Yang mau baca cepat mampir di Karyakarsa, link ada di bio.
Selamat Membaca
Cuaca yang begitu cerah dengan angin yang segar menyapa kedatangan Fatma dan Dimas di salah satu pantai yang ada di Gunung Kidul, pantai yang memiliki pasir putih itu nampak ramai dengan banyaknya orang yang berkunjung.
Tubuh Fatma yang letih akan rutinitasnya di kantor mencoba untuk menikmati sapuan ombak yang membasahi kaki dengan langkah yang begitu lebar berlari dari tepian pantai.
Sedangkan Dimas memilih untuk duduk di kursi yang berada di pasir dan melihat Fatma yang tengah menikmati hidup, bukannya Dimas tidak mau mengikuti langkah Fatma tetapi memberi dia waktu untuk me time bagi Dimas jauh lebih baik.
"Kenapa duduk aja? Nggak mau main air?" Tanya Fatma saat ia kembali dengan membawa makanan olahan laut yang ia beli, tak lupa ia membeli air mineral. "Lihat kamu bahagia sudah cukup." Jawab Dimas sekenanya dengan tangan membuka botol air mineral.
Fatma yang mendengar hal itu hanya bisa mengangguk, ia memilih untuk menikmati makanan yang ia beli. Tak lupa Fatma memberikan beberapa potong ke Dimas.
"Kalau suka beli disana." Fatma menujukan salah satu kedai yang baru saja ia datangi, sedangkan Dimas memilih mengabaikan ucapan Fatma dan memandang wajah perempuan itu.
"Mau main menyelam? Atau naik perahu?" Tawar Dimas setelah Fatma selesai makan, Fatma melirik sekilas ke arah Dimas dan menggeleng.
"Nggak usah, aku mau menikmati udara laut sebelum kita main lagi."
"Main kemana?"
"Banyak." Jawab Fatma dengan wajah yang berbinar, ia membayangkan jika ia akan mengelilingi Jogja seharian dengan Dimas, sebuah momen yang langka.
Saat netra Dimas tengah menikmati wajah Fatma yang memerah akibat sengatan matahari, suara dering ponsel menginterupsi. Dengan malas Dimas merogoh saku celana dan mengeluarkan benda persegi panjang itu dimana nama Eva jelas terpampang disana.
"Siapa?" Karena Dimas tak kunjung menerima panggilan itu membuat Fatma bertanya-tanya. Dulu, jelas dihubungan mereka tidak ada privasi bahkan beberapa kali Fatma tahu akan teman perempuan Dimas, tapi setelah Dimas memilih Eva, Dimas sedikit membatasi Fatma dalam melihat isi ponselnya.
"Client." Menggeserkan tombol merah, Dimas memutuskan hubungan telpon itu. Ia akan menghubungi Eva nanti, karena Dimas tidak mau memunculkan masalah baru. "Angkat saja, mungkin penting."
"Nggak, aku sudah cuti jadinya ya harus bebas." Dengan wajah yang berbinar Dimas mencoba meyakinkan Fatma, Fatma sendiri memilih mengangguk dan kembali terfokus ke deburan ombak.
"Kamu inget nggak waktu itu kamu parkir sembarangan dan dikerjain sama penjaga parkirannya?" Fatma mengingat sebuah peristiwa yang terjadi saat mereka masih duduk di bangku kuliah.
Dimas mengingat itu, dimana klaksonnya berbunyi saat ia menyalakan mesin sepeda motor. "Hal yang buat malu setengah mati."
"Hahaha, tapi lucu juga ya."
"Lucu apanya, malu iya." Menjadi orang yang diperhatikan akibat tindakan bodoh itu membuat Dimas malu.
"Hahaha, makanya kalau parkir yang rapi sesuai aturan." Selesai mengatakan itu, keduanya terdiam menatap ke depan menikmati semilir angin yang menyapu kulit mereka.
"Besok kalau tua kita kaya gini, nggak ya?" Tanya Dimas.
"Nggak tahu, mungkin aku akan menikmati hidup dengan duduk di teras sendiri sambil menunggu anak pulang." Kepala Dimas menoleh, ia menatap wajah perempuan itu. Sendiri? Kenapa sendiri?
"Kok sendiri?"
"Mungkin kamu akan menikah dengan perempuan lain, jadi pastinya aku akan menikah dengan lelaki lain juga yang pastinya dia akan bekerja meninggalkan aku di rumah."
Dimas meraup udara pantai sebanyak mungkin sebelum menjawab pernyataan Fatma. "Nggak percaya sama aku?"
Kepala Fatma menoleh, pandangan mereka bertemu. "Aku nggak mau berharap lebih, takut jika itu hanya ada di angan saja."
"Baiklah, kalau kamu nggak percaya habis dari sini aku akan membuktikan isi hatiku."
"Jangan jika itu terpaksa, aku nggak mau itu."
"Aku nggak terpaksa, bahkan aku suka rela melakukan hal itu."
"Jangan buat aku pusing Dim, hubungan kita belum sampai ke hal itu." Maksud Fatma belum sampai ke urusan keluarga. "Maka biarkan hubungan ini sampai disana, kedua orangtuaku dan orangtuamu sudah lama kenal. Dan pasti mereka akan senang."
Fatma terdiam, ia paham jika perasaannya menyetujui keinginan Dimas tapi disisi lain ia takut jika langkah ini memunculkan masalah baru.
"Aku nggak mau melukai hati perempuan lain."
"Maksud kamu Eva?" Anggukan Fatma layangkan. Bagaimanapun jika mereka melangkah ke jenjang yang lebih serius disaat Dimas masih berhubungan dengan Eva pasti orang lain yang melihat akan mencap Fatma perebut.
"Selesaikan dulu hubungan kalian, aku nggak mau gara-gara hubungan ini aku dicap orang lain sebagai perempuan perebut." Membayangkan nama atau fotonya akan diviralkan membuat Fatma bertindak ngeri, ia tidak mau jejak digital itu yang akan mempengaruhi kehidupan di masa yang akan datang.
"Fat, kamu memberikanku kesempatan?" Fatma terdiam, ia bingung memberi nama apa akan penawaran ini. Yang jelas ia ingin menyelesaikan semua hubungan yang terdahulu sebelum membuka hubungan yang baru.
"Mungkin." Karena sejatinya Fatma hanya perempuan egois yang ingin kasihnya terbalas, meskipun awal kisah mereka akan banyak kerikil yang menjadi batu sandungan.
Wajah Dimas berubah cerah, ia mengambil tangan Fatma dan menggenggamnya. "Terimakasih kamu telah memberikan kesempatan bagiku, aku tahu terlambat mengakui ini tapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali."
Karena perasaan itu muncul setelah orang yang kita sayang pergi, dan untuk itu Dimas tidak akan mengulang kesalahan yang ada. "Itu peribahasa Dim."
"Iya, tapi sepertinya peribahasa itu cocok untuk kita."
"Aku rasa itu kamu, tidak denganku."
"Kamu yang jual mahal jadinya aku nggak tahu apa yang kamu rasakan." Ujar Dimas yang tidak terima akan ucapan Fatma. Mereka tertawa dan menikmati waktu bersama dengan aura kebahagiaan.
"Nggak salah memang jika aku harus perjuangin kamu." Bisik Dimas setelah Fatma selesai tertawa.
"Nggak waras kamu, Dim." Wajah Fatma merona akibat pujian yang secara tersirat dilayangkan Dimas.
"Mungkin jika kamu sama Eva diberikan porsi yang sama pasti kamu jauh lebih unggul karena kamu tahu kebaikan sampai busuknya aku."
"Terus?"
"Kamu bisa menerima aku, tapi Eva? Aku nggak tahu."
"Eva perempuan baik." Ucap Fatma yang pernah beberapa kali bertemu dengan perempuan itu, pembawaan yang tenang membuat siapa saja akan melihat ketulusan calon ibu untuk anak mereka. "Ya dia baik, bahkan kelewat baik. Tapi aku harus bersikap tegas bukan?"
Fatma menatap wajah Dimas dan menggeleng, ia bingung harus menyikapi apa. "Nggak tahu, yang aku tahu bahwa aku perempuan egois. Memendam perasaan demi bisa merajut hubungan persahabatan dengan kamu, dan lebih parahnya disaat kamu memiliki hubungan dengan perempuan lain aku marah."
"Kamu perempuan yang realistis, Fat. Aku tahu itu."
"Tapi melukai perasaan orang lain?"
"Itu urusanku, lebih baik kita fokus ke masa depan kita. Masalah Eva biar aku yang urus, karena bagaimanapun hubungan ini ada karena aku." Jawab Dimas lugas penuh keyakinan.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Terpendam ✔ (KARYAKARSA)
General FictionKetika persahabatan melahirkan rasa, apa yang harus dipilih?