Pelampiasan

1.6K 146 23
                                    

Happy reading

Maaf berantakan.

Typo harap maklum yaa...

Maaf juga lama ga up, huaa

Enjoy


*****

Mobil hitam kilap melaju dengan santai, dua pemuda dalam mobil itu tak satupun ingin mengobrol, hanya pemuda kecil yang sedari tadi sibuk dengan ponsel di tangannya.

Jeffrie, ia sangat fokus dengan tontonannya di ponsel yang ia pegang, ponsel yang ia pinjam dari pemuda disebelahnya. Alex tak masalah, asalkan anak itu diam dan tak menangis.

Alex melirik, melihat Jeffrie yang tampak lucu. Tangan kiri memegang ponsel yang menayangkan kartun kembar botak dan tangan kanan yang sibuk memegang susu strawberry. Sesekali, ia mendengar anak itu tertawa lepas, membuatnya ikut tersenyum manis.

“Apa yang kau tertawa, kan?” tanya Alex yang kini sudah fokus kembali pada kemudinnya.

Jeffrie menoleh. “Ipin lucu, tapi kasian karena es kepalnya jatuh,” ucapnya kemudian menyesap susu di tangannya.

“Lalu, kenapa tertawa kalau kasihan?”

Jeffrie berdecak sebal. “Karena lucu, abang.”

“Yayayaya.”

Setelahnya, tak ada percakapan apapun lagi dari keduanya. Hanya ada suara angin serta suara kartun di kembar botak.

Di sisi lain, tepat di kediaman Jungantra. Felix tak habisnya merutuku diri, duduk di ruang kerjanya sembari menghardik pengawal.

“Apa kau bodoh?! Mencari pemuda kecil saja kalian tidak becus! Lalu, apa gunanya aku mempekerjakan kalian?!” berbagai barang sudah ia hempas, suara pecahan juga barang-barang jatuh dari meja kerjanya.

Tiga orang suruhannya menunduk dalam, salah satu dari mereka berujar tegas, “Maaf, Tuan. Jejaknya sangat sulit ditemukan, tapi jika Tuan ingat, kita telah memakaikan GPS pada cincinnya.”

Benar, Felix benar-benar tidak ingat. Bahkan, kendali ada pada dirinya. Napasnya memburu, mencari laptop miliknya. Ia harus mencari tau di mana keberadaan bungsunya.

Manik tajamnya membelalak, saat mengetahui posisi apik putranya, bergegas ia keluar dari ruangan sumpek itu. Menuruni anak tangga dengan terburu hingga melupakan lift di sana.

Ketiga pria kekar tadi mengikutinya, tak ingin melihat Tuan mereka jatuh dari tangga. Tidak lucu, bukan?

Langkah Felix terhenti, tepat pada pintu utama yang kini terbuka lebar. Matanya membulat, hatinya berdesir syarat.

“Daddy,” sapa pemuda di ambang pintu.

Dengan emosi yang memburu, Felix mendekat ke arah pemuda itu, tak di sangka tangannya terangkat menampar pemuda di hadapannya tanpa aba-aba, membuat sang empu tertoleh seraya memegang pipinya yang terasa panas.

*****

Di sinilah mereka sekarang, ruang keluarga yang tampa senyap dan sepi. Duduk dengan manis dengan suasana tak nyaman.

“Kenapa tidak mengabariku Daddy?” tanyanya seraya mengusap punggung Jeffrie yang kini duduk di atas pangkuannya.

“Ponselku mati, lagi pula untuk apa aku memberi kabar?”

Felix menghelas napas, menatap pemuda yang duduk di seberang. “Alex, kau membawa putraku, jelas kau harus memberi kabar.”

Alex menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap tanpa minat lelaki hampir tua itu. “Jeffrie adikku, Dad. Aku tidak perlu ijin, bukan?”

JeffrieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang