Tebing

10 2 0
                                    


Ingat kan? beberapa tahun silam aku menjadi seorang paskibraka, momen yang sangat membahagiakan, yang membawa diri ku diatas kejayaan organisasi, aku ingat saat pertama kali pin besi itu terpasang di dadaku. Menciptakan semburat senyuman di wajah ku, sungguh aku tidak menyangka segala kejadian ini, aku pikir itu hanya bayang-bayang ku saja.

Sepertinya aku memang banyak mengkhayal, mengkhayal akan segala-galanya, masa depan, karir, sekolah, pikiran ku jelas hanya ingin membanggakan ibuku, terlepas apa pun yang terjadi aku masih sangat menyayangi kedua orang tua ku.

Malam itu aku meminta izin kepada ibu, ditengah rembulan malam, aku mengecup tangan lembutnya, meminta izin, pergi meninggalkan rumah, selama 30 hari lamanya. Ku gendong tas ransel ku yang sudah dipenuhi oleh segala macam keperluan, aku berangkat, meninggalkan rumah, melewati pagar setengah meter itu, meninggalkan ibu ku yang berdiri sembari tersenyum tipis di teras rumah. Sungguh momen itu aku tak pernah lupa.

Bayangkan saja di zaman yang sudah modern ini aku tidak memegang ponsel selama sebulan, apa yang akan aku kerjakan?, bagaimana aku melewati masa bosan itu. Tak apa hanya sebentar, tidak sebanding dengan melewati sebulan tanpa kegiatan apa pun bukan.

Aku masuk ke kamar asrama berlampu temaram, disampingnya kasur empuk yang telah disediakan berjajar rapih berisi 2, oh ternyata berisi 2 orang, aku pasti mempunyai teman sekamar. Seseorang menyembul di balik pintu, seorang lelaki yang berperawakan tinggi hampir seperti ku, badannya bagus juga.

"hallo.."

sapanya singkat sembari menjulurkan tangan kepadaku, dia mengenaliku mungkin entah dari papan pengumuman itu atau bagaimana, yang jelas aku tidak mengenal dia.

"Ganendra ya? salam kenal aku Keenan", dia kembali tersenyum ramah,

"oh halo salam kenal" angguk ku canggung,

"bro, darimana nih?", tanya nya antusias,

"dari kota sebelah bro",

"oh yang banyak melahirkan anak-anak paskibra yang hebat ya", ketusnya dengan senyum melebar.

"ah ga juga, masa sih, perasaan mu aja kali",

jawab ku dengan senyum yang tak kalah lebar. Ia tersenyum singkat

"yuk beres-beres, sebentar lagi akan diadakan upacara kedatangan",

"siap". Timpal ku.

Pengumuman menggema dari pengeras suara diujung-ujung lorong, semua penghuni asrama berhamburan keluar, aku mengikuti langkah kaki Keenan. Di depanku. Menuju aula. Ruangan besar itu menampung seluruh peserta, semua orang berkumpul. Bak semut yang berebutan memasuki rumahnya. Diujung sana beberapa perempuan sibuk mengibaskan tangannya, ruangannya lumayan panas. Perintah dari pembina membuat semua orang disana terdiam dan segera duduk ditempat masing-masing. Semua orang duduk dengan tegap, tak peduli keringatnya bercucuran sedikit, toh tidak akan mengganggu acara itu berlangsung.

Lagu kebangsaan dinyalakan, semua orang berdiri dengan khidmat, mendengarkan, lantunannya mulai berbunyi, sayup-sayup terdengar keikutsertaan peserta, mereka bernyanyi bersama, suaranya yang menggema membuat hati bergetar, keringat menitik sedikit demi sedikit, tak menyisakan kepasrahan diantara mereka, mereka sungguh antusias dengan acara itu, terlebih aku yang berdiri tepat disebelah Keenan, aku memandang wajahnya yang tenang serta damai, mendengarkan lagu kebangsaan itu, tanpa aku sadari aku ikut terbawa dengan gelora alunan lagu kebangsaan, sungguh tenang hati ini. Suatu perasaan yang tak bisa dijelaskan, perasaan bangga, perasaan takut, perasaan senang bercampur aduk menjadi satu.

Pembina memberikan aba-aba untuk seluruh peserta, mereka otomatis terududuk sila di ruangan persegi panjang, lebarnya 10 x 20 meter. Cukup besar untuk menampung 60 orang peserta.

Semua orang berkumpul, mendengarkan pembina, menyampaikan pidatonya. Semua terduduk tegap terdiam. Tak ada angin. Keringat menetes sedikit demi sedikit. Ruangan ini tidak memiliki fasilitas pendingin udara. Tapi sekali lagi kondisi ini tidak menggugurkan semangat semua peserta.

Setelah acara itu selesai dibubarkan, aku kembali ke barak asrama besrsama Keenan. Semua barang-barang sudah ku rapihkan, begitu juga Keenan.

Pembina berbicara kembali, suaranya menggema di ujung-ujung lorong. "segera berkumpul di lapangan", serentak semua orang berlarian menuruni tangga asrama. Jangan sampai ada yang terjungkal, hari sudah mulai terik, sinar matahari membakar kulit, mengubah warna kulit menjadi lebih gelap. Anginnya lumayan sejuk, kebetulan di pesisir pantai.

Seperti biasa pembina mengomandokan peserta untuk berbaris rapih, aku kembali mengikuti langkah Keenan, karena tak ada seorang pun yang aku kenali, untuk sekedar berbincang. Walau mereka semua berada dibawah tekanan yang sama.

Angin berhembus kencang, membuat rambut bergoyang semerbak, debu-debu ikut terbang menempel di kulit-kulit yang basah oleh keringat. Aku mengikuti pelatihan baris-berbaris itu dengan serius, kesalahan sekecil apa pun pasti mendapatkan konsekuensi, yang lagi-lagi harus kuterima.

Push up ratusan kali, sit up ratusan kali, hingga pull up ratusan kali sudah makanan ku setiap hari selama sebulan, walau badan ku terasa lelah tetapi, teman-teman disekitar yang senasib dengan ku adalah semangat utama hingga aku sampai di titik ini.

Semua orang berkumpul pagi itu, seperti biasa angin berhembus kencang menerpa anak rambutku, pembina berbicara di depan dengan lantang, kita semua berbaris rapih mendengarkan pembicaraannya di depan, matahari tidak terlalu terik, tak ada setetes air keringatpun yang lolos di punggung. Pengibaran bendera sebentar lagi, Latihan yang dilakukan semakin sering, semua orang kelelahan, tapi lagi-lagi tak ada yang menyerah.

Ibu pernah bilang, aku cocok menjadi seorang danton, kau tau danton?, komandan pleton. sangat menantang memang tetapi karena ibu yang sangat ingin aku menjadi danton, aku berusaha sekeras mungkin agar bisa mengejar mimpi itu.

Tiba juga seleksi pemilihan danton itu, seperti biasa semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi itu, tapi tidak dengan Keenan dia memilih untuk menjadi pasukan pengibar biasa. Tidak terlalu tertarik untuk menjadi danton. Seleksi demi seleksi aku lakukan. mulai seleksi PBB, kesehatan mata, kesehatan tubuh, kebugaran jasmani. Kawan adalah saingan. Kesalahan-kesalahan kecil, juga mendapat konsekuensi.

Latihan demi Latihan juga sudah, dijalani hingga akhirnya datanglah waktu pembagian tugas, setiap orang mempunyai tugasnya masing-masing. Sesuai perintah dan arahan pembina.

Pagi itu aku berdiri tegap di ujung pasukan sebagai Komandan Pleton yang memimpin pasukan dalam keberlangsungan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih. Aku tak mengerti rasanya pagi itu jantungku berdebar sangat kencang, perasaan bahagia sekaligus bangga yang begitu menggebu, dan juga rasa tegang dan takut terjadi kesalahan karena memang aku yang akan bertanggung jawab atas pasukanku.

"Pengibaran bendera merah putih oleh Pasukan Pengibar Bendera diiringi oleh Lagu Indonesia Raya" pertanda tugasku dimulai. Dengan sigap aku langsung mengambil alih pasukan dan melangsungkan proses pengibaran bendara merah putih. Setelah berakhirnya Proses pengibaran Bendera Merah Putih rasanya aku semakin bangga pada diriku, namun aku juga sedikit bersedih karena masih terdapat beberapa kesalahan yang dilakukan olehku maupun pasukanku, walaupun kesalahan kecil namun rasanya akan sangat berdosa disaat sedang mengibarkan Bendera Pusaka yang menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia.

Pengalaman itu terjadi begitu saja, ombak berkejaran, saling menubruk batu karang, aku duduk santai di pinggir pantai di terpa angin pantai, beserta desiran ombak yang menghampiri bibir pantai. Semua peserta duduk merenung masing-masing, menikmati indahnya pantai. Walau tidak sebagus Maldives atau kebanyakan pantai di Bali yang indah, pasirnya putih. Tetapi aku sudah bisa merasakan ketenangannya.

Beberapa tahun silam aku berhasil menjadi Danton, yang ibu banggakan, aku bisa melihat senyumnya merekah memeluk ku bangga diiringi desiran ombak yang membuat suasana begitu tenang.

AQUAMARINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang