Cikal Bakal

18 2 0
                                    


Aku, iya aku. Kebanyakan manusia akan menebak, bahwa aku pasti adalah manusia labil tak tau tujuan, tak tau arah, kemana sebenarnya kehidupan ku ini akan dibawa. Walau mungkin

seandainya padi sudah menguning 3 kali dalam setahun tapi tak menyadarkan diri ku ini, hingga rasa itu menghampiri. Sadar. Entah berapa kali ibu ku bilang, aku harus seperti
ini, harus seperti itu, aku harus lebih banyak memikirkan ini dan itu. Tapi rasanya diri ini belum mau beranjak atau tidak akan beranjak?. Sampai kapan aku harus seperti ini?.

Malam sunyi datang aku duduk diam bersila diantara teman-teman memegang kertas gulung berisikan tembakau kering. Membakar ujungnya menggunakan percikan api kecil dan menghisapnya, ku pandang langit indah malam lamat-lamat berpikir, tapi aku tidak tahu sebenarnya apa yang kupikirkan, seperti buntu.

Ponsel ku berdering berkali-kali, seseorang melakukan panggilan, 1 kali, 2 kali, 3 kali. Ku tatap ponsel itu kembali, tapi tak tergerak hati ini untuk sekadar mengecek, siapakah orang disebarang sana yang menelpon. Karena hati yang gundah tak tertahan, aku memutuskan mengangkat panggilan tersebut didering
ketiga.

"Hallo... kak.. ini sudah larut kamu harus pulang"

ibu berbicara diseberang sana, alih-alih menjawab aku memutar bola mata malas, menjawab dengan santai

"iya nanti pulang, ini baru jam 11 malam".

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun panggilan ku putus
sepihak.

Aku Kembali menikmati malam itu tak
menghiraukan apa yang barusan ibu perintah. Panggilan kembali masuk ke layar ponsel ku, kali ini lebih dari 3 kali, karena kesal aku beranjak pulang
tanpa menjawab kembali panggilan terakhir.

Angin malam menerpa wajahku, sayup-sayup terdengar jangkrik
mengerik diantara rerumputan.
Sepeda motor ku membelah jalanan sunyi, menyusuri aspal hitam halus
menuju rumah.

Berdirilah ibu di balik pagar setengah meter itu, menatap was-was menunggu ku pulang. Wajahnya merah padam memergoki ku mengendarai sepeda motor santai. Aku tak peduli. Lagi pula semua anak berhak untuk bermain. Apa salahnya. Toh aku juga tidak merugikan siapa pun.

Aku turun dari sepeda motorku melihat
ibu sekilas dan melangkahkan kaki masuk tanpa berniat menyapa dan sekedar memberi salam, ibu memandangku
galak tak berbicara, tapi seketika emosinya meluap.

"Ganendra!!",

panggilnya setengah berteriak mengabaikan kesunyian malam, apalagi ketentraman tidur tetangga.
Aku memandang ibu polos, malas menanggapi orang tua yang banyak omong ini

"ada apa?", tanya ku
singkat dengan muka sedikit memelas.

"dimana sopan
santun mu?", ibu bertanya dingin.

Tak menghiraukan
tegurannya aku kembali melangkahkan kaki menuju kamar. Tapi seketika aku tersentak, tangan ibu menggenggam lengan kiri ku. Mata nya melotot
mengisyaratkan bahwa ia murka padaku.

Mengapa orangtua begitu menyebalkan, pulang malam tak apa bukan, lagian aku sudah besar, tak perlu dikhawatirkan seperti ini. Lagipula siapa peduli jika terjadi
sesuatu padaku. Pikir ku lagi.

Aku mengikuti langkah
ibuku menuju ruang tengah. Dia terdiam. Matanya melirik bangku di didepannya, memberi isyarat agar aku
duduk.

"duduk Ganendra",
perintah ibu singkat.

Aku menuruti memasang muka dingin seakan tak peduli dengan apa yang akan ibu bicarakan.

"ini sudah terlalu larut, kamu mempunyai kewajiban, dirumah, disekolah, tidak peduli kah?".

Aku menatap ibu tak peduli, hanya
menanggapi singkat "tidak tau".

Ibu menghela napas
menatap ku pasrah. Aku segera beranjak meninggalkan
ibu sendirian di ruang tengah.

Aku tidak begitu peduli dengan pertanyaan ibu semalam, tidak begitu memikirkan juga apakah begitu
penting untuk memenuhi semua kewajiban ku. Aku masih muda, masih ingin mengeksplorasi apa kesukaanku, aku masih ingin bebas, tak memikirkan
apapun.

Kembali pada kebiasaanku memegang kertas gulung itu, menghisapnya perlahan dan menghembuskannya santai. Teman disebelahku menyapa
ku, bertanya

"kenapa murung?, ada yang salah?, sedang putus cinta ya?" tanyanya, tidak ada i'tikad serius sebenarnya.

"hahaha tidak juga". Obrolan itu terputus, tak ada lanjutan, sama-sama terdiam.

Hari-hari ku berjalan seperti biasanya, sekolah online, main, tidur, makan. Siklusnya tidak berubah
selama berbulan-bulan.

Hingga saat dimana, awan bergemuruh, angin kencang menerpa apapun yang ada didepannya, rumput bergoyang ke kanan ke kiri. Badai
meliputi kota ini, aku berdiam diri di ujung warung kopi langgananku, berdiri menatap air mengalir di jalan
setapak yang terbuat dari paving.
Lagi-lagi kertas gulungan itu ku hisap. Entah mengapa ketenangan selalu ada jika kertas gulung berisi
tembakau ini ku hisap. Rasanya dunia ini hanya milikku.

Ditengah ketenangan itu. Siluet pikiran itu datang, terbayang akan masa depan. Masa dimana aku harus bertanggung jawab pada diri ku sendiri. Bagaimana jika aku gagal. Sebentar lagi aku akan menghadapi realita hidup, semua orang juga tahu kehidupan dunia itu keras.
Hanya orang-orang yang berusaha yang bisa berhasil.

Siluet itu hanya terpikir sebentar. Tak banyak yang aku pikirkan lagi setelah itu.

Hari-hari ku berjalan suram karena pertanyaan ibu yang terus terngiang-ngiang dalam pikiran. Ibu berdiri didepan kompornya memasak dengan api kecil, menumis semua bahan makanan, wanginya tercium hingga kamar ku.

Aku keluar menghampiri ibu
duduk di ujung meja makan memandangi ibu yang gesit
kesana-kemari menyiapkan makanan. Aku hanya terduduk diam. Akhirnya hati ini luluh untuk berbicara

"ibu tidak pernah memikirkan ku!" tukas ku,

"kamu memang tidak tau sayang, ibu selalu berpikir tentang mu, tentang masa depan mu, bagaimana kamu harus menjalani hidup ini tanpa ibu"

matanya mulai bekaca-kaca bulir air siap terjun bebas ke pipinya yang sudah mulai keriput. Menua.

"kamu tau tidak?, semua yang ibu
lakukan hanya untuk kebahagiaan mu, agar kamu bisa hidup tenang tanpa memikirkan apapun, tanpa harus
susah payah bekerja, karena hidup mu adalah tanggungan ku".

Jelasnya lagi, ia terus mengedip-ngedipkan matanya,
ia takut air matanya jatuh, sehingga membuat anaknya itu merasa bersalah. Aku terdiam mendengarkan penjelasan
ibu, aku merasa iba, merasa bersalah, aku tidak sadar selama ini bahwa apa yang aku kira ibu tidak peduli padaku. Dia sangat peduli, dia memikirkan ku.

Bayang-bayang percakapan itu teringat kembali, kemarin di meja makan aku tidak terlalu nafsu untuk menyantap makanan ku. Sup yang ibu buat berakhir teraduk-aduk dimangkuk, aku melamun.

Apa yang harus aku perbaiki?, apa yang harus aku ubah?. Tidak biasanya
hati ku gundah seperti ini. Tapi kau tau? Rasanya seperti paru-paru mu terjepit besi. Sesak. Tak terelakan.

Setiap aku kembali ke warung kopi itu aku selalu melamun, memikirkan, aku juga merasa orang-orang disini yang sepantaran dengan ku, mereka tidak
melakukan apa-apa, kehidupan mereka tidak memiliki kemajuan, seperti ini saja, tidak ada yang berubah.

Sedangkan diluar sana pasti banyak sekali insan berlomba-lomba meraih impiannya, bersaingan untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Bagaimana dengan ku?, yang enggan melangkahkan kaki lebih maju,
untuk masa depan, tidak membuat perubahan, masih berada pada zona nyaman ku.

AQUAMARINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang