari sang satpam. "Alsya lagi ngamatin aja Pak, gak nyangka bentar lagi Alsya bakal ninggalin kenangan di sini," ujarnya.

Kelas akhir, hal yang menyedihkan dan juga menyenangkan. Setelah berbincang-bincang, gadis itu berpamitan kepada pak Nurdin—satpam sekolah.

"Ya udah ya, Pak. Alsya mau masuk kelas dulu. Bapak semangat kerjanya," suportnya.

Gadis yang ramah, ceria, dan hatinya yang lembut, membuat dirinya dikagumi banyak orang. Tak sedikit dari mereka juga tidak menyukai gadis itu. Namun, Alsya tetap lah Alsya, dia kokoh pada pendiriannya. Ia tidak takut untuk dibenci, tapi ia takut jika dirinya melukai perasaan orang lain.

Sungguh gadis yang baik hati.

Saat berjalan-jalan di koridor, seseorang menepuk pundak Alsya. "Woi, parah gak nungguin di depan gerbang," omelnya.

"Siapa suruh telat," balas Alsya santai.

"Biasa juga gue berangkat jam segini Sya, dan lo tetap nungguin gue. Tapi kenapa tadi enggak?" bawelnya.

Laras Aprilianti—si bawel. Memiliki sahabat seperti Laras harus sabar. Gadis satu ini akan banyak bicara daripada bekerja.

Alsya diam, tidak merespon ucapan Laras, hal itu membuat Laras geram. "Woi Alsya Nafia, lo punya kuping gak sih?! Apa kuping lo digade, ha?! Sampe lo gak bisa dengar suara gue lagi?" kesalnya. Laras berkata begitu kencang, sampai Alsya harus menutupi kedua telinganya agar tidak budeg.

"Lo, bisa diam gak, Ras? Gue lagi malas ngomong," ujar Alsya.

Fikiran gadis itu benar-benar berantakan, hanya karena kehilangan buku kecil, dirinya sampai seperti ini. Sudah seperti kehilangan seorang kekasih.

Laras mengamati mimik wajah sahabatnya itu, menatapnya dengan pekat. Hal itu membuat Alsya refleks menampar pipi Laras.

"Astagfirullah Sya, sakait anjir," keluh Laras.
Alsya sadar dari lamunannya itu, matanya langsung beralih ke arah Laras yang tengah memegangi pipi sebelah kanannya. Alsya yang merasa bersalah langsung mendekap kepala Laras, sebagai rasa bersalahnya.

"Ras, l'm sory gue gak sengaja," mohonnya.
"Santai aja, gue tau lo kayak gini lagi gak baik-baik aja. Lo kenapa sih, Sya?"

Alsya yang tadinya ingin menyimpan keluh kesahnya sendiri, kini ia cerita kan kepada sahabatnya yang paling cerewet itu.

"Jadi gini Ras, gue punya buku catatan kecil. Nah kemaren gue kehujanan abis pulang sekolah, gue cukup lama nunggu di terminal, tapi hujannya gak berhenti juga. Mau gak mau gue terabas kan, eh pas gue sampe rumah, buku itu gak ada lagi," jelas Alsya panjang lebar.

"Emang penting banget ya tuh buku?" Tanya Laras sambil merapihkan rambutnya.

"Banget, banyak hal yang gak bisa gue ceritain ke siapa pun, gue takut buku itu jatuh ke tangan orang yang salah, Ras," kini tak ada wajah gembira dari Alsya. Seperti kemarin, mendung tiba-tiba datang dari raut wajah Alsya. Entah kapan hujannya akan turun.

GamonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang