Bab 4

55 12 0
                                    

Semua cerita aku ada di karyakarsa ya, link ada di bio.

Selamat Membaca

"Jangan kaya gini, Dimas." Teriak Wilona dari luar kamar tidur, ya, Dimas setelah seharian bekerja selalu mengurung diri disana. Awalnya Wilona memaklumi tetapi semakin hari bukannya berubah, Dimas semakin menjadi.

"Kalau kamu sayang sama Fatma perjuangkan, bukan kaya gini. Dan lagi emang Fatma tahu kamu mengurung diri disini! Tidak nak," Ratap Wilona dengan hati yang tersayat akibat ulah putranya, "Keluar, jangan buat Mama sakit kepala."

Setelah mengatakan itu, Dimas keluar. Tidak ada kata yang keluar dari bibir pucatnya, ditambah mata panda yang semakin hari semakin menggelap menandakan jika Dimas tidak bisa istirahat.

"Dimakan, Mama nggak mau punya anak yang lemah." Semangkuk bubur Wilona buat untuk sang putra, dari sini Wilona nampak iba akan perubahan Dimas. Tapi sebagai orangtua Wilona hanya bisa mendukung keputusan apa yang akan dipilih Dimas.

"Habiskan, jangan buat Mama semakin marah." Menyodorkan satu gelas susu hangat Wilona ikut duduk di hadapan Dimas, mengamati kegiatan putranya dengan seksama.

"Nggak ada namanya orangtua yang mau anaknya sakit, jadi Mama harap kamu paham. Masalah hati kamu itu keputusan kamu, Mama tidak akan ambil pusing dengan hal itu." Wilona bukan orangtua kolot yang selalu mendikte putranya.

Kepala Dimas mendongak, ia menatap wajah Wilona yang menampilkan raut khawatir.

"Maaf... "

"Mama paham, tapi jangan terlalu lama menghukum dirimu. Dan satu lagi pikirkan apa yang akan kamu lakukan. Mama tidak menuntut kamu menikah dengan Eva begitu juga dengan Fatma."

"Kenapa?"

Pandangan Wilona menatap ke depan, ia membayangkan kehidupan bahagia untuk Dimas. Tapi belum sampai di titik ini, Dimas sudah tumbang. Tersenyum kecut, Wilona menatap Dimas. "Menikah itu pilihanmu nak, yang Mama tekankan disini kamu. Kamu yang akan menjalankan ibadah itu, jadi Mama hanya berharap kamu bahagia."

Sebuah asa yang sederhana, tapi itu semua nampak berat disaat hatinya ada dipersimpangan.

"Selesaikan satu per satu, Mama harap kisah kamu selesai dengan baik. Karena nama baik Mama dan Papa yang dipertaruhkan." Keduanya sudah datang di kediaman Eva, membicarakan sebuah rencana ke depan tetapi layaknya hanya sebuah angan, nyatanya putranya mulai meragu.

Selesai mengatakan itu Wilona bangkit, ia meninggalkan Dimas sendiri.

Sedangkan Dimas hanya bisa termangu manatap punggung Wilona yang menjauh.

Dimas merogoh ponselnya dan memanggil Jeri, ia meminta bantuan temannya itu untuk mengizinkannya ke luar kota. "Jangan ngaco lo. Mana bisa, pekerjaan lo aja belum selesai!" Maki Jeri saat Dimas selesai mengatakan niatannya.

"Gue paham, tapi gue minta izin hanya tiga hari Jer. Please, bantu gue."

"Gue nggak paham maksud lo, tapi gue izinin tiga hari saja. Karena gue nggak mau kerja keras yang gajinya buat lo semua."

"Oke. Thank ya." Selesai mengatakan itu Dimas bangkit, ia akan mengepak bajunya ke dalam ransel untuk besok ke Jogja, tak lupa ia memesan satu tiket kereta. Meskipun Dimas belum tahu lokasi Fatma, tetapi egonya mengatakan jika dirinya akan menemukannya.

***

Fatma tengah membenahi laporan bulan ini yang harus diserahkan ke kantor pusat, dimana otak dan konsentrasinya fokus ke layar laptop. Tidak ada waktu baginya untuk memikirkan hal yang tidak berguna, ya, itu yang selalu ia tekankan saat kakinya pertama kali berpijak di kota ini.

"Bu Fatma, sudah waktunya makan siang. Mari kita istirahat dulu." Ajak perempuan yang lebih muda dari Fatma, perempuan yang ditugaskan Angga untuk memantau adiknya itu.

"Nanti saja," Jawab Fatma dengan tetap menatap layar laptop tanpa mengindahkan perempuan itu.

"Nanti kalau Pak Angga telpon saya yang dimarahi." Pintanya dengan mengubah, meskipun Angga tidak akan  menghukum tetapi ceramahnya yang panjang membuat daun telinga pegal.

"Baik, ayo." Menyimpan data, Fatma bangkit dari meja dan berjalan bersama Monik menuju kantin yang berada di baseman kantor.

"Jangan ngoyo Mba, nanti sakit lo." Monik adalah pribadi yang ramah, saking ramahnya Monik selalu mengajak Fatma pelesiran setiap akhir pekan. Dan itu sedikit banyak membuat Fatma tidak begitu memikirkan permasalahannya.

"Dulu, saya itu suka sama Pak Andrea. Saking sukanya saya sama beliau saya selalu membuatkan bekal makan siang." Fatma mendengar cerita Monik, Pak Andrea itu adalah manager di sini, jangan lupakan jika Pak Andrea adalah pria keturunan Tionghoa yang otomatis akan susah mendapatkannya.

"Terus?" Sambil menunggu makanan datang, Fatma mendengar cerita Monik.

"Ya, ditolaklah Mba. Tapi itu semua tidak membuat saya putus asa. Awalnya saya tahu bahwa Pak Andrea itu punya tunangan juga. Tapi saya yakin saja bahwa jodoh itu tidak akan kemana, dan ya, Allah mengabulkan saya." Monik adalah perempuan Jawa tulen dengan kulit sawo matang. Dan itu pasti tidak akan membuat pria keturunan cindo tertarik kepadanya.

"Kamu pelet?" Tanya Fatma seketika. Monik yang dituduh sontak tertawa, mana bisa ia menggunakan ajian itu. "Enggaklah, nggak mau saya Mba. Kan kalau ajian kaya gitu kita harus tetap upgrade terus."

"Terus kamu pakai apa?" Secara Pak Andrea itu ibaratnya adalah pria yang begitu tampan dengan karismanya dan jika Monik bersanding dengan pria itu maka membuatnya bertolak belakang.

"Em, perhatian. Awalnya sih Pak Andrea jual mahal ya karena dia punya tunangan. Tapi saya gigih memperjuangkan cinta saya, dan alhamdulillah saya sudah menikah dengannya." Wow, kabar yang tidak diketahui Fatma. Fatma kira Monik masih lajang, "Lah terus akhir minggu kamu selalu ngajak aku main, apa nggak dimarahi Pak Andrea?"

"Enggak, Pak Andrea tahu bahwa Bu Fatma saudaranya Pak Angga jadi aman. Lagian Pak Andrea kalau weekend selalu hilang dari pagi, pulang-pulang habis dzuhur."

"Kemana?"

"Gym, sama ke rumah Mamanya."

"Oh...  Selamat ya, aku nggak tahu kalau kamu sudah menikah." Monik tersenyum lebar, ia tahu bahwa kawan-kawannya juga berpikir seperti itu. Tidak tahu saja bawa perempuan kecil ini sudah menaklukkan pimpinan mereka.

"Susah pasti dapatin Pak Andrea, ya?"

"Hm, tapi yang jauh lebih susah itu nikahnya. Kan beda agama dulunya, apalagi keluarga besarnya yang selalu ikut campur, jadi ya kami menikah dengan sederhana."

"Kuat banget ikatan kalian."

"Ah, apa ya. Nggak kuat kok Mba, cuma kita selalu belajar saja untuk menerima perbedaan awalnya, terus semakin kesini Pak Andrea yang belajar agama dan alhamdulillah Pak Andrea mau pindah."

Jika saja hubungan percintaannya seperti Monik pasti semuanya akan indah sekarang, tetapi kebersamaannya dengan Dimas nyatanya hanya sebagai sahabat tidak lebih.

"Nggak langsung pingin punya momongan?" Monik menggeleng, "Belum, kita maunya saat ada anak nanti kita sudah bisa mandiri secara finansial dan satu lagi keluarga besarnya bisa menerima saya, Mba."

"Semoga ya." Karena bagi beberapa kelompok masyarakat pernikahan beda suku terkadang membuat hubungan keluarga tidak begitu ekslusif. Dan terkadang juga pernikahan ini membuat tradisi satu suku akan menghilang dibarengi dengan tradisi baru muncul. Jadi tak jarang ada sekelompok suku yang mengharuskan harus sama sukunya kalau menikah.

Tbc

Cinta Terpendam ✔ (KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang