No!

2.1K 226 25
                                    

Happy reading guys

Cium dulu ya, muahhhhh

Kalian baru dan semakin terlihat setelah di penghujung cerita:)

*****





Hamparan langit jingga dengan semburatnya menambah suasana sendu si anak bungsu. Sedari setengah jam yang lalu, ia terus menangis di balik selimut yang menutupi tubuhnya. Tak peduli dengan sakit di badan saat ini. Sekarang, posisinya lebih menyakitkan.

Ruangan bernuansa biru muda yang baru ia tempati beberapa jam ini tampak dipenuhi dengan suara tangisannya. Menggema memekakkan telinga.

"I... hiks... Ijep nggak bohong, papa." isaknya dari dalam selimut putih itu.

Aldino, sang abang yang sedari tadi membujuk anak itu untuk membuka selimut tampak menghela nafas. Bukan karena perkataan Jeffrie, namun dengan kondisinya. Ia takut adiknya akan susah bernafas di balik selimut itu.

"Jangan pedulikan papa, sekarang adek buka selimutnya. Nanti adek sesak." bujuk pemuda tampan itu.

"No!, Ijep takut sama papa."

Hendery yang sedari tadi duduk manis di sofa tampak tak bersuara. Memasang wajah bengisnya bak ingin menerkam mangsa.

"Tidak mungkin anak sekecil itu mampu mendorongmu, Jeffrie." ujar si kepala keluarga.

Jeffrie?, Hendery memanggil dengan sebutan Jeffrie?. Sungguh, Jeffrie tidak suka dengan itu. Sebutan itu terasa seperti orang asing. Orang yang mungkin baru mengenalnya beberapa menit.

Hati mungil Jeffrie mencelos, nyeri yang menyapa seakan merambat ke seluruh tubuh. Dada nya sesak, mendengar sang ayah yang tak percaya dengan ucapannya.

Ternyata, tidak dipercaya oleh orang tersayang itu lebih sakit, daripada dihantam dengan bogeman mentah saat tawuran.

Pandangan putra sulung beralih menatap sang ayah, rahangnya tampak mengeras melihat wajah bengis Hendery. Rasanya, ia ingin memukul wajah yang membuat adiknya ketakutan detik itu juga.

"Shut up your fucking mouth!" Oke, Aldiano sudah marah dengan papa-nya. Jari telunjuk panjangnya menunjuk ke arah sang ayah yang juga tampak acuh.

Pria berbadan kekar itu masih tak percaya dengan ucapan anaknya. Bagaimana bisa anak sekecil Caca melakukan hal seperti itu, bahkan anak itu meninggalkan Jeffrie kesakitan di bawah tangga.

Juga, bagaimana anak seusianya dapat mendorong Jeffrie hingga terjatuh. Apa benar Aca yang melakukannya?, Hendery merasa Aca tak cukup kuat untuk mendorong tubuh yang lebih besar darinya.

"Al nggak peduli apa alasan papa belain anak itu, tapi tolong keluar dari ruangan ini jika hanya ingin membuat adikku menangis." pinta si sulung yang mulai jengah melihat wajah bengis ayahnya. Rasanya, itu adalah percakapan terpanjang antara ia dan ayahnya. Harap dicatat dan ditandai.

Wajah Hendery itu tampan sedikit bengis. Jadi, jika ia memperlihatkan wajah bengisnya, wajah itu akan semakin seram. Untuk ukuran anak kecil. Tapi, kalau untuk ibu-ibu kompleks, mungkin mereka akan menjerit ria dan minta dinikahi sekarang juga.

Hendery menghela nafas panjang, mencoba mengontrol emosi yang sedari sejam lalu sudah meletup. Memejamkan mata beberapa detik kemudian mengubah mimik wajahnya agar lebih bersahabat. Ia harus berbicara lebih lembut dengan si bungsu. Meski sedang marah, ia juga mengkhawatirkan keadaan putranya itu.

Juga, ia paling tidak bisa jika Aldiano sudah marah, kata-katanya itu sungguh menyentil hati kecilnya.

Kaki jenjang berotot milik Hendery berjalan ke arah si bungsu,  menghiraukan tatapan tajam dari putra sulungnya. Perlahan ia duduk di bibir brankar, membuka selimut yang sedari tadi menutupi tubuh si kecil.

Jeffrie dengan sigap menutup kembali tubuhnya yang hampir dibuka oleh sang ayah, ia masih takut untuk menatap wajah ayahnya.

"No!" hanya itu yang kata itu yang keluar dari bibir Jeffrie.

Perlahan Hendery mengusap pucuk kepala sang anak yang menyembul, membuka selimut yang mulai renggang dari genggaman si bontot.

"Papa minta maaf, hm." Ia menebar senyum, berharap putra bungsunya berhenti menangis.

"Hiks... Ijep, Ijep nggak bohong, papa." Takut-takut Jeffrie menoleh ke arah Hendery, memperlihatkan wajah sembab berurai air mata.

Hendery mengangkat sang anak agar duduk di pangkuannya. Mengelus surai itu dengan teratur.

"Mana yang sakit?, kasih tau ke papa." ujar pria itu. Ia tau, pasti sedari tadi anaknya itu menahan rasa sakit. Karena dirinya, Jeffrie jadi tidak berani untuk berkeluh kesah.

"Huaaaaa... badan Ijep sakit... ini juga sakit." pecah sudah tangisan yang ia tahan sedari tadi. Ia memang menunggu sang ayah menanyakan keadaannya.

Jeffrie ini termasuk tipe anak yang jika ditanya sakit apa, maka ia akan menangis. Ntalah, itu tipe anak apa. Tapi, memang ada. Dia contohnya.

Anak itu menunjuk-nunjuk ke arah kepalanya beberapa kali, menandakan jika kepalanya sedang sakit.

Hendery merengkuh si kecil dalam pelukannya, mengusap kepala anak itu yang di-eluhkan sakit.

"Maafin papa, hm." Jeffrie menggeleng, ia masih merasa sakit hati dengan ayahnya itu.

Bisa-bisanya seorang Hendery tak percaya dengan ucapannya. Merajuk sedikit tidak apa-apa kan?.

Di lain ruangan. Ruangan bernuansa yang sangat berbeda dengan bungsu kita. Ruangan yang cukup besar dengan nuansa abu-abu seakan menambah suasana panas dua lelaki di sana.

Lelaki berbalut jas hitam tampak menodongkan pistolnya ke arah si pria yang sedang duduk manis di kursi kejayaannya. Saling menatap tajam tak ada yang ingin memutus pandangan.

"Aku yakin, kau adalah penyebab mengapa anakku pergi." suara datar yang terkesan sangat tegas itu menyapa indra pendengaran si pria yang sedari tadi tak ingin beranjak dari duduknya.

"Sure, kau benar." pria yang terduduk itu tersenyum miring, merasa tak takut sedikitpun dengan ujung pistol yang sudah menempel pada pelipisnya.

"Bajingan!" Pria berbalut jas hitam itu, Felix. Menendang perut rata sang lawan, merasa semakin emosi dengan penutur santai orang itu.

"Apa mau mu?" tanyanya Felix yang masih enggan menurunkan pistol ditangannya.

"Apalagi kalau bukan membunuhnya."

Lagi, Felix menendang tubuh yang lebih besar darinya. Persetan dengan sopan santun.

"Jangan harap!, cukup selama ini aku biarkan kau menyiksanya!"

Pria yang sedari tadi duduk itu sontak berdiri, menarik kerah baju Felix kemudian menubrukkan tubuh itu ke dinding.

Deru nafas keduanya saling menyapa, menghembus wajah satu sama lain.

Pria itu tersenyum miring, merasa remeh dengan lawannya sekarang, "Sure, jika aku tidak bisa membunuhnya dengan pisau, mungkin aku bisa membunuhnya dengan lidah."

Rahang Felix tampak semakin mengetat, mencetak jelas urat-urat di lehernya.

"Save your dick, sebelum aku menjadikannya pajangan!" Felix menghempaskan pria itu, meninggalkannya sendiri tanpa menoleh ke belakang.

"Dia bisa membunuh adikku, aku juga bisa membunuhnya." seringai pria itu. Ia meraih ponsel di dalam saku jas nya, menelpon seseorang yang berada jauh di sebrang.

"Waktumu tinggal dua hari. Bunuh anak itu atau aku yang akan membunuhmu!"




*****

Tbc

Jangan lupa vote dan komen gaisss

Yok, pesan dan kesan di chapter ini.
Asik, pesan dan kesan nggak tuh:'

JeffrieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang